Share

Chapter 9

Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.

Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta.

Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.

Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri.

"Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngurusin murid biang onar."

Ralika diam, menatapi Lea yang seperti orang gila. Dia yang bertanya malah dia juga yang menjawab.

Ralika menghembuskan napas kasar untuk kesekian kali. Diambilnya buku yang disimpan di laci meja bawah, mencoba mengabaikan Lea yang sedang berbicara.

"Ka, sesekali lo dengerin gue dong. Bosen. Ini udah mau masuk dua tahun tapi setiap gue ngomong selalu dikacangin."

Ralika melirik Lea dari ujung matanya. Terbesit rasa kasihan di dalam hatinya pada cewek itu. Memang sejak lama Ralika selalu mengabaikannya, bahkan, terkesan tak peduli. Siapa suruh ingin berteman dengannya?

"Kalau kamu tidak mau diabaikan lebih baik kamu bicara sama anak-anak lain yang bisa nerima ocehan kamu."

Lea mengerucutkan bibirnya. "Yaelah 'kan gue maunya jadi temen lo. Yang asli baiknya, bukan cuman orang yang sok baik di depan tapi busuk di belakang!"

"Kamu pikir saya baik?"

Lea mengangguk cepat. "Iya, lo itu orang pertama yang gue kenal waktu pertama kali gue nginjekin kaki di sekolah ini. Lo itu penyelamat gue, kayak wonder woman."

Ralika diam. Ia tak tau sisi mana yang Lea lihat dari dirinya hingga mengatakan seperti wonder woman. Padahal Ralika sangat tidak mau dikenal baik, orang baik itu terlalu lemah dan dirinya tak mau menjadi orang lemah!

"Saya bukan orang baik!" ucap Ralika meninggikan suara. Lea awalnya kaget, mematung beberapa saat hingga akhirnya kembali tersenyum.

"Iya deh, lo nggak baik, tapi lo tetap pahlawan buat gue."

Ralika jengah mendengar semua itu. Lebih memilih fokus pada bukunya, membaca lagi pelanggaran yang dibuat hari ini. Berbeda dari kelas lain yang sering ribut atau membuat kenakalan jikalau guru tidak masuk atau terlambat, kelas 11 IPA 3 justru kebalikannya, kelas ini sangat sunyi dan tentram. Ya, selama Ralika ada tentunya.

Beberapa saat kemudian, Sari yang merupakan guru dari pelajaran Bahasa Indoneia terlihat memasuki kelas dengan senyuman khasnya, senyuman yang dianggap mengerikan bagi seluruh siswa. Semua orang tau betapa killer-nya guru itu.

"Pagi anak-anak!"

"Pagi Bu," ucap semuanya serempak.

"Ika, tolong, kamu ambil LKS di meja saya."

Ralika mengangguk lalu berjalan keluar kelas. Suasana koridor pun nampak sepi, ya wajar seluruh murid sedang melakukan proses belajar-mengajar di dalam kelas, sementara sisanya olahraga di lapangan.

Samar-samar ia mendengar suara cekikan dari salah satu kelas, padahal jaraknya dan kelas itu lumayan jauh tapi keributannya sangat terdengar. Tepat saat melewati kelas itu, suara siulan terdengar di telinganya, dilihat dari jendela ternyata ada guru yang mengajar, guru itu terlihat masih muda, hal itu mungkin yang membuatnya digoda beberapa murid.

Matanya melirik isi kelas, tampak jelas di sana El dan teman-temannya begitu riuh dan dibalas cekikikan oleh beberapa murid. Tak sengaja mata mereka bertemu, El tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ralika langsung mengalihkan pandangannya, mencoba tak peduli.

☁☁☁

"Gimana kalau kita labrak rame-rame?"

Neta berkata sambil memilin rambut ikalnya sembari tersenyum licik menatap beberapa anak cewek kelas 12 yang nampak sedang berpikir.

Neta sengaja mengumpulkan siswi yang memang diketahui membenci Ralika. Bahkan, juga kakak kelasnya, Ralika seringkali mendapat tatapan benci dari beberapa orang, jadi tak sulit jika mengumpulkan mereka untuk sekedar berkerja sama, sikap Ralika yang dianggap sok berkuasa dan menjadi murid kesayangan guru, menjadi poin penting yang membuat Neta melakukan ini.

