*Happy reading*
"Maaf, Pak. Saya cari taksi saja."
Dengan sigap, Alvaro mencekal tangan Bianca, saat gadis itu hendak melewatinya. Cowok itu menarik Bianca menuju sedan hitam mengkilat, yang terparkir di dekat mereka.
"Eh, Pak. Saya bilang, saya naik taksi saja, Pak. Masih ada perlu soalnya," tolak Bianca yang dengan konyolnya berpegangan pada tiang halte.
Apaan sih, gadis ini?
"Ck, Lepasin itu, Bianca! Jangan bikin malu!" Alvaro memelototi orang yang bisik-bisik sambil menunjuk mereka.
"Tapi, ta--"
"Kamu tadi sudah setuju, jadi sekarang saya tidak terima penolakan!" ucap Alvaro dengan suara menggelegar.
Bianca pun bergidik ngeri, sebelum akhirnya mau melepaskan pegangannya.
Gila, suara petir aja kalah powerfull dibandingkan suara Alvaro.
"Bagus," ucap Alvaro yang menahan pintu untuk Bianca. Lalu sedikit mendorong tubuh Bianca, agar gadis itu segera masuk ke dalam mobilnya.
Ck, gak ada lembut-lembutnya banget sih, sama cewek. Pantas jomblo!
"Bapak kenapa maksa saya, sih? Padahal, Bapak kan, nggak punya kewajiban untuk anterin saya pulang," cicit Bianca, setelah Alvaro berada di balik kemudi.
"Siapa bilang saya nggak punya kewajiban?" protes Alvaro, seraya memasang seat belt-nya. "Tentu saja saya punya," lanjutnya tegas. Membuat Bianca menunggu dengan penasaran.
"Yang pertama, kamu pakai jas saya gara-gara rokmu sobek. Tentu, Saya harus pastikan keselamatan jas itu di tangan kamu, kan?"
What the ... jadi dia maksa nganterin. Cuma buat jas ini? Sialan banget, sih?
"Iya, deh. Yang punya jas mahal." Bianca mendesah kesal. "Takut banget sih, Bianca rusakin nih, Jas. Padahal, Bianca tahu kok, kalau jas ini pasti pemberian Bos Kairo. Soalnya, Mana mungkin bapak bisa beli jas bikinan desainer ternama Indonesia. Eh, bisa beli sih, Pasti. Cuma ... palingan juga gak bakal mau dengan sukarela. Secara ... Bapaknya pel--eh, irit banget!" sambung Bianca, hampir keceplosan menyindir sikap pelit Alvaro, yang sudah terkenal seantero kantor.
Alvaro sendiri tak lagi terkejut dengan pengetahuan yang dimiliki Bianca. Cewek ini memang pandai menilai barang-barang bermerek. Sekalipun dalam satu kali tatapan.
Alvaro bahkan nggak bakal heran, kalau misalnya suatu hari melihat cewek ini jalan dengan pria kaya, atau bahkan sugar daddy.
Bianca terlalu terlihat seperti gold digger di mata Alvaro. Beda jauh dengan Aika, yang terlihat lebih sederhana walaupun masuk ke jajaran orang kaya.
Eh, kenapa malah jadi inget istri bosnya?
"Kedua, Nyonya Bos dengan jelas memberi perintah pada saya, untuk mengurus kamu. Nah, sudah bisa di pahami, kan? Kalau saja bukan beliau yang nyuruh, mana sudi saya ngurusin kamu." Alvaro mengabaikan ucapan Bianca yang terkesan menyindir tadi, dengan meneruskan alasannya.
Namun, Bianca sudah tak peduli. Karena, apapun alasannya. Bianca harus segera turun dari mobil Alvaro ini. Sebelum petaka menyapanya.
"Turunin saya di sana saja," ucap Bianca tiba-tiba.
"Ini belum setengah jalan ke arah rumahmu. Kenapa saya harus turunin kamu?" Sayangnya, Alvaro malah menolaknya.
