Share

Mengukir Impian Baru
Mengukir Impian Baru
Penulis: Meina H.

Bab 1 - Penentuan Masa Depan

~Celeste~

“Mereka adalah keluarga yang baik dan terpandang. Mereka tidak akan menyakiti kamu. Temanku ingin membantu kita, Nak,” bujuk Papa dengan suara mendayu.

“Membantu tidak akan memberi syarat seberat itu, Pa. Ini sama saja dengan Papa menjual aku demi membayar utang. Apa bedanya aku dengan p*lacur di luar sana!?” tangkisku dengan sengit.

“Este! Jaga bicara kamu! P*lacur tidak menikah secara sah! Mereka memberikan tubuh mereka demi uang. Dan pria yang mereka tiduri bukanlah suaminya. Kamu akan bahagia hidup sebagai istri pria itu. Dia adalah ahli waris utama ayahnya, Nak. Apa kamu tidak tahu betapa beruntungnya kamu?

“Ada banyak perempuan di luar sana yang berebut untuk menjadi istrinya, berusaha untuk menarik perhatiannya. Mengapa kamu malah menolak niat baik mereka? Pria mana lagi yang berasal dari keluarga terpandang yang mau menikahi kamu?”

“Tidak, Pa. Aku tidak akan menikah dengan pria asing. Titik! Aku dan Kakak akan berusaha mencari cara untuk membantu Papa mengumpulkan uang.” Aku pergi dari kamar rawat itu. Saatnya untuk pulang dan memeriksa skripsiku.

Aku pikir ada hal yang sangat penting yang ada hubungannya dengan keluarga kami. Ternyata Papa hanya mau membahas hal yang tidak berguna itu. Zaman sudah maju, masih ada saja perjodohan. Memangnya ini masih tahun enam puluhan? Papa dan Mama saja menikah karena cinta, bukan dijodohkan oleh Kakek dan Nenek.

Ponselku bergetar saat aku sedang konsentrasi mengerjakan tugas akhirku. “Halo, Kak,” sapaku begitu tahu dia yang menghubungi aku.

“Segera ke rumah sakit. Papa pingsan.”

Aku mendesah napas pelan lalu membelokkan mobil untuk masuk ke areal parkir luar sebuah gedung perkantoran berlantai empat puluh delapan yang megah itu. Seorang petugas keamanan membantu aku dengan menunjukkan lokasi parkir yang masih kosong.

Kepalaku mendadak sakit ketika aku mematikan mesin. Namun aku tidak bisa mundur sekarang. Aku mengambil tas ransel yang ada di jok sebelahku dan keluar dari mobil. Gedung itu tinggi sekali. Aku pernah datang ke tempat ini saat membantu Papa menyajikan makanan pada acara perayaan hari jadi perusahaan besar ini. Pemiliknya adalah orang yang baik.

“Oke. Ayo, kita lakukan ini.”

Sekretaris Om Jarvis menelepon Papa kemarin sore untuk mengingatkan bahwa pagi ini Papa ada janji temu dengannya. Tentu saja Papa tidak bisa datang. Kak Nevan lebih cocok menjadi wakilnya untuk menggantikannya menghadiri pertemuan itu. Namun Papa memaksa agar aku datang sendiri menemui Om Jarvis. Aku sudah tahu alasannya menyuruh aku datang ke sini.

Seorang petugas keamanan meminta aku untuk memberikan tasku kepadanya agar diperiksa dan mempersilakan aku untuk melewati pintu logam. Setelah memastikan bahwa aku tidak membawa benda yang berbahaya, pria itu mengizinkan aku untuk masuk.

Aku melihat ke sekelilingku. Bagian lobi itu sangat luas dengan jendela besarnya yang membuat ruangan itu terasa semakin lapang. Lantainya terbuat dari marmer yang sangat indah, dindingnya sebagian terbuat dari marmer, sebagian lagi dari kayu yang pasti mahal dan kokoh.

Pilar-pilar yang berjarak teratur terlihat kokoh dan ada bingkai besar yang berisi gambar dan tulisan. Ada beberapa set sofa lengkap dengan meja yang diletakkan di beberapa bagian sebagai ruang tunggu atau duduk. Beberapa tanaman dalam pot besar memberi kesegaran pada ruangan besar itu.

Melihat ada beberapa konter, aku mendekati konter yang bertuliskan informasi yang dicetak dengan huruf kapital. Kurang berhati-hati, aku menyenggol seseorang yang berjalan dari belakangku. Aku segera menjauhkan diri.

“Maaf, aku tidak memperhatikan jalan,” ucapku sambil melihat ke arah orang yang telah aku tabrak. “Oh, tidak.” Dia sedang memegang cup yang dari aromanya adalah kopi. Namun karena ulahku, kopi itu sekarang membasahi setelannya. “Aku mohon, maafkan aku.” Aku mencari-cari tisu di dalam tas dan baru menyadari bahwa aku tidak membawanya.