Rata-rata murid SMA Dharma menilai Ralika sebagai pribadi yang tegas dan sangat dihormati. Mungkin, karena jabatannya sebagai Waketos yang membuat dirinya seperti itu, tapi Neta dengan liciknya menambahkan bumbu-bumbu kebencian. Dan, tak jarang memang berdampak pada beberapa murid.

"Emangnya lo berani?"

Neta tersenyum miring. Tak heran, ada yang mengajukan pertanyaan itu. Semua orang tau dengan kepiawaian Ralika dalam seni beladiri karate dan taekwondo yang tentunya tidak bisa diragukan lagi. Tapi, bukan Neta namanya kalau terpengaruh dengan hal itu.

"Sejago apapun dia dalam hal bela diri nggak akan bisa namanya kalau ngadepin banyak orang sekaligus. Gue juga bakalan ngajak beberapa anak cowok yang pernah dihukum sama Ika." Neta merubah posisinya menjadi berbalik, "Gue bakal buktiin kalau gue lebih hebat dari lo Ralika," gumamnya.

"Nanti bakal gue kabarin lagi."

Semuanya mengangguk. Perlahan membubarkan diri dari ruang musik, hingga akhirnya hanya menyisahkan dirinya seorang. Neta juga baru akan beranjak dari tempat berdirinya, tapi langsung terhenti saat melihat seseorang sedang berdiri dengan tangan terlipat---bersandar di dekat pintu.

"Lea," gumam Neta.

Lea maju dengan langkah pelan, matanya menyorot Neta yang seolah terkejut dengan keberadaanya.

"Lo ... lo ngapain di sini?" Neta berusaha menahan keterkejutannya.

Untuk sesaat Lea tak bicara, ia sibuk meneliti raut wajah Neta yang terlihat kaget dengan kehadirannya. Cewek itu seperti kepergok mencuri sesuatu.

"Seharusnya 'kan itu yang gue tanyain ke lo. Ngapain lo di ruang musik? Sama anak kelas dua belas lagi."

Neta memilin rambutnya kembali, mencoba bersikap tenang. Sepertinya Lea tidak mendengar obrolannya tadi. Kalau memang benar mendengar? Pasti cewek itu sekarang sudah berteriak padanya.

"Kenapa juga gue harus kasih tau lo? Gue bisa pergi ke mana pun yang gue mau! Terserah mau sama siapapun, bukan urusan lo!"

"Nggak usah nyolot dong, gue ngomongnya biasa aja keleus atau ... ini taktik lo lagi yang mau jahatin Ika."

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Denger ya, dari segi apapun gue lebih baik dari Ralika, dan semua orang juga tau itu, jadi buat apa gue ngerencanain hal jahat."

Neta tersenyum sinis, bangga dengan perkataannya. Tak ada yang bisa menyangkal kalau dirinya lebih cantik, tak sebanding dengan Ralika yang berwajah flat, tanpa senyum.

Lea tertawa terbahak detik itu juga, sedangkan Neta melipat tangannya sambil mengangkat sebelah alis, bingung.

"Ngapain lo ketawa?"

"Lo itu kayaknya benci banget sama Ika sampe nggak nyadar posisi," ujar Lea disela-sela tawa.

"Ika sama lo beda jauh. Buktinya cowok kayak El yang termasuk anak baru ganteng di sekolah ini lebih bilang Ika lebih cantik dari pada lo."

Skakmat!

Neta berusaha menahan emosinya. Sontak perkataan itu membuat tangannya mengepal.

Lea berjalan keluar dari ruang musik, dengan langkah yang dibuat-buat. Sengaja membuat Neta meledak, Lea tersenyum miring sambil melambaikan tangan, tak peduli dengan teriakan Neta yang berteriak 'denger ya! Gue lebih segalanya dari tuh cewek'

Entah kenapa perasaan curiga pada Neta masih setia dipikirannya. Lea tau betul sifat cewek itu, sejak awal Neta selalu mencoba berbagai macam cara licik untuk menjatuhkan Ralika, yang dianggap lebih berpengaruh di Dharma dari dirinya.

