Mendengar suara pintu terbuka, mereka langsung menoleh. Tatapan sinis terpancar disemua mata semua orang. Mawar yang merasa terimidasi menundukan kepala dan memegang lengan Hamdan.
"Bisa gak sih kalian gak usah natap kami begitu, udah kaya buronan tau rasanya," sembur Hamdan.Beberapa orang memutarkan bola mata mendengar ucapan Hamdan."Udah, gak usah debat! Mendingan ayo cepat kalian nikah," tegur Pak RTMaura telah duduk menunggu, wanita itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hamdan melihat sang istri mendekat."Jangan mendekat! Mendingan kalian cepat menikah!"Tatapan Maura begitu dingin pada sang suami. Membuat Hamdan mengembuskan napas dan dia mulai duduk di depan penghulu, begitupun Mawar."Eh, Mas! Kitakan belum ngomongin maharnya," pekik wanita itu.Hamdan mendengar itu menoleh menatap Mawar, begitupun semua orang. Maura mendengar hal tersebut, menyeringai dan bersidekap."Aku mau maharnya ...."Ucapan Mawar terpotong saat mendengar Maura menyela."Kamu ini, udah bagus aku nikahin jadi gak zina mulu. Malah gak tau malu minta mahar, mendingan mahar seadanya aja! Gak usah neko-neko," cecar Maura.Maura mendekati suaminya lalu mengambil dompet lelaki itu. Ia mengeluarkan uang dua ratus ribu yang memang berada di sana."Ini maharnya! Atau gak nikah sama sekali," kata Maura.Melihat uang yang disodorkan Maura, wanita itu memanyunkan bibir lalu mengangguk menerima mahar tersebut."Ya udah, aku terima. Yang penting nikah sama Mas Hamdan," ucap Mawar pelan.Setelah beradu argumen panjang, akhirnya kata sah terdengar. Semua warga langsung pamit pulang, banyak yang menatap iba Maura. Tetapi, perempuan itu membalas dengan senyuman. Dia segera menutup pintu , lalu sebuah tangan melingkar di pinggang. Maura berusaha menguasai emosi dan berbalik memandang dalam lelaki tersebut."Mas ... lepas! Aku ngantuk, mau tidur."Maura sekuat tenaga menahan air mata yang hendak menetes, ia menyingkirkan lengan sang suami yang membelit pinggang."Ra ... maafin Mas. Mas sudah menyakiti kamu." Kata itu terlontakan di bibir pria yang sekarang memiliki dua istri tersebut."Mas akan berusaha adil. Mas mencintai Mawar dan juga kamu."Maura tersenyum kecut saat mendengar ucapan Hamdan yang lancar tanpa hambat."Sudalah, Mas. Aku sangat mengantuk," ucap Maura.Ia berusaha menjauh dari tubuh Hamdan karena mereka tidak ada jarak sedikitpun. Saat melangkah menuju kamar, Hamdan mengucapkan sesuatu."Mas akan tidur bersamamu, setelah nganterin Mawar ke kamarnya."Perkataan lelaki itu membuat Maura membulatkan mata, ia segera berbalik sambil berkata."Jangan!"Pekikan Maura membuat Hamdan dan Mawar terkejut."Eum ... Mas tidur aja bareng, Mawar. Ini, kan, malam pertama kalian," ucap Maura.Wanita itu menyindir mereka membuat Mawar yang merasa langsung menunduk."Ya udah, Mas bakal tidur bareng Mawar. Kalau gitu, Mimpi indah ya, Sayang."Lelaki itu melontarkan kata tersebut setelah mendekati Maura. Ia mendaratkan kecupan di kening istri pertamanya. "Ayo Mas ... aku ngantuk nih," ajak Mawar.Istri kedua Hamdan itu bergelayut manja di lengan lelaki tersebut, Maura yang melihat hanya memutarkan bola matanya muak."Mbak, kami mau tidur dulu ya," kata Mawar.Maura tidak menyahuti perkataan sang adik madu, ia langsung pergi meninggalkan mereka."Sayang, sekarang kita bisa melakukannya tanpa sembunyi-sembunyi. Mas bahagia banget."Percakapan pengantin dadakan itu terdengar karena Maura mengintip mereka."Kalian boleh bersenang-senang. Bersiaplah buat besok Mawar! Kamu berani-beraninya masuk dalam rumah tanggaku," geram Maura.Ia langsung berbalik dan bergegas pergi ke kamar. Dia ruangan itu Maura mengeluarkan semua air mata tanpa suara. Wanita itu terlelap kala jam menunjuk angka satu dini hari. Dia terbangun saat mendengar azan subuh, melakukan kewajiban sebagai umat muslim tanpa menunggu sang suami.Hamdan