Share

Hampir bertemu

Auteur: Rachel Bee
last update Dernière mise à jour: 2022-12-19 13:57:32

Rafandra kembali ke kantornya setelah mendapat izin dari ayahnya dengan alasan pekerjaannya masih cukup banyak dan harus diselesaikan hari ini juga. Sebenarnya, ia berbohong. Isi kepalanya akan meledak jika berada di satu ruangan yang sempit dengan aneka pembicaraan tak tentu arah. Terutama tentang basa-basi investasi perusahaan yang akan berujung pada perjodohan yang tak ia sukai.

Rafandra berjalan angkuh memasuki ruangannya. Udara dingin menyergapnya begitu ia duduk di singgasananya yang terbaik. Ia menghela nafas panjang lalu menghempaskannya perlahan. Matanya memejam sesaat lalu kedua tangannya bertepuk memanggil sekretarisnya yang duduk di ruangan paling ujung bersekat kaca bening.

Sekretaris andalannya itu tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia berdiri dari tempat duduknya sambil membawa buku catatan beserta alat tulis. 

“Selamat siang Pak Rafandra,” sapa sekretaris Rafandra yang bernama Mayang. Rafandra hanya mengangguk dan tangannya terulur meminta catatan yang digenggam oleh sekretarisnya.

“Hari ini saya mau evaluasi semua hasil kerja rapat koordinasi dengan vendor kita yang baru. Karena rapat hari ini ditiadakan, jadi kamu sekalian beritahu pada mereka untuk memberikan laporan kasarnya pada saya hari ini.” Rafandra menutup buku catatan dan mengembalikannya lagi pada Mayang.

“Baik, Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Mayang menawarkan bantuan. Rafandra terdiam sesaat lalu teringat akan sesuatu. 

“Panggilkan Andi.”

“Baik, Pak.”

Andi adalah anak buah Rafandra yang paling dipercaya. Dia bertugas untuk membantu menyiapkan bahan atau apa saja yang diperlukan olehnya. Kadang Rafandra menyuruh anak buahnya itu membeli makanan atau pakaian dalam jika ia lupa. 

Andi pun datang. Setelah mengetuk pintu dan masuk, ia duduk berhadapan dengan Rafandra. Bosnya itu terdiam seperti sedang melamuni sesuatu yang akhirnya tersadar karena lambaian tangan Andi di depan wajahnya.

“Pak Rafa panggil saya?” tanyanya. Rafandra mengangguk. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Kamu bisa bantu carikan saya sebuah hadiah. Ehm, ini untuk Mama saya sih.”

“Pak Rafa ingin dicarikan hadiah apa? Sepertinya Bu Alissa sangat menyukai tas atau sepatu dengan merk tertentu,” usul Andi. Rafandra menggelengkan kepalanya, ia menolak usul dari anak buahnya.

“Bagaimana kalau kamu carikan saya tanaman mahal yang sedang digandrungi oleh ibu-ibu. Kamu pasti tahu dong.”

Andi menggaruk belakang lehernya. Ia juga sebenarnya tak tahu menahu tentang tanaman mahal apa yang Rafandra inginkan. “Ibu saya pernah bilang, di kompleks perumahan tempat saya tinggal sedang gandrung dengan bunga rose.”

“Bunga rose?” tanya Rafandra yang diangguki oleh Andi. “Bagus tidak?”

“Dijamin bagus Pak. Ibu saya lagi kumpulin uang buat beli karena harga bibitnya lumayan mahal.”

“Berapa harganya?” tanya Rafandra sambil membuka dompet miliknya yang ada di laci meja. Dompet yang sengaja ia tinggal karena khusus berisi uang kertas.

“Satu bibit yang belum berbunga ada yang mencapai dua ratus ribuan, kalau yang sudah jadi kurang lebih ada yang sampai lima ratusan tergantung ukurannya,” jawab Andi sambil melirik ke dalam isi dompet Rafandra yang berisi sejumlah uang.

“Oh, itu sih murah,” sombong Rafandra.

Tanpa ragu Rafandra mengambil dua puluh lembar uang seratus ribu dan memberikannya pada Andi. “Belikan satu yang sudah berbunga dan satu lagi yang masih bibit. Sisanya buat kamu.”

“Buat saya, Pak?” Rafandra mengangguk. “Terima kasih, Pak.”

Rafandra mengusir Andi keluar ruangan karena dirinya sedang ingin melamun sendiri. Andi pun pamit undur diri. 

“Mama bakalan diam enggak ya kalau aku belikan bunga?” gumam Rafandra. 

***

Cuaca di kota Jakarta berubah dengan cepat dalam hitungan menit. Satu jam yang lalu langit masih terang benderang dengan gumpalan awan putih berarak perlahan di atas kepala, detik berikutnya berubah kelam hingga berwarna hitam pekat seperti arang. Kayana mendesah kesal saat menengadah menatap langit. Impiannya pulang cepat kandas sudah. Kini ia berdiri termenung di depan lobby kantornya sambil menunggu taksi yang ia pesan datang.

Mata Kayana memandangi suasana di sekitar kantornya yang cukup ramai orang berlalu lalang. Tatapannya pun akhirnya jatuh pada satu bangunan di sebelah kantornya. Sebuah gedung cukup tinggi yang kabarnya hanya ditempati oleh satu perusahaan saja. Perusahaan yang katanya adalah saingan dari tempatnya bekerja sekarang. 

Kayana melirik arlojinya, sudah lebih dari setengah jam ia berdiri dan hujan terlihat semakin deras. 

“Kay, belum pulang?” Kayana menoleh ke belakang. Abil berdiri di belakangnya dengan tangan penuh membawa tas dan juga payung ukuran besar. Kayana menggeleng perlahan lalu menunduk. “Sama aku bagaimana? Kebetulan aku bawa mobil.” Abil menawarkan tumpangan. 