Terbukti, untuk apa ia berkumpul dengan anak kelas 12? Padahal setaunya, Neta tidak terlalu suka kalau berteman dengan kakak kelas.

☁☁☁

El keluar dari mobilnya dengan langkah pelan, pandangannya lelah. Tasnya bahkan, sudah terseret-seret di dekat kaki. Kalau dirinya punya kekuatan super, sudah pasti El akan menghilang dan langsung muncul di kasur empuk yang nyaman disertai dengan guling kesayangannya.

"Duh, cape banget."

Langsung saja tubuhnya dihempaskan ke sofa. Rasanya badan seakan remuk. Ini rekor baru untuknya, ternyata punya Om kepala sekolah tidak seenak kedengarannya. El sama sekali tak bisa berkutik. Salah gerak sedikit, jaminannya dilaporkan dan berimbas ke uang jajan yang dipotong.

"Nih rumah sepi amat," Matanya menatap ke sekeliling, "Maaa! Mama!"

Tak ada sahutan, mungkin mamanya sedang pergi dengan teman-temannya, biasalah emak-emak zaman now. Mata El beralih pada ponselnya yang berada di dekat lemari. Benda pipih itu berkedip beberapa kali, serta mengeluarkan bunyi getaran.

"Halo!"

Selang beberapa detik El menjauhkan benda itu, gendang telinganya seakan pecah setelah mendengar suara cempreng seseorang dari sebrang. "Eh, lo ngapa nggak ngomong kalau pindah ke Jakarta?! Wah para nih, lo nggak anggap gue nih. Mestinya-"

"Stooop! Gendang telinga gue pecah rasanya karna suara lo!"

"Hehe maaf deh, lo sih nggak ngasih tau gue udah pindah ke Jakarta, sekolah di SMA gue dulu lagi. Sayang banget gue udah tamat."

Mona Alesya. Jangan heran dengan sikap toa dan nyablak cewek itu. Terkadang sifatnya tak jauh berbeda dengan El yang seenaknya. Mona sepupunya El, anak dari Bima. Si cewek tomboy yang baru lulus tahun ini. Mungkin kalau dari luar tidak akan ada yang menduga Mona anak dari kepala sekolah SMA Dharma, secara mereka sangat berbeda. Ya, mungkin itulah sebab El selalu memanggil Mona dengan sebutan 'abang'.

"Yaiyalah, secara lo nggak bisa liat cowok seganteng gue!"

"Ceilah pede lo. Palingan juga diawasin sama papa atau nggak sama Ika, nyali lo langsung ciut."

Ika? Ralika? Mona bahkan mengenalnya juga.

"Yeay, sok tempe lo! Gue mah orangnya nggak penakut, tapi kalau sama Ralika sih, mau-mau aja."

Mona diam, satu detik, dua detik, tiga detik.

"Halo-halo! Woy Bang!"

"Tunggu tadi lo bilang apa? Jangan-jangan lo suka Ika ya?"

El berdecak. "Ah elah, kok malah nyambung ke situ, sih? Jadi malu."

Di sebrang sana Mona rasanya ingin muntah mendengar suara El yang malu-malu kucing padahal anjing.

"Ya nggak papa sih, tapi gue takutnya lo nyerah kalau kena tonjok Ika. Gue kesian sama tante, masa muka ancur anaknya jadi tambah ancur."

El jadi kesal. "Woy gue ganteng kali, malah ngatain gue kayak gitu."

Mona malah tertawa. "Oke-oke jangan marah brother. Dia itu junior terbaik kalau urusan beladiri, jadi siap-siap aja. Ika itu formal tapi baik kok. Tapi jangan sesekali bilang kalau dia orang baik."

El mengerenyit. "Lo ngomong apaan sih? Kok jadi muter-muter gitu."

"Eh, udah deh lo nggak bakal paham. Bocah kaya lo nggak bisa ngertiin anak kuliahan kayak gue."

Belum sempat El membalas Mona langsung mematikan sambungannya. "Songong banget lo! Baru jadi anak kuliahan aja belagunya minta ampun!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status