Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.
Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta.Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngurusin murid biang onar."Ralika diam, menatapi Lea yang seperti orang gila. Dia yang bertanya malah dia juga yang menjawab.Ralika menghembuskan napas kasar untuk kesekian kali. Diambilnya buku yang disimpan di laci meja bawah, mencoba mengabaikan Lea yang sedang berbicara."Ka, sesekali lo dengerin gue dong. Bosen. Ini udah mau masuk dua tahun tapi setiap gue ngomong selalu dikacangin."Ralika melirik Lea dari ujung matanya. Terbesit rasa kasihan di dalam hatinya pada cewek itu. Memang sejak lama Ralika selalu mengabaikannya, bahkan, terkesan tak peduli. Siapa suruh ingin berteman dengannya?"Kalau kamu tidak mau diabaikan lebih baik kamu bicara sama anak-anak lain yang bisa nerima ocehan kamu."Lea mengerucutkan bibirnya. "Yaelah 'kan gue maunya jadi temen lo. Yang asli baiknya, bukan cuman orang yang sok baik di depan tapi busuk di belakang!""Kamu pikir saya baik?"Lea mengangguk cepat. "Iya, lo itu orang pertama yang gue kenal waktu pertama kali gue nginjekin kaki di sekolah ini. Lo itu penyelamat gue, kayak wonder woman."Ralika diam. Ia tak tau sisi mana yang Lea lihat dari dirinya hingga mengatakan seperti wonder woman. Padahal Ralika sangat tidak mau dikenal baik, orang baik itu terlalu lemah dan dirinya tak mau menjadi orang lemah!"Saya bukan orang baik!" ucap Ralika meninggikan suara. Lea awalnya kaget, mematung beberapa saat hingga akhirnya kembali tersenyum."Iya deh, lo nggak baik, tapi lo tetap pahlawan buat gue."Ralika jengah mendengar semua itu. Lebih memilih fokus pada bukunya, membaca lagi pelanggaran yang dibuat hari ini. Berbeda dari kelas lain yang sering ribut atau membuat kenakalan jikalau guru tidak masuk atau terlambat, kelas 11 IPA 3 justru kebalikannya, kelas ini sangat sunyi dan tentram. Ya, selama Ralika ada tentunya.Beberapa saat kemudian, Sari yang merupakan guru dari pelajaran Bahasa Indoneia terlihat memasuki kelas dengan senyuman khasnya, senyuman yang dianggap mengerikan bagi seluruh siswa. Semua orang tau betapa killer-nya guru itu."Pagi anak-anak!""Pagi Bu," ucap semuanya serempak."Ika, tolong, kamu ambil LKS di meja saya."Ralika mengangguk lalu berjalan keluar kelas. Suasana koridor pun nampak sepi, ya wajar seluruh murid sedang melakukan proses belajar-mengajar di dalam kelas, sementara sisanya olahraga di lapangan.Samar-samar ia mendengar suara cekikan dari salah satu kelas, padahal jaraknya dan kelas itu lumayan jauh tapi keributannya sangat terdengar. Tepat saat melewati kelas itu, suara siulan terdengar di telinganya, dilihat dari jendela ternyata ada guru yang mengajar, guru itu terlihat masih muda, hal itu mungkin yang membuatnya digoda beberapa murid.Matanya melirik isi kelas, tampak jelas di sana El dan teman-temannya begitu riuh dan dibalas cekikikan oleh beberapa murid. Tak sengaja mata mereka bertemu, El tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ralika langsung mengalihkan pandangannya, mencoba tak peduli.