"Orang yang punya ingatan dari Arai adalah kakek buyutku, ia mewariskan semua ini ke keturunan dan hingga terlahir seseorang yang jadi reinkarnasi dari leluhur kami, membuat pertemuanku denganmu bermula sebenarnya ... aku sendiri anak yang lahir sebagai rencana cadangan jika kembaran asliku tiada untuk melanjutkan rencana Keluarga ini." Han Xue Tian beranjak keluar dari mobil kemudian membukakan pintu untuk Ran Xieya."Aku tidak mengerti," sahut Ran Xieya masih duduk di dalam mobil. Ia bingung dan enggan memasuki kediaman yang asing baginya itu. "Apa lagi tempat itu?" celetuk Ran Xieya."Dilihat dari luar memang seperti kediaman tapi tempat usang namun inilah He Hua yang ada di masa ini," jawab Han Xue Tian. "Di dalam kediaman itu, jawaban ada di sana," ucap Han Xue Tian sembari menoleh kediaman itu.Ran Xieya memandangai suaminya. "Kau lebih tahu daripada aku jika, Tian-Tian berhak mendapatkan keinginannya lebih dulu," ucap Ran Xieya. "Aku tahu." Han Xue Tian menggengam tangan Ran X
Ran Xieya duduk dengan gusar, ia menanti kedatangan orang-orang terdekatnya untuk bertemu dengan Ran Xieya setelah sekian lama. Masalahnya Ran Xieya sudah lama tak bersua dengan keluarganya itu terutama Ran Hua Zhen, adik bungsunya dan satu-satunya keluarga kerajaan yang tersisa kemudian keponakan kecilnya. Feng Zhi. Ran Xieya berada di kamarnya di kediaman He Hua. Kediaman dari Klan Han, ia memang 'disembunyikan' dengan baik oleh Klan Ksatria dan Kultivator ini. Ran Xieya tengah menyisir rambut hitam panjang bergelombangnya, kedua mata magentanya yang cantik menerjab kala Han Fang Yi, adik bungsu Han yang sejak lama membencinya memunculkan dirinya di ambang pintu."Adik Fang Yi, apakah kau mau berbicara sesuatu?" tanya Ran Xieya sembari menoleh meski belum beranjak berdiri dari kursi kayu akasia berukir teratai itu.Wanita Muda itu hanya memandangi Ran Xieya kemudian menunduk. "Maafkan aku, Jie," ucap Fang Yi.Ran Xieya menoleh tak mengerti, ia heran akan sikap Fang Yi yang mendadak
"Salam, apa kabar adikku?" sapa Ran Xieya sambil merentangkan kedua tangannya.Ran Hua Zhen menghampiri Ran Xieya dengan cepat kemudian meleburkan pelukan hangatnya. Keluarga Ran hanya tersisa kedua Wanita Ran ini. Mereka yang tersisa untuk kembali memperebutkan kerajaan mereka. "Jie ... kita harus kembali merebut rumah kita, rakyat kita dan tanah kita," ucap Ran Hua Zhen.Ran Xieya mengangguk. "Kita akan merebutnya lagi," ucap Ran Xieya. Mereka saling berpelukan dalam kebahagiaan yang tak terucapkan. Meskipun banyak waktu telah terlewati dan banyak hal yang telah berubah, ikatan darah antara mereka tetap kuat. Meskipun mereka telah bertemu kembali, tantangan baru menunggu mereka. Kerajaan mereka hancur, dan rakyat mereka tersebar di berbagai tempat. Ran Xieya dan Ran Hua Zhen bersumpah untuk memulihkan kejayaan kerajaan mereka, demi menghormati warisan keluarga mereka dan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua yang mereka cintai."Kita harus menyingkirkan Baosheng, a
“Kau punya mata tidak sih? ini sudah dua kalinya kamu memecahkan piring, restoran ini bisa rugi jika begini,” omel seorang Wanita pemilik Rumah Makan ini.“Maafkan aku Boss, aku akan lebih berhati-hati,” ucap Gadis berambut hitam gelap itu.“Gajimu bulan ini akan dipotong akibat keteledoranmu,” sahut Wanita itu.“Jangan, aku butuh uang gaji bulan ini untuk biaya berobat nenekku,” pinta Gadis berambut hitam. Ia memohon pada pemilik Rumah Makan tempatnya bekerja paruh waktu. “Aku minta maaf Boss, aku kurang tidur karena pagi harus berkuliah jadi kumohon ... aku akan lembur tapi jangan potong gajiku.” Gadis itu memelas.“Masa bodoh! Itu salahmu sendiri pokoknya gajimu dipotong.” Wanita itu berucap sambil meninggalkan sang gadis yang duduk merunduk. “Kemaskan pecahan piring itu, dasar pegawai tak berguna,” cibirnya.Sang gadis bermata kenari menatap pecahan piring. Ini sudah jadi piring ketiga yang ia pecahkan. “Kenapa tanganku gampang sekali merusak sesuatu,” ucapnya. Gadis itu berbohong