"Soalnya saya harus bertemu dengan seseorang, Pak. Tapi, Bapak tenang saja. Saya bakalan lapor ke Aika, kalau Bapak sudah mengantarkan saya sampai rumah, dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun, oke!" tutur Bianca seperti sedang membaca pidato.
Lirikan Alvaro mampir kepada Bianca, yang terus menerus menunduk dan mengecek hpnya. Kaki cewek itu bahkan tanpa sadar terus bergerak. Membuat Alvaro menduga-duga.
Pasti ada sesuatu dengan pertemuan yang disebutkan tadi.
Atau ... Jangan-jangan Bianca mau ketemu dengan pacarnya? Makanya minta turun di sini? Gadis ini pasti takut dianggap selingkuh.
Padahal sih, masa bodoh! Siapa juga yang mau sama gadis ini?
Lagipula, kenapa dia jadi repot memikirkan Bianca seperti ini, sih?
Aneh!
"Sana turun! Jangan lupa lapor ke istri Bos!" ujar Alvaro setelah menepikan mobil.
"Iya, iya," sahut Bianca yang buru-buru melompat turun. Dengan Hp sudah menempel di telinga Bianca. "Iya, Pak. Tunggu sebentar, saya sudah dekat," ucap Bianca sambil lalu, tanpa memperdulikan Alvaro lagi.
Tak lama setelahnya, Bianca pun terlihat menghampiri pengemudi taksi yang berdiri menunggunya.
Dari tadi Bianca memang sangat cemas, karena sudah melihat keberadaan taksi yang dipesannya.
"Pak, saya yang memesan taksi. Tolong tunggu sebentar lagi, saya masuk dulu," ucap Bianca buru-buru. Kemudian langsung berbalik begitu saja tanpa menunggu jawaban sopir Taksi, yang sebenarnya terlihat kesal di sana.
"Beb, udah lama nungguin, ya?"
Bianca melompat masuk dalam pelukan pacarnya, yang baru saja keluar dari Kafe.
Namun, sayangnya, wajah pacarnya sudah terlihat sesuram air banjir.
"Kamu dari mana saja? Kenapa datang dari arah kanan? Padahal taksi sudah nunggu di depan kita."
Mampus!
Bianca menelan ludah dengan susah payah. Sambil merangkai kata dengan cepat sebagai jawaban.
"Tadi aku naik bis ke sini, Beb. Maklum, tanggal tua. Aku Bokek, Beb," gurau Bianca, dengan niat untuk mencairkan suasana. Namun ....
Plak!
Telapak tangan pacarnya yang besar, malah kini tercetak di pipi Bianca. Membuat sudut bibirnya terasa perih.
Ah, Besok pasti Bianca akan kesulitan menutupi luka sobek di bibirnya.
"Jangan dikira aku akan mudah dibohongi ya, Bi! Jelas-jelas aku liat kamu turun dari sedan itu!" tunjuk pacarnya Bianca dengan tegas, pada mobil Alvaro yang baru saja melintas.
Tanpa Bianca sadari, Alvaro langsung mencengkeram erat stir mobil, hingga buku jarinya memutih saat melihat apa yang dialami Bianca.
Kejadian itu sungguh membuat Alvaro sangat terkejut, dan jadi kesal sendiri.
Sialan! Seharusnya memang tadi Alvaro tidak memaksa mengantar Bianca. Agar Bianca tak sampai mendapat perlakuan itu.
Ah, Alvaro memang paling benci dengan Pria yang suka main tangan. Karena itu membuatnya teringat Ayahnya.
Makanya, tadi Alvaro ingin sekali turun dan mengahajar pacar Bianca yang brengsek itu. Biar dia tak berani mengasari Bianca lagi.
Namun, apa haknya? Sekali lagi, Alvaro pun menegaskan dalam hati, kalau ini bukanlah urusannya, dan mencoba menutup mata pada apa yang baru saja dilihatnya.
"Eh, itu tadi kebetulan saja, Beb. Beliau mau lewat arah sini, dan menawari tumpangan karena hujan. Jadi--"
"Terus, ini jas siapa?" sela pacar Bianca, seakan tak mau dengar alasan dari Bianca.
