Pagi membosankan di rumah keluarga Wirautama. Rencana datang pagi menyambut rapat pimpinan kandas sudah. Rafandra dipaksa menemani sang ibunda tercinta pergi berbelanja sekaligus menemui temannya yang sudah lama tak bertemu. Awalnya ia menolak, tapi setelah diceramahi hampir satu jam akhirnya Rafandra hanya bisa pasrah.
Sementara itu di kamar Alissa, sudah hampir dua jam wanita paruh baya yang masih tampak muda itu merapikan rambutnya yang lurus dengan model sanggul tinggi menjulang bak tugu Monas dengan jepitan bunga di sampingnya. Rutinitas wajib yang dilakukannya, apalagi saat akan bepergian ke luar rumah dalam waktu yang cukup lama.
Tak lupa juga dengan parfum andalannya yang selalu ia pakai. Katanya, itu wangi khas wanita sosialita.
“Masih muda ternyata,” gumamnya di depan cermin.
Di ruang tamu, Rafandra yang sudah menunggu ibunya sejak ia mandi hingga sarapan lalu duduk sambil mengerjakan tugas kantor merasa sedikit bosan. Ia bahkan sudah selesai merapikan bahan untuk meetingnya, tapi tetap saja ibunya belum muncul juga.
"Mama kamu mana?" tanya Wirautama setelah menyelesaikan sarapannya yang terlambat. Rafandra tak menjawab, ia memberi kode tangan yang menjulur ke rambut. Paham dengan kode Rafandra, Wirautama hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Lima menit kemudian, Alissa ke luar dari dalam kamar dengan riasan rambut yang sudah Rafandra perkirakan sebelumnya.
"Rafa, mama cantik kan?" Rafandra menoleh. Dilihatnya sanggul rambut itu semakin tinggi dari sebelumnya. Ia meringis. Sebenarnya, sanggulnya tidak cocok tapi bingung menjawabnya.
"Kok diam saja?" bentak Alissa. Rafandra mengangguk sambil melayangkan dua jempol untuk ibunya. Ini terpaksa, karena ayahnya memberi satu injakan maut di kaki kirinya.
"Berangkat sekarang, Ma? Rafa ada meeting setelah makan siang." Alissa mengangguk. Rafandra segera membereskan berkas yang sedang ia pelajari tadi. Memasukkannya dalam tas lalu pergi ke halaman rumah dan membuka mobil mewahnya.
"Tidak papa antar saja sekalian?" tanya Wirautama. Alissa menggeleng. "Rafa kan ada meeting penting."
"Pa, mumpung anaknya jeng Anna lagi liburan. Sengaja mama ajak Rafa ke mall sebentar, siapa tahu cocok," bisik Alissa di telinga suaminya.
"Tapi, Ma—"
"Mama pergi dulu," sela Alissa.
***
“Bu, Kayana jalan sama Aruna ya?” Kayana berteriak dari dalam kamar sembari membenahi riasannya. Naura yang sedang memasak sempat terlonjak kaget lalu menjawabnya dengan teriakan juga. “Iya. Cepat sarapan dulu.”
“Iya, Bu.” Kayana cepat berlari ke lantai bawah menyusuri tangga samping kamarnya. Ayahnya yang baru masuk dari pintu depan hanya menggelengkan kepalanya.
“Kamu mau kemana sih?” tanya Naura.
“Mau ke mall. Kemarin kan hujan, Kayana sama Aruna enggak jadi jalan. Nah, sekarang kita berdua ambil cuti untuk menebus yang kemarin,” jawab Kayana yang terburu-buru sarapan. Kayana menyambar tas dan ponselnya lalu berpamitan pada ayah dan ibunya.
“Pulangnya jangan sampai malam,” pesan Naura yang diangguki oleh Kayana.
“Siap, Bu.”