Seberkas cahaya mentari pagi yang silau lolos dari celah dinding kayu. Sungguh menyilaukan bagi anak gadis manis yang masih terlelap dengan tidurnya itu. Sembari mengeliat dia pun membuka sepasang kelopak matanya. Membiarkan iris langit magenta nan bening itu terbias oleh cahaya mentari. Buru-buru diarahkan telapak tangannya menutup berkas cahaya itu. Ketika si Gadis hendak beranjak berdiri. Pergerakannya jadi terbatas karena sepasang rantai menjerat kedua kakinya sehingga memaksa bokongnya kembali terjatuh menghantam kerasnya lantai kayu ini. Senna bangun mendapati dirinya dipasung dalam ruangan yang aneh. “Aw, aw, sakit!” jerit Senna. Dia merintih sembari memengangi bokongnya itu. Sepasang iris magentanya membulat dengan sempurna. Seluruh pandangannya menelisik ruangan yang sangat asing untuknya. “Di mana aku?” tanyanya seorang diri. Tatapannya juga tak lepas melihat kedua tangannya yang turut diikat dengan rantai karat yang sudah meninggalkan bekas luka dikedua pergelangan tang
“Tuan Puteri Ran Xieya saya membawa makanan untuk Anda,” Ran Xieya mengulum senyuman yang manis. “Terima kasih,” sahut Ran Xieya sambil menyaksikan gadis itu menunduk dengan sopan sembari pamit untuk meninggalkan kamarnya. “Eh, sebentar, sebentar, temani aku di sini ... aku butuh teman bicara,” ucap Ran Xieya yang terkekeh dengan canggung. “Baiklah Yang Mulia," sahut Gadis itu. Dia berbicara dengan patuh. Gadis Pelayan ini mengenakan gaun panjang berwarna hijau tosca muda itu duduk bersila di sebelah Ran Xieya. Ran Xieya menyeruput teh hangat itu. Dia pun tersenyum jahil. “Hei, ceritakan padaku apa menurutmu aku segila itu?” tanya Ran Xieya. Gadis itu tampak mendehem ragu-ragu, posisi duduknya mulai gelisah. “Ergh ... sebelumnya Yang Mulia tak akan bersikap seperti itu," jawab Gadis itu. Kedua mata Ran Xieya membelalak sempurna. “Eh serius!” jerit Ran Xieya. Ran Xieya mendeham sejenak kemudian mencoba bersikap dengan tenang. "Lalu apa lagi?" tanya Ran Xieya. “Cara bicara anda ju
"Kalau begitu aku harus berhati-hati juga," ucap Ran Xieya. Raut wajahnya serius sembari mencerna situasinya saat ini. "Yang Mulia lebih baik sekarang Anda membersihkan diri karena Lin May akan menyiapkan air hangat untukmu, jangan lupa pertemuan malam ini yang mulia." Lin May berucap sembari membungkuk hormat pada Ran Xieya. Gadis itu menggeser pintu kemudian keluar dari kamar Ran Xieya dengan pelan. Ran Xieya seorang diri masih memikirkan dirinya saat ini. "Ah, jujur saja aku jadi pusing, bagaimana aku bisa masuk ke dunia ini kemudian ada di tubuh Putri Malang seperti ini!" jerit Ran Xieya. Dia pun menarik napas agar bisa membuat dirinya dengan tenang. "Baiklah, tenang ... Ran Xieya, Ran Xieya, serahkan semua masalahmu padaku." Ran Xieya beranjak berdiri kemudian keluar dari kamarnya. Ran Xieya baru selesai mandi. Tubuhnya sudah terasa segar kembali. "Ah, mandi air hangat memang paling terbaik," ucap Ran Xieya. Dia tengah duduk menikmati citrus senja di gazebo istana. Ran Xieya
"Lin May, kenapa aku bahkan tidak tahu jika saat ini ada perjamuan?" tanya Ran Xieya. Dia sembari menoleh pada Lin May. Senyumnya jadi hambar karena tidak tahu mengenai perjamuan Permaisuri yang ternyata sedang hamil. Lin May mengelus pundak Ran Xieya. "Lin May paham, ingatan Tuan Putri memang payah," hibur Lin May. "Aiya ... kau seperti mengolokku," sahut Ran Xieya sembari meringis pelan. Lin May menggeleng. "Itu katamu sendiri, Yang Mulia," ungkap Lin May. Ah benar juga, batin Ran Xieya. Dia pun terkekeh pada Lin May. "Ayo kita keluar dari aula ini, jujur saja aku benci tatapan mereka padaku," bisik Ran Xieya sembari beranjak berdiri. "Mari kita kembali ke kamarmu, Yang Mulia," sahut Lin May. Beberapa langkah lagi kedua gadis ini akan tiba di depan pintu kamar Ran Xieya. Gadis itu sudah mengeluh lapar. “Kenapa kamarku sangat jauh dari aula itu? aku merasa mengelilingi lapangan stadium,” ucap Ran Xieya mengeluh. Biarpun Lin May tak terlalu mengerti dengan ucapan Ran Xieya teta