“Tapi aku—” suara deringan telpon menginterupsi pembicaraan mereka. Ternyata itu suara ponselnya. Ia meminta izin Abil untuk menjawab telponnya lalu pergi menjauh.

Kayana mendengus pelan. Percakapannya dengan pengemudi taksi membuatnya kesal. “Oh, jalanannya macet ya, Pak? Ya sudah saya batalkan saja.” Kayana menutup panggilan dengan raut wajah cukup kesal.

“Bagaimana?” tanya Abil. 

“Ikut deh. Daripada nunggu sampai malam.”

“Yuk, kita ke parkiran.”

Kayana pun mengikuti Abil hingga ke tempat parkir lantai bawah. Matanya menelusur ke setiap sudut tempat gelap tempat itu. Baru kali ini ia menginjakkan kakinya di sana. Biasanya ia hanya menunggu di lobby atau tempat parkir motor yang tak jauh dari pintu keluar. 

“Masuk, Kay.”

“Kok banyak banget mobil di sana? Terus ada karangan bunga juga,” tunjuk Kayana ke arah sudut. Abil mengikuti arah telunjuk Kayana dan terdiam sejenak seperti sedang berpikir.

“Ah, kalau tidak salah itu milik gedung sebelah yang dititipkan ke sini,” jawab Abil yang masuk ke dalam mobil diikuti oleh Kayana. 

“Kok dititipin ke sini?” Kayana terlihat penasaran. Karangan bunga itu menarik matanya sejak tadi. Warnanya yang cantik dan tak biasa menandakan harga dan kualitasnya yang di atas rata-rata.

“Kan ada kantor perwakilannya di gedung ini. Kebetulan, di gedung sebelah sudah penuh karangan bunga,” jawab Abil yang tak terasa telah melajukan kendaraannya menuju jalan besar.

“Yang punya konglomerat?”

“Katanya sih gitu. Tadi pas pembukaan saja ramai banget. Yang jadi pusat perhatian tuh anaknya pengusaha itu. Katanya tampan mirip model luar negeri.” Abil melirik Kayana yang terdiam tak menanggapi. Ia pun menggodanya, “Katanya masih single. Boleh tuh cocok sama kamu.”

“Bukan tipeku. Aku maunya laki-laki yang sederhana bukan yang kaya raya.”

“Ow, pantesan didekati anak bos selalu menghindar.”

***

Rafandra mengeluh. Pekerjaannya baru selesai menjelang pukul tujuh malam. Tangan dan bahunya pegal luar biasa. Mulutnya tak berhenti menguap, Rafandra mengantuk, tentu saja. Matanya memberat dan rasanya ingin segera terlelap. Samar-samar dari luar ruangan ada seseorang yang mengintip dari balik kaca lalu mengetuk pintu dengan cukup keras. Rafandra meliriknya dengan sebelah mata. 

“Bos, mau pulang sekarang?” orang yang mengetuk itu masuk ke dalam ruangan sambil membawa dua cup minuman. Kalau dari aromanya, itu pasti cappucino kesukaan Rafandra.

“Nanti,” Rafandra menutup laptopnya. “Sudah selesai acaranya?” tanya Rafandra pada orang yang baru saja masuk yang ternyata adalah Rakabumi.

“Gue baru datang tapi orangnya enggak ada di tempat. Eh, Om Wira lagi ada acara ya di kantornya? Kayaknya seru tuh.” 

 “Kok tahu? Tadi mampir kesana?” Rafandra menyeruput minumannya yang baru saja diberikan oleh Rakabumi. Ia menyesapnya dan mengulum pelan di ujung lidah.

“Enggak sengaja mampir. Niatnya mau ke gedung sebelahnya, mau ketemu sama teman.”

“Teman apa teman?” sindir Rafandra. Rakabumi tersenyum malu, tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

“Teman tapi menuju halal.”

“Belum pacaran atau bagaimana?” pertanyaan Rafandra rupanya membuat Rakabumi terdiam. Rafandra mengerutkan dahinya lalu bertanya lagi. “Kok diam?”

“Dia unik, Raf. Gue dekatin dia dari zaman sekolah sampai sekarang enggak pernah dianggap lebih dari teman.”

“Coba sekali lagi dekati, kalau masih enggak mau cari yang lain.”

Rakabumi menghela nafas sejenak. Ia hampir lupa dengan niat kedatangannya ke kantor Rafandra. Satu tangannya merogoh saku kemeja, mencari sesuatu di dalam sana. “Datang ya. Gue adain acara ulang tahun minggu depan. Nanti gue kenalin sama si dia di sana.”

“Serius?” Rafandra membuka surat undangan yang diberikan Rakabumi padanya lalu terkekeh setelah membacanya sekilas. “Ok, gue datang.”

“Tadi pagi gue lupa kasih.” Rakabumi berdiri setelahnya. “Jangan lupa bawa pasangan.” Ia menepuk bahu Rafandra dua kali. “Gue duluan ya.”

“Hati-hati,” teriak Rafandra. Rakabumi melambaikan tangannya hingga berlalu dari dalam ruangan. “Sama-sama jomblo, bagaimana mau bawa pasangan?”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Kayana    Saat terakhir

    Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya

  • Mengejar Cinta Kayana    Kelahiran anak kembar Rafandra

    Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me

  • Mengejar Cinta Kayana    Kebahagiaan tertinggi

    Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana

  • Mengejar Cinta Kayana    Reaksi publik

    Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup

  • Mengejar Cinta Kayana    Adik tiri lahir

    "Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi

  • Mengejar Cinta Kayana    Kembali terusik

    Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status