“Tidak apa-apa. Kamu pasti terburu-buru.” Dia melihat ke arah pakaianku. “Syukurlah, pakaianmu tidak terkena cipratan kopiku.” Dia tersenyum simpul, lalu pergi bersama dua orang pria yang berjalan dengannya. Mereka kembali berbicara dengan serius. Aku hanya bisa mengangakan mulut.

Yang baruan itu benar-benar terjadi atau hanya khayalanku saja? Mengapa dia tidak marah atau membentak aku karena sudah mengotori pakaiannya? Dia malah pergi begitu saja dengan dua orang yang bersamanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Seorang pria muda datang mendekat dan segera menggunakan alat pel yang dibawanya untuk membersihkan kopi yang tertumpah ke lantai. Aku meminta maaf karena sudah membuatnya repot, dia hanya tersenyum sambil menawarkan sekotak tisu kepadaku. Aku menatapnya dengan bingung. Dia melihat ke arah sepatuku.

“Oh. Terima kasih.” Aku mengambil beberapa lembar tisu dan membersihkan kopi yang mengenai sisi luar sepatu dan kakiku. Untung saja hari ini aku memakai sepatu datar dengan bahan yang tidak menyerap air. Kalau aku memakai sepatu kets kesayanganku, habislah sudah.

“Maaf, apakah Anda Nona Celeste Renjana?” tanya seorang wanita dari sebelah kananku. Aku berdiri dan menoleh ke arahnya. Dia sangat cantik dengan riasan pada wajahnya, berambut pendek yang ditatanya dengan rapi, dan dia mengenakan setelan kerja dengan rok sepan pendek.

“Iya, benar,” jawabku dengan bingung.

“Pak Jarvis meminta saya untuk mengantar Anda ke ruangannya,” ucapnya dengan sopan. “Mari, ikut dengan saya.”

Aku mendesah lega mendengarnya. Syukurlah. Aku tidak tahu bagaimana cara ke ruangannya jika harus pergi sendiri. Melihat betapa luasnya lobi ini, aku sudah bisa bayangkan akan ada banyak pintu di lantai di mana ruangan Om Jarvis berada. Aku bisa tersesat.

Wanita itu berjalan menuju sebuah gerbang logam yang bagian kacanya hanya bisa dibuka dengan memindai kartu pada tempat yang disediakan. Dia memindai kartu yang dikalungkan di lehernya, kemudian mempersilakan aku untuk masuk lebih dahulu. Dia memindai kartu kedua, lalu memberi kartu tersebut kepadaku. Aku menirunya dengan mengalungkan kartu itu di leherku.

Kami bergabung bersama pegawai lainnya memasuki sebuah elevator yang pintunya terbuka. Tidak ada seorang pun yang bicara di dalam ruangan sempit itu. Satu per satu orang keluar ketika mereka telah tiba di lantai tujuan hingga akhirnya hanya ada aku dan wanita di sisiku.

“Mari, Nona. Kita sudah sampai.”

Dia mengajak aku keluar saat pintu elevator terbuka di lantai empat puluh delapan. Wow! Aku berada di lantai teratas gedung ini. Tidak jauh dari pintu elevator, aku melihat seorang pria keluar dari sebuah ruangan di sebelah kiri. Dia berjalan tidak jauh di depanku, kemudian dia berbelok ke kiri.

Lalu sebuah pemandangan menarik perhatianku. Melalui jendela besar di hadapanku, aku bisa melihat pemandangan kota dari lantai teratas gedung. Hari ini cerah jadi aku bisa melihat indahnya langit biru dengan pemandangan kota yang dipenuhi gedung pencakar langit. Keren sekali!

Aku tidak bisa menyaksikan keindahan itu terlalu lama karena wanita itu berbelok ke kiri. Dia mengetuk pintu di sebelah kanan. Aku melihat ada meja lengkap dengan kursi, komputer, tumpukan berkas, interkom, juga lemari berkas di bagian belakang di sebelah kiri. Sepertinya itu ruangan untuk seorang sekretaris.

“Nona Celeste Renjana, Pak,” ucap wanita itu ketika membuka pintu. Aku mendengar suara seorang pria memberi respons. Wanita itu menoleh ke arahku. “Silakan masuk, Nona.”

“Terima kasih,” kataku pelan. Aku menelan ludah dan melangkah mendekati celah pintu yang terbuka tersebut. Pemandangan di dalam sama indahnya dengan pemandangan di luar ruangan. Di hadapanku ada jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota.