Kayana dan Aruna memilih menaiki bus pagi ini. Motor Aruna belum selesai diperbaiki dan nampaknya Jakarta akan macet karena besok akan akhir pekan. Kayana membuka ponsel lalu memakai earphone dan menyelipkannya di telinga. Sementara Aruna sibuk berselancar di dunia maya. Entah sedang mencari apa.
“Bajunya bagus ya, Kay. Kita cari yuk nanti,” tanya Aruna. Kayana melihatnya sekilas lalu mengangguk. “Kira-kira harganya lebih mahal di mana ya?”
“Enggak jauh beda. Teman aku pernah beli model seperti ini. Beda harga hanya lima puluh ribuan,” jawab Kayana.
“Oh, kalau segitu enggak masalah.”
Keduanya lalu berdiri bersamaan dengan datangnya bus yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Kayana masuk lebih dulu diikuti oleh Aruna. Sesampainya mereka di sebuah mall terbesar di Jakarta, keduanya langsung masuk ke sebuah toko yang menjual pernak-pernik lucu. Di sebelah toko itu ada yang menjual barang yang sedang Kayana incar. Kayana berpindah ke toko itu lalu memekik girang melihat deretan lilin terapi yang dipajang tepat di hadapannya. Ia menyukai lilin terapi. Katanya, aromanya menenangkan.
"Runa, aku beli lilinnya dulu ya. Kamu tunggu di sini," pesan Kayana yang diangguki Aruna.
Tak sampai sepuluh menit, Kayana keluar dari toko membawa satu bungkus tas berisikan lilin dalam bentuk sedang. Kayana memamerkannya pada Aruna.
"Wah, bagusnya," puji Aruna.
"Toko ini langganan aku. Bentuk lilin di dalam unik-unik semua. Ini, aku kasih kamu satu."
“Baunya enak.”
“Jelas, karena kualitas utama. Ayo jalan lagi.”
Jika Kayana dan Aruna merasa bahagia bisa berjalan-jalan bersama menyusuri area lantai mall yang luas, berbeda dengan Rafandra. Dirinya merasa jenuh dan kesal karena ibunya sengaja berlama-lama di dalam sebuah toko sepatu, berbincang dengan seseorang yang entah namanya siapa.
Bibir Rafandra mengerucut tajam. Wajahnya juga tampak kesal tak menyukai suasana di dalam toko yang menurutnya sangat membosankan. Hanya ada obrolan seputar luar negeri, makanan enak dan paling sering Rafandra mendengar tentang harga tas dan sepatu yang harganya di luar nalar.
"Ah, tunggu sebentar lagi. Soraya sedang menuju ke sini, dia bangun kesiangan karena semalam baru pulang dari Singapura," ujar seorang wanita yang duduk di dekat Alissa. Namanya Anna, teman dekatnya dulu. Anna sempat melirik Rafandra yang duduk diam di dekat ibunya tanpa bicara sedikitpun.
"Wah, pasti sibuk sekali ya. Duh, jadi ingin lihat seberapa cantiknya anak jeng Anna," balas Alissa. Keduanya berbincang lagi hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Rafandra sudah mulai bosan tak tertolong. Berkali-kali ia berdecak kesal hingga kakinya tak sadar bergoyang pelan.
"Ma, Rafa ada meeting selesai makan siang," bisik Rafandra. Alissa menoleh dan balas berbisik di telinga Rafandra. "Sebentar lagi, tunggu anaknya jeng Anna datang."
"Rafa sudah telat, Ma.” Rafandra berbisik lagi di telinga Alissa. “Tadi Rafa sudah kirim pesan ke papa juga." Rafandra tak bisa lagi menunggu. Ia memilih berdiri lalu membungkuk dan berpamitan tanpa menghiraukan ibunya yang terus memaksanya.
Namun sebelum melangkah, Alissa menarik kembali lengan kemeja Rafandra. "Tunggu sebentar. Nak Soraya mau datang."
"Rafa ada meeting penting, Ma. Besok saja kenalan lagi," desak Rafa.