☁☁☁"Gimana kalau kita labrak rame-rame?"Neta berkata sambil memilin rambut ikalnya sembari tersenyum licik menatap beberapa anak cewek kelas 12 yang nampak sedang berpikir.Neta sengaja mengumpulkan siswi yang memang diketahui membenci Ralika. Bahkan, juga kakak kelasnya, Ralika seringkali mendapat tatapan benci dari beberapa orang, jadi tak sulit jika mengumpulkan mereka untuk sekedar berkerja sama, sikap Ralika yang dianggap sok berkuasa dan menjadi murid kesayangan guru, menjadi poin penting yang membuat Neta melakukan ini.Rata-rata murid SMA Dharma menilai Ralika sebagai pribadi yang tegas dan sangat dihormati. Mungkin, karena jabatannya sebagai Waketos yang membuat dirinya seperti itu, tapi Neta dengan liciknya menambahkan bumbu-bumbu kebencian. Dan, tak jarang memang berdampak pada beberapa murid."Emangnya lo berani?"Neta tersenyum miring. Tak heran, ada yang mengajukan pertanyaan itu. Semua orang tau dengan kepiawaian Ralika dalam seni beladiri karate dan taekwondo yang tentunya tidak bisa diragukan lagi. Tapi, bukan Neta namanya kalau terpengaruh dengan hal itu."Sejago apapun dia dalam hal bela diri nggak akan bisa namanya kalau ngadepin banyak orang sekaligus. Gue juga bakalan ngajak beberapa anak cowok yang pernah dihukum sama Ika." Neta merubah posisinya menjadi berbalik, "Gue bakal buktiin kalau gue lebih hebat dari lo Ralika," gumamnya."Nanti bakal gue kabarin lagi."Semuanya mengangguk. Perlahan membubarkan diri dari ruang musik, hingga akhirnya hanya menyisahkan dirinya seorang. Neta juga baru akan beranjak dari tempat berdirinya, tapi langsung terhenti saat melihat seseorang sedang berdiri dengan tangan terlipat---bersandar di dekat pintu."Lea," gumam Neta.Lea maju dengan langkah pelan, matanya menyorot Neta yang seolah terkejut dengan keberadaanya."Lo ... lo ngapain di sini?" Neta berusaha menahan keterkejutannya.Untuk sesaat Lea tak bicara, ia sibuk meneliti raut wajah Neta yang terlihat kaget dengan kehadirannya. Cewek itu seperti kepergok mencuri sesuatu."Seharusnya 'kan itu yang gue tanyain ke lo. Ngapain lo di ruang musik? Sama anak kelas dua belas lagi."Neta memilin rambutnya kembali, mencoba bersikap tenang. Sepertinya Lea tidak mendengar obrolannya tadi. Kalau memang benar mendengar? Pasti cewek itu sekarang sudah berteriak padanya."Kenapa juga gue harus kasih tau lo? Gue bisa pergi ke mana pun yang gue mau! Terserah mau sama siapapun, bukan urusan lo!""Nggak usah nyolot dong, gue ngomongnya biasa aja keleus atau ... ini taktik lo lagi yang mau jahatin Ika.""Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Denger ya, dari segi apapun gue lebih baik dari Ralika, dan semua orang juga tau itu, jadi buat apa gue ngerencanain hal jahat."Neta tersenyum sinis, bangga dengan perkataannya. Tak ada yang bisa menyangkal kalau dirinya lebih cantik, tak sebanding dengan Ralika yang berwajah flat, tanpa senyum.Lea tertawa terbahak detik itu juga, sedangkan Neta melipat tangannya sambil mengangkat sebelah alis, bingung."Ngapain lo ketawa?""Lo itu kayaknya benci banget sama Ika sampe nggak nyadar posisi," ujar Lea disela-sela tawa."Ika sama lo beda jauh. Buktinya cowok kayak El yang termasuk anak baru ganteng di sekolah ini lebih bilang Ika lebih cantik dari pada lo."Skakmat!Neta berusaha menahan emosinya. Sontak perkataan itu membuat tangannya mengepal.Lea berjalan keluar dari ruang musik, dengan langkah yang dibuat-buat. Sengaja membuat Neta meledak, Lea tersenyum miring sambil melambaikan tangan, tak peduli dengan teriakan Neta yang berteriak 'denger ya! Gue lebih segalanya dari tuh cewek'Entah kenapa perasaan curiga pada Neta masih setia dipikirannya. Lea tau betul sifat cewek itu, sejak awal Neta selalu mencoba berbagai macam cara licik untuk menjatuhkan Ralika, yang dianggap lebih berpengaruh di Dharma dari dirinya.Terbukti, untuk apa ia berkumpul dengan anak kelas 12? Padahal setaunya, Neta tidak terlalu suka kalau berteman dengan kakak kelas.