“Masuk, Celeste,” ucap seorang pria yang duduk di sebelah kanan sofa di depanku. “Silakan duduk.” Dia menunjuk ke kursi yang ada di sebelah kirinya, sedangkan di sebelah kanannya ada dua orang pria yang satu menatap aku dengan sopan dan yang lain tampak asyik dengan tablet di tangannya.

“Selamat pagi, Om.” Aku berjalan mendekat lalu duduk di kursi yang ditunjuknya.

“Aku harap kamu tidak kesulitan datang ke sini sepagi ini,” ucapnya ketika pada saat yang sama, wanita tadi meletakkan secangkir teh dan sepiring makanan ringan di atas meja di depanku.

“Tidak, Om. Papa meminjamkan mobilnya agar saya kendarai untuk datang ke sini,” jawabku sambil sedikit menundukkan tubuhku. Pria ini memiliki aura yang membuat aku merasa segan kepadanya.

“Bagaimana keadaan papamu? Aku dengar dia jatuh sakit dua hari yang lalu,” tanyanya khawatir.

“Keadaannya sudah lebih baik, Om. Terima kasih. Tetapi dokter belum mengizinkannya untuk keluar dari rumah sakit,” jawabku pelan.

“Dia membutuhkan istirahat, tidak apa-apa. Sebenarnya pertemuan ini bisa ditunda, tetapi sepertinya dia memang sangat membutuhkan bantuan.” Pak Jarvis menoleh ke arah pria yang duduk di sebelah kanannya. Pria itu mengeluarkan sebuah map dari tasnya lalu meletakkannya di depanku.

“Apa ini, Om?” tanyaku bingung. “Jika ada berkas yang harus ditandatangani, lebih baik Papa saja yang membacanya. Saya tidak terlalu memahami urusan restoran milik Papa.”

“Begitu mengetahui bahwa kamu yang akan datang, aku mengubah isi dari surat perjanjian kami. Aku tidak memerlukan tanda tangan Bisma. Aku membutuhkan tanda tanganmu. Jadi, silakan baca surat itu, jika kamu membutuhkan waktu untuk memikirkannya, silakan,” kata Om Jarvis.

Aku membuka sampul map tersebut dengan enggan. Aku mulai membaca setiap poin dengan hati-hati, aku sudah tahu apa isi dari perjanjian tersebut, tetapi aku perlu memastikan bahwa tidak ada tambahan poin lain di luar dari apa yang Papa sampaikan kepadaku.

Aku memejamkan mata membaca poin yang membuat aku sangat marah tersebut. Surat perjanjian itu tepat seperti yang Papa katakan dan aku tidak menemukan ada kata atau kalimat yang sifatnya ambigu yang bisa digunakan untuk menjebak aku atau Papa suatu hari nanti. Om Jarvis benar-benar orang yang terhormat.

“Di mana saya harus membubuhkan tanda tangan?” tanyaku kepada Om Jarvis.

“Apa kamu yakin tidak ingin memikirkan hal ini lebih dahulu?” tanyanya yang menatap wajahku dengan saksama. Aku mengangguk.

“Papa sudah menceritakan semuanya. Surat perjanjian ini sesuai dengan yang Papa katakan kepada saya,” jawabku tanpa ragu. Pria itu tersenyum.

“Kamu tidak punya pertanyaan apa pun sebelum menandatangani surat ini?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala. Dia menatap aku seolah-olah memberi aku waktu andai aku berubah pikiran. Itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan datang ke sini jika aku masih memiliki keraguan. “Baiklah.”

Pria yang duduk di depanku itu ternyata seorang pengacara. Dia menolong aku untuk memahami isi surat perjanjian tersebut, yang seharusnya tidak perlu dia lakukan karena aku sudah tahu. Baik aku maupun Om Jarvis tidak punya pertanyaan, maka kami bergantian membubuhkan tanda tangan pada bagian yang ditunjuk oleh pengacara tersebut.

Dia membagi berkas itu menjadi tiga dan memasukkannya pada masing-masing amplop. Dia memberikan satu kepada Om Jarvis, kepadaku, dan satu lagi disimpan di dalam tasnya. Dalam waktu kurang dari satu jam, masa depanku pun telah ditentukan. Aku akan segera menjadi menantu keluarga Jarvis Putra.

Meina H.

Hai, Teman-teman. Terima kasih sudah mampir. ♡ Semoga suka dengan cerita ini, ya. Jika ada komentar, entah itu saran, kritik, atau tanggapan mengenai kisah kedua tokoh, jangan segan. Pasti aku baca. Jika komentar teman-teman aku temukan, pasti aku balas. XD Bila ada gem, sumbangkan untuk buku ini jika suka, ya. ♡ Salam sayang, Meina H.

| 1
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Meina H
Lanjut, Kak. Sudah tamat, lho. (。’▽’。)♡
goodnovel comment avatar
dahliardi abyan
mengukir impian baru lanjut!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status