"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam
Ralika sekarang memakai baju putih longgar yang membuatnya nampak gagah, sabuk hitam terlingkar di pinggangnya. Rambut panjangnya di ikat seperti biasa, berdiri di depan bersama seorang pria berumur dua puluh tahunan."Ralika, kamu tunjukan pada mereka jurus yang kemarin," ucap lelaki ituRalika mengangguk, lalu menatap barisan. Ya, untuk ukuran pemula mereka lumayan siap, apalagi yang mengikuti pelatihan ini mayoritas adalah laki-laki, tak banyak perempuan yang mau ikut untuk sekedar panas-panasan dengan latihan berat, tapi walaupun sedikit semangat mereka masih terlihat."Kalian liat gerakan saya!"Ralika mulai memperagakan gerakannya dengan lihai, pandangannya fokus membuat tertegun semuanya. Cewek itu nampak memukau dengan gerakan tegas lagi hebat. Tak heran, kemampuan Ralika dalam karate memang tak bisa diragukan lagi.Apalagi sekarang El yang sedang menatap cewek itu di seberang lapangan sambil tersenyum kecil. Untungnya jadwal latihan anak karate dan basket sama, jadinya niat
"Eh, nanti kalau lo kenapa-kenapa di jalan, gimana?"Ralika langsung menepis kasar tangan El, yang seenaknya saja menempel di pergelangan tangannya. Ini antara modus dan khawatir, sama sajalah, tak ada bedanya untuk ukuran cowok seperti El. Seharusnya El tau, apa risikonya kalau berani macam-macam dengan Ralika."Sakit banget," gumam El sambil mengelus tangannya."Apa kamu nganggep saya lemah? Saya bisa jaga diri, kalau perlu tulang kamu bisa saya patahkan sekarang juga!" El mundur beberapa langkah, antara takut bercampur ngeri."Jangan dong 'kan nggak enak orang ganteng patah tulang." Untuk kesekian kalinya Ralika menghela napasnya, jengah. Sulit berbicara dengan orang seperti ini. "Eh-eh tunggu dulu!"Ralika berhenti, untuk apa lagi, benar-benar membuang waktunya. "Ada apalagi?""Hati-hati ya." El tersenyum sambil melambaikan tangan.Ia langsung berbalik, tak mau berlama lagi di sana. Seharusnya tadi ia tak menerima begitu saja tawaran cowok itu, sekarang efeknya bukan hanya sebatas
"Ya ampun! Kenapa, sih, nih idung pake mampet!"Sudah setumpuk tisu sudah menggunung di hadapan El saat ini. Bahkan, belum cukup sama sekali meredakan hidungnya yang terasa mengganjal untuk bernapas. Karena hal inilah, ia tak harus izin beberapa hari. Ya, kalau ini semacam liburan, El akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ini, huuuuh...Seseorang datang sambil memilin-milin kunci motor, terdengar suara siulan dari bibir pink itu. Mata cewek itu menatap sekilas El, lalu segera menghampiri cowok itu dari belakang. "Ceilah, hidung lo tambah lama kayak badut."El mendengus. "Senang lo, Bang, gue sakit bukannya di do'a-in cepet sembuh, malah ngeledek!" "Iya deh, gue do'a-in ... doa'in biar cepet mati." Kembali tawa Mona terdengar, hal itu kembali membuat El ingin segera menenggelamkan kakaknya itu sekarang juga. Padahal, kemarin ia begitu semangat Ralika mau satu mobil dengannya, walaupun sebentar.Mungkin benar kata orang-orang. Anak yang suka mendahulukan kepentingan sendiri dari p
Masih dalam posisi terdiam, Ralika sama sekali tak berkutik ketika ia dibopong keluar oleh Niken.Terlihat murid-murid yang sejak tadi bergerombol di depan ruangan perlahan membubarkan diri saat melihatnya, mereka kembali seperti biasa, seolah tak melihat apa-apa."Terima kasih Pak Bima, nanti saya akan berbicara dengan Ika soal masalah ini."Setelah berjabat tangan dan mengucapkan permisi. Niken dan Ralika langsung menuju area parkiran, demi kenyamanan satu sama lain, Bima memang menyuruh Ralika untuk pulang lebih cepat. Lagian juga ini bukan masalah sepele, ini menyangkut reputasi sekolah, apalagi yang berurusan merupakan salah satu murid terpenting.Ralika sama terdiamnya, meskipun mereka telah meninggalkan kawasan sekolah beberapa menit lalu, cewek itu sama sekali tak menunjukan tanda-tanda ingin bicara, seperti membela diri. Niken pun sama, ia juga tak bicara apa-apa, terlebih dia sangat tau sifat Ralika, keponakannya itu tak akan berbuat sembarangan dalam berbuat. Ralika akan me
"Loh duduk dulu, gue cuman mau ngobrol doang kok sama lo, siapa tau lo bisa tenang."Ralika sama sekali tak beranjak, cewek itu terus menatapi tangan El yang menepuk-nepuk ke samping. Dalam kondisi seperti ini Ralika masih tak mempercayai apapun. Tangannya terkepal seketika, pikirannya tertuju akan suatu hal, mungkin cowok ini ada di sini hanya ingin melihat sisi lemahnya. Kasihan? Ia tak butuh!"Saya nggak butuh, buat apa kamu ke sini, kamu tau 'kan saya ini anak narapidana, kenapa kamu terus-terusan ganggu saya?!"El sempat terdiam mendengarnya, ia cukup kaget akan perkataan Ralika yang langsung dengan nada tinggi. Tapi, El paham betul kondisi cewek itu. "Saya nggak butuh kasian kamu!"Ralika berbalik, seharusnya ia tak begitu saja terbawa emosi. Baru saja berjalan selangkah El berteriak, "tapi yang narapidana itu bokap lo bukan lo-nya!"Langkah Ralika terhenti, lalu seketika memejamkan mata berusaha meredam emosinya. Seperti yang selalu mamanya bilang, kalau emosi akan memperburuk
"Saya Ralika Caitlin Andara resmi mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Ketua OSIS SMA Dharma."Semua lantas tercengang mendengarnya, terlebih lagi Lea yang mendengar hal itu lewat jendela ruang OSIS. Ralika tadi memang tak berkata apa-apa saat keluar dari ruang kepala sekolah, hal itu yang membuat perasaan Lea jadi tak enak, dilihat dari wajah Ralika memang ia rasa ini bukan hal yang baik. Tapi Lea tak menyangka kalau ini yang akan terjadi.Semua terdengar ricuh, apalagi hal ini membuat sebagian anggota menggeleng tak percaya."Ka, kenapa lo keluar?" tanya Tika yang merupakan salah satu anggota."Iya, kenapa?" timpal yang lainnya.Ralika menatap dengan pandangan tegas. "Saya tak punya alasan untuk memberitahu kalian, tapi yang pasti saya harap kalian terima keputusan ini, ini merupakan keputusan yang saya ambil agar nama sekolah ini tidak tercoreng."Semuanya langsung terdiam, seolah mengerti dengan apa yang Ralika ucapkan. Apalagi masalah yang ditimpa Ralika, sudah mulai berd