☁☁☁El keluar dari mobilnya dengan langkah pelan, pandangannya lelah. Tasnya bahkan, sudah terseret-seret di dekat kaki. Kalau dirinya punya kekuatan super, sudah pasti El akan menghilang dan langsung muncul di kasur empuk yang nyaman disertai dengan guling kesayangannya."Duh, cape banget."Langsung saja tubuhnya dihempaskan ke sofa. Rasanya badan seakan remuk. Ini rekor baru untuknya, ternyata punya Om kepala sekolah tidak seenak kedengarannya. El sama sekali tak bisa berkutik. Salah gerak sedikit, jaminannya dilaporkan dan berimbas ke uang jajan yang dipotong."Nih rumah sepi amat," Matanya menatap ke sekeliling, "Maaa! Mama!"Tak ada sahutan, mungkin mamanya sedang pergi dengan teman-temannya, biasalah emak-emak zaman now. Mata El beralih pada ponselnya yang berada di dekat lemari. Benda pipih itu berkedip beberapa kali, serta mengeluarkan bunyi getaran."Halo!"Selang beberapa detik El menjauhkan benda itu, gendang telinganya seakan pecah setelah mendengar suara cempreng seseorang dari sebrang. "Eh, lo ngapa nggak ngomong kalau pindah ke Jakarta?! Wah para nih, lo nggak anggap gue nih. Mestinya-""Stooop! Gendang telinga gue pecah rasanya karna suara lo!""Hehe maaf deh, lo sih nggak ngasih tau gue udah pindah ke Jakarta, sekolah di SMA gue dulu lagi. Sayang banget gue udah tamat."Mona Alesya. Jangan heran dengan sikap toa dan nyablak cewek itu. Terkadang sifatnya tak jauh berbeda dengan El yang seenaknya. Mona sepupunya El, anak dari Bima. Si cewek tomboy yang baru lulus tahun ini. Mungkin kalau dari luar tidak akan ada yang menduga Mona anak dari kepala sekolah SMA Dharma, secara mereka sangat berbeda. Ya, mungkin itulah sebab El selalu memanggil Mona dengan sebutan 'abang'."Yaiyalah, secara lo nggak bisa liat cowok seganteng gue!""Ceilah pede lo. Palingan juga diawasin sama papa atau nggak sama Ika, nyali lo langsung ciut."Ika? Ralika? Mona bahkan mengenalnya juga."Yeay, sok tempe lo! Gue mah orangnya nggak penakut, tapi kalau sama Ralika sih, mau-mau aja."Mona diam, satu detik, dua detik, tiga detik."Halo-halo! Woy Bang!""Tunggu tadi lo bilang apa? Jangan-jangan lo suka Ika ya?"El berdecak. "Ah elah, kok malah nyambung ke situ, sih? Jadi malu."Di sebrang sana Mona rasanya ingin muntah mendengar suara El yang malu-malu kucing padahal anjing."Ya nggak papa sih, tapi gue takutnya lo nyerah kalau kena tonjok Ika. Gue kesian sama tante, masa muka ancur anaknya jadi tambah ancur."El jadi kesal. "Woy gue ganteng kali, malah ngatain gue kayak gitu."Mona malah tertawa. "Oke-oke jangan marah brother. Dia itu junior terbaik kalau urusan beladiri, jadi siap-siap aja. Ika itu formal tapi baik kok. Tapi jangan sesekali bilang kalau dia orang baik."El mengerenyit. "Lo ngomong apaan sih? Kok jadi muter-muter gitu.""Eh, udah deh lo nggak bakal paham. Bocah kaya lo nggak bisa ngertiin anak kuliahan kayak gue."Belum sempat El membalas Mona langsung mematikan sambungannya. "Songong banget lo! Baru jadi anak kuliahan aja belagunya minta ampun!"Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i