pasti kelelahan melewati malam pertamanya. Memikir hal itu membuat hati Maura terasa sakit. Perempuan bermukena hijau mencurahkan semua yang hinggap dalam kehidupan.Suara dering ponsel mengalihkan tatapan Maura. Beruntung wanita itu selesai berdoa, bergegas merapikan mukena, ia langsung meraih benda pipih tersebut. Nama Mama mertua tertera, dia lekas menerima panggilan."Walaikumsalam, Mah," balas Maura, lalu ia menoleh saat pintu kamar terbuka."Siapa, Ra?" tanya Hamdan.Lelaki itu masih memakai setelan koko dan sarung."Mama, Mas," sahut Maura.Mendengar hal itu membuat Hamdan membulatkan mata, ia langsung mendekat. Takut sang istri mengadu atas kelakukannya."Mama, di mana Delia?" tanya Hamdan.Lelaki itu merebut handphone Maura dari tangan wanita itu.Maura mendengkus, ketahuan sekali pria itu takut istri pertamanya mengadu pada Wulan. Maura langsung tersenyum saat suara cempreng Delia terdengar di ponsel. Dia lekas berdiri di samping Hamdan sambil melambaikan tangan ke handphone."Sayang, kamu senang di rumah Oma?" tanya Maura.Wanita itu mengulas senyum. Kesedihan meluap menjadi kehagiaan saat mendengar celotehan sang putri."Lia senang di rumah Oma, Bunda. Tapi Lia kangen Bunda," balas Delia.Perkataan Delia membuat Maura meneteskan air matanya, teringat pengkhianatan sang suami."Sekarang Bunda jemput ya, sudah habis masa liburmu, Sayang," seru Maura.Seruannya dibalas anggukan menggemaskan Delia, gadis kecil itu tertawa bahagia tanpa beban."Sayang, Bunda akan memperjuangkan hakmu!" Batin Maura berseru.Dia segera menyudahi perbincangan mereka, karena Hamdan harus bersiap berkerja."Sayang, mana pakaian kerjaku?" pinta Hamdan setelah mematikan sambungan video call."Kamu tidak mengadu pada Mama, kan?" tanya Hamdan.Lelaki itu menatap sang istri tajam, menaruh ponsel Maura ke nakas."Buat apa, ini masalahku. Aku tidak mau melibatkan mereka," sahut Maura.Dia berkata dengan ketus, lalu mengambilkan setelan pakaian kerja dan berlalu pergi meraih tas slempang."Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Hamdan saat Maura memegang gagang pintu."Apa kamu menjadi tuli? Sudah dengar bukan, aku mau menjemput Delia," jawab Maura. Manik mata wanita itu terlihat kesal pada sang suami, membuat pria itu salah tingkah. Dia bergegas meninggalkan lelaki tersebut dan menuju ruang makan.Saat sampai ia langsung mengambil roti dan selesai, hari ini dia ingin memakan itu. Tak berselang lama terlihat Hamdan, Maura berjapan bersamaan menuju meja.Dia lebih memilih fokus sarapan dari pada memikirkan manusia yang sedang di dekat meja. Hamdan menatap beberapa lembar roti di sana, tidak dioleh apapun."Sayang, mana sarapannya? Kenapa hanya roti saja," protes Hamdan.Lelaki itu menjatuhkan bokong ke kursi."Itu ada selai, oles saja dengan itu. Aku sedang malas masak, suruh aja istri barumu memasak," sinis Maura.Perkataan Maura membuat Mawar melotot pasalnya ia tak bisa memasak, ia membawa makanan hasil membeli di rumah makan."Oh ya, kamu, War. Jangan mengaku sebagai istri Mas Hamdan, apalagi menyuruh Delia memanggil Mama. Kamu hanya akan aku kenalkan sebagai pembantu rumah ini, status kalian tidak boleh diketahui oleh keluarga," tutur Maura.Suaranya sama sekali tidak gemetar sedikit pun, ia sudah menguatkan hati."Nggak bisa, Mbak! Mbak tidak boleh seperti itu, aku ini istrinya Mas Hamdan sekarang. Bukan pembantu," protes Mawar dengan nada menggebu-gebu."Iya, Sayang, kasian Mawar kalau dianggap pembantu," bela Hamdan membuat Mawar tersenyum."Kalau Delia mengamuk bagaimana? Dan bertanya-tanya kenapa dia bisa memiliki dua Ibu. Apa kalian mau tanggung jawab! Apalagi kalau Mama dan Ayah mengetahui kelakuan putranya," hardik Maura.Dia menatap tajam kedua manusia itu, napasnya terengah-engah karena berucap dengan nada tinggi."Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me