Lalu, Pacar Bianca pun mencoba melepaskan jas milik Alvaro, yang masih melingkari perut Bianca.
Namun, sebisa mungkin Bianca pertahankan, karena roknya memang masih membutuhkan perlindungan jas ini.
"Jangan, Beb. Lebih baik kita masuk ke taksi sekarang."
Sayangnya, jawaban Bianca malah di salah artikan pacarnya. Hingga pria itu pun makin murka, dan kembali menampar Bianca bolak balik dengan keras.
"Dasar jalang! Udah berani main-main di belakang gue ya, lo!" Serunya keras, sambil menjambak rambut Bianca dengan kasar.
*Happy Reading*“Sok, sokan pakai mobil mahal buat jadi mobil pengantin. Bisa-bisanya kamu mau diporotin cewek macam ini?” sindir tante termuda Bianca ketika acara sudah usai dan mereka hendak meninggalkan tempat resepsi.“Itu hadiah dari saya dan istri. Bagaimanapun juga Alvaro adalah asisten pribadi saya yang setia. Tolong jaga mulut kalian karena Bianca juga termasuk orang penting di keluarga kami. Dia adalah sahabat dari istri saya. Kalau ada yang menyakiti Bianca, itu berarti secara tidak langsung sudah menyakiti istri saya,” sela Kairo yang berbicara tepat di belakang tante Bianca.Wanita itu terlihat menelan ludah dengan susah payah karena mulai mengerti arah pembicaraan ini. “Bukan seperti itu maksud saya--”Tangan Kairo terangkat untuk menghentikan wanita dengan make up menor itu. “Sebagai partner kerja group kami, kalian pasti tahu arti Aika bagi saya? Kalau ada yang membuatnya sedih, saya tidak segan-segan bertindak.”Alvaro melipat bibir demi menahan tawa ketika melihat se
Hari yang dinanti tiba juga. Rencananya pagi ini ijab kabul yang dilanjutkan dengan resepsi di siang hari. Alvaro sengaja mengadakan ijab kabul di rumahnya. Agar dapat memastikan kehadiran keluarga Bianca yang masih belum mengetahui siapa dia sebenarnya. Rumah Mak Kanjeng yang sederhana pasti akan membuat mereka tenang dan tak membuat kekacauan yang berakhir menggagalkan pernikahan.Katakan Alvaro ini licik. Tetapi memang belum saatnya mereka tahu kebenaran soal dirinya. Sikap matre kakek dan neneknya pasti akan muncul jika tahu sekarang. Mereka akan memanfaatkan apa pun agar bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari pernikahan ini.“Ck, ck, ck. Rumah preman memang nggak jauh-jauh dari pasar. Pasti biar lancar urusan melakukan kejahatannya,” sindir paman Bianca sambil bergidik saat memasuki rumah yang terlihat kumuh di matanya. Padahal, rumah Alvaro tidak sekumuh itu. Hanya sederhana saja. Asri pula dan sedap di pandang mata. Karena Mak Kanjeng memang tidak suka rumah besar nan
*Happy Reading*“Al,” panggil Bianca dengan lirih.“Sudah berapa kali aku katakan untuk tidak memanggil hanya dengan nama saja. Kamu mau saya hukum?” ucap Alvaro dengan nada jutek yang seperti biasanya.Rona merah menjalar dari telinga hingga ke pipi mulus Bianca. Wanita itu pasti teringat dengan hukuman cium penuh semangat yang Alvaro lancarkan ketika memanggil nama saja. Tentu saja mereka sama-sama menikmati bentuk hukuman ini, tapi Alvaro juga melakukannya di depan umum. Itu pasti yang membuat Bianca merasa malu.“Eh, Bang,” ulang Bianca dengan lebih mantap.“Kenapa, Sayang.” Lagi-lagi Bianca tersipu.“Aku takut, gimana kalau Emak masih belum memaafkanku?”Tangan Alvaro bergerak untuk menggenggam tangan Bianca dan mengusapnya dengan lembut. “Emak pasti akan memaafkanmu. Jangan takut, aku di sini untukmu. Kita hadapi ini bersama.”Mobil berhenti tepat di depan Emak, yang kebetulan hari itu sedang nongkrong di depan pager dengan Mpok Jubaedah. Biasalah, palingan juga lagi ghibah. "E