Rafandra tetap memaksa pergi dari tempat itu dan tepat saat kepalanya menoleh ke arah pintu masuk, tatapannya tertuju pada satu sosok yang sedang berjalan bersama temannya sambil tertawa. Sosok yang tengah ada di pikirannya sejak kemarin. Sosok yang telah mencubit-cubit hatinya.
"Si ketus ada di sini?" gumamnya lirih.
Rafandra menunduk mohon pamit dan langsung pergi meninggalkan ibunya dan temannya. Ia memilih abai saat mendengar ibunya berteriak memanggil namanya kembali. Rafandra terus berlari mengejar sosok Kayana yang berjalan cepat entah kemana.
"Woy.." teriaknya. Ia terus berlari tanpa mempedulikan sekitar. Merasa diikuti oleh seseorang, Kayana dan Aruna menoleh ke belakang. Mereka mendapati Rafandra yang tengah berlari kencang menuju ke arah mereka. Tanpa banyak pikir lagi, keduanya pun berlari ke arah pintu keluar memghindari kejaran Rafandra.
“Itu siapa sih? Dia tadi ngejar kita?” tanya Kayana. Ia menarik tangan Aruna dan mengajaknya sembunyi di area parkir. Nafas keduanya naik turun beserta peluh yang turun membanjiri pelipisnya.
“Enggak tahu. Tadi teriak-teriak, aku pikir dia ngejar kita.”
“Hah? Jadi kamu juga enggak tahu?” Aruna mengangguk. Kayana menepuk dahinya, “Oh my god.”
Keduanya terus berlari hingga ke lantai bawah gedung tempat parkir kendaraan. Nafas mereka naik turun seperti sedang lari maraton tanpa jeda. Aruna duduk dengan kaki terjulur lurus, kepalanya menunduk dan tangannya memijatnya perlahan. Sedangkan Kayana memilih berjongkok di depan sebuah mobil mewah, menyembunyikan tubuhnya yang mungil sambil mengawasi keadaan sekitarnya.
“Orangnya masih ngejar?” tanya Aruna yang masih terengah-engah. Kayana menyodorkan botol air minum yang tadi ia beli dan Aruna meneguknya.
“Enggak tahu. Istirahat dulu deh.”
Tengah mereka bersembunyi, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara orang berlari dan tak lama kemudian berhenti di dekat mobil tempat keduanya bersembunyi. Kayana membelalakkan matanya dan dengan cepat menarik mundur Aruna agar lebih merapat padanya.
“Kayana, ih.” Aruna yang kaget berusaha menepis tangan Kayana.
“Ssstt....” Kayana menyuruh Aruna diam. Jari tangannya menempel di bibir dan matanya mengarah ke samping arah belakangnya. “Dia berdiri dekat mobil itu,” bisik Kayana.
“Kita kan bukan penjahat,” jawab Aruna. Tiba-tiba Kayana tersadar. Ucapan Aruna benar juga, mengapa dirinya harus takut dengan orang yang mengejar tadi.
“Iya juga, ya.”
Saat Kayana menoleh ke belakang, ternyata orang yang tadi berdiri juga ikut menoleh ke arahnya. Kedua mata mereka bertemu dan jarinya saling menunjuk satu sama lain. “Si cewek ketus?”
“Lo? Si cowok enggak tahu diri?”
“Kita ketemu di sini tandanya kita—”
Kayana menarik tangan Aruna dan memaksanya berdiri. Sahabatnya itu hampir terjengkang tapi beruntung bisa menyeimbangkan kakinya. “Enggak ada tanda apapun. Gue benci lihat lo.”
Rafandra kembali mengejar Kayana dan Aruna yang larinya semakin cepat menuju pintu keluar mall. Kayana ketakutan. Beruntung tubuh mungilnya mampu masuk ke celah-celah kecil diantara pengunjung mall yang semakin ramai. Rafandra menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, mencari sosok wanita yang menjadi incarannya itu.
'Kemana dia ya?'
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t