Selain menugaskan Alvaro, Kairo juga menugaskan Aika untuk mengalihkan perhatian Bianca sementara dia menyusup ke kantor. Karena itulah Aika datang dan mengajak Bianca jalan-jalan.Hari ini adalah saatnya Bianca masuk setelah mengambil cuti, jadi dia sengaja mengadakan rapat mendadak dan memberikan tugas untuk para staff. Tentu saja ini tanpa sepengetahuan Bianca.Suara nyaring Bianca ketika memasuki kantor bagaikan lonceng yang berdentang nyaring di telinga Alvaro. Hatinya yang memang sudah berdebar tak sabar menunggu kehadiran wanita itu, semakin kebat kebit tak karuan setelahnya. Ini saatnya dia melaksanakan rencananya.“Rapat hari ini cukup sampai di sini. Silakan langsung lakukan tugas masing-masing sesuai dengan arahan saya.” Alvaro menutup meeting pagi itu dengan santai. Berbanding terbalik dengan degup jantung yang benar-benar terasa akan meledak oleh buncahan rasa bahagia.Para staf buru-buru meninggalkan ruangan rapat, sehingga memungkinkan Alvaro untuk segera mengintip dari
Tuhan tahu betapa berat perjuangan Alvaro untuk mencari Bianca selama beberapa bulan ini. Dia secara teratur mengunjungi bagian HRD untuk menanyakan kemana Bianca dipindahkan, tapi ini malah membuatnya dapat surat teguran. Hampir saja Alvaro lepas kendali dan berniat untuk melemparkan surat itu ke muka kepala HRD, tapi demi Bianca, dia tidak boleh dipecat.Setelah beberapa hari merenung, Alvaro mengubah strategi. Dia kembali bekerja seperti biasa tanpa mengganggu bagian HRD. Dia bahkan bekerja lebih keras agar tidak ada tempat bagi otaknya untuk memikirkan Bianca.Namun, semakin kuat usahanya untuk menyingkirkan Bianca dari pikiran dan hatinya, semakin kuat kenangan Bianca menyerangnya. Walau sudah beberapa bulan berlalu, tapi kenangan Bianca sejelas ketika orangnya ada. Alvaro bahkan sering berhalusinasi melihat Bianca yang sedang terkekeh ketika mencuci piring. Betapa renyah suaranya ketika mereka mengobrol saat makan.Katakanlah Alvaro sudah gila. Ya! Dia memang sudah gila sepertin
***Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa sudah 6 bulan Bianca bekerja di kantor cabang. Tidak ada hal spesial yang harus Bianca bagi. Semua B aja. Hanya saja, mungkin sekarang Bianca sudah bisa berbaur dan enjoy dengan teman-teman barunya.Mereka baik, mereka juga asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda bersama di sela kesibukan. Membuat Bianca tidak terlalu jenuh dengan kegiatan hariannya yang itu-itu saja. Ngantor, pulang, tidur. Begitu saja terus tiap hari. Bianca yang sekarang benar-benar berubah. Tidak suka nongki dan menghamburkan uang. Meski begitu, komunikasi antara Bianca dan Aika tak pernah putus. Tiap malam selalu tak lupa bertelepon ria dan ghibah bareng. Apa yang di ghibahkan? Banyaklah! Namanya juga kaum hawa. Kalau ngobrol suka ngalor ngidul. Seakan tak ada habisnya bahan ghibahan mereka. Adaaa saja yang di bahas. Dari mulai harga cabe, tetangga julid, sinetron terbaru, gosip artis dan banyak lagi lainnya. Pokoknya kalau tidak ditegur Kairo, bisa telepo