Share

Bab 2 - Pertemuan Pertama

Restoran milik Papa mengalami masalah karena sebuah kesepakatan bisnis yang ternyata hanyalah tipuan. Seseorang yang dikenalnya dari seorang teman menawarkan kepada Papa untuk membuka cabang restoran dan memberi pinjaman yang cukup besar.

Bangunan bertingkat tiga itu ternyata tidak mempunyai izin, dan terpaksa disegel ketika sudah sembilan puluh persen rampung. Papa memercayakan pengurusan izin kepada orang yang diutus oleh kenalannya tersebut dan tidak pernah memeriksa hasil kerjanya.

Karena restoran tidak jadi dibangun, Papa dianggap telah melanggar perjanjian kerja sama dan diminta untuk mengembalikan uang yang telah dipinjam beserta penalti yang harus dibayar. Jumlahnya sangat besar. Uang simpanan Papa bahkan belum cukup untuk membayarnya.

“Pa, ini uang tabunganku dan Este. Semoga ini bisa membantu,” kata Kakak sambil memberikan setumpuk uang di atas meja kerja Papa.

“Tidak.” Dia mendorong uang itu kembali ke arah kami. “Kamu perlu uang untuk membuka praktik, sedangkan adikmu butuh uang kuliah. Aku akan pikirkan cara lain.”

Restoran, rumah, dan mobil terpaksa digadaikan untuk mendapatkan uang tambahan membayar pinjaman dan penalti tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan, menempuh jalur hukum pun mustahil karena itu adalah perjanjian yang disepakati bersama dan sama sekali tidak ada unsur paksaan. Papa yang teledor karena tidak membaca surat perjanjian tersebut dengan jeli.

Keadaan keuangan memburuk, sedangkan restoran masih membutuhkan uang operasional jika ingin tetap terus berjalan. Papa sudah tidak punya uang untuk membayar gaji pegawai dan membeli bahan makanan. Stres dengan keadaannya itulah yang membuat Papa jatuh sakit.

Om Jarvis menawarkan bantuan, tetapi Papa tidak segera menerimanya karena berat menerima syarat yang diajukan. Karena tidak menemukan jalan lain dan nasib pegawai bergantung pada uluran tangan Om Jarvis, maka Papa pun menerima tawaran tersebut. Topik yang jadi pertengkaran kami.

“Kalau begitu, saya permisi sekarang, Pak. Saya masih punya pekerjaan lain,” ucap pengacara itu. Om Jarvis mempersilakannya.

“Saya juga permisi, Om,” pamitku.

“Tidak. Kamu habiskan teh dan makanan itu. Kamu pasti belum sempat sarapan saat datang ke sini.” Pria itu duduk bersandar. Dia benar. Aku belum makan apa pun sejak bangun tidur. “Aku tidak percaya kamu tidak punya pertanyaan sama sekali.”

“Aku tidak percaya kamu setuju begitu saja untuk menikah dengan kakakku,” timpal pria yang sedari tadi hanya diam. Aku segera mengenali suaranya.

Aku menoleh dan melihat pria yang tadi aku tabrak di lantai dasar. Aku tidak segera mengenalinya, karena dia tidak lagi mengenakan pakaian yang sama. Aku sekarang ingat siapa dia. Dia adalah putra kedua Om Jarvis. Aku kembali menoleh ke arah Om Jarvis.

“Saya benar-benar tidak punya pertanyaan, Om.” Aku mengambil sebuah roti dan menggigitnya. Jika aku ingin segera pergi dari tempat ini, maka aku harus menghabiskan makanan dan minuman ini.

“Jonah, bersikaplah sopan. Perkenalkan dirimu.” Om Jarvis menatap putranya tersebut. Aku segera meletakkan roti ke atas piring, mengambil selembar tisu dari kotak di depanku, dan membersihkan tanganku. Aku menerima uluran tangan pria yang tampan itu.

“Jonah,” ucap pria itu menyebut namanya. Jonah Diandra Putra. Meskipun namanya tidak muncul di media sesering nama kakaknya, namanya mudah untuk diingat. Dia lebih tampan dilihat secara langsung daripada lewat fotonya.

Dia memiliki wajah yang mirip dengan mamanya. Mukanya berbentuk oval, alis matanya hitam dan tebal, tatapan matanya dalam yang tertutup sempurna jika dia sedang tersenyum, hidungnya kecil dengan ujung sedikit terangkat ke atas, dan bibirnya unik dengan bagian atas lebih tebal daripada bagian bawah. Orang-orang biasanya menyebutnya versi laki-laki mamanya.

Tubuhnya sedikit lebih pendek daripada Jason, dan badannya atletis karena rutin berolahraga, tidak berotot seperti kakaknya yang teratur mendatangi pusat kebugaran. Anehnya, tidak banyak wanita yang tertarik untuk mendekatinya. Para perempuan lebih suka mengelilingi Jason daripada Jonah. Mungkin mereka berpikir bahwa jika bisa mendapatkan nomor satu, untuk apa membuang-buang waktu mendekati nomor dua? Entahlah.

Atau bisa jadi Jason lebih menarik karena sikap ramahnya dan bersahabat kepada semua orang, tetapi sedikit pendiam yang membuatnya terkesan misterius. Berbeda dengan Jonah yang dingin dan tidak akan pernah bisa menahan dirinya untuk bicara jujur kapan saja dia mau sehingga orang-orang kurang suka berada di dekatnya.

“Celeste,” balasku dan dia melepaskan genggaman tangannya. Aku kembali melihat ke arah pakaiannya. “Ng, aku benar-benar minta maaf untuk kejadian tadi.”

“Kamu sudah meminta maaf, dan aku memaafkan kamu. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.” Dia melihat ke arah ayahnya yang menatap kami secara bergantian. “Hanya kecelakaan kecil, Yah.”

“Pantas saja pakaianmu berbeda dengan yang kamu pakai saat berangkat dari rumah tadi.” Om Jarvis mengangguk mengerti.

“Aku benar-benar berharap kamu akan membuat sedikit drama di ruangan ini untuk menghibur aku. Tantang ayahku, bantah persyaratan yang dia ajukan. Mengapa kamu malah menerimanya tanpa perlawanan?” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Berhenti mengganggunya, Jonah,” ucap Om Jarvis. Pria itu kembali melihat ke arahku. “Jason sedang mengurus pekerjaan di luar kota, jadi dia tidak bisa bersama kita di sini. Tetapi aku pastikan kepadamu bahwa dia pria yang baik.”

“Sangat baik. Dia tahu bagaimana membuat seorang wanita bahagia di tempat tidur,” tambah Jonah. Aku terbatuk-batuk mendengar kalimat lugasnya itu.

“Jangan dengarkan dia.” Om Jarvis tidak terlihat marah dengan perkataan anaknya itu. Sepertinya begitu cara mereka berkomunikasi. “Kalian akan bertunangan lebih dahulu. Hanya acara antara dua keluarga. Aku tidak akan sempat menyiapkan acara besar dalam waktu dekat.”

Tanggal pertunangan sudah tertera pada surat perjanjian. Hari Sabtu ini. Itu artinya aku hanya punya waktu tiga hari untuk menikmati hidupku sebagai perempuan bebas. Pernikahan akan dilangsungkan setelah aku wisuda beberapa bulan lagi. Aku tidak yakin pria bernama Jason ini akan punya waktu untuk saling mengenal denganku. Sekarang saja, dia sedang bekerja di luar kota.

Aku tidak akan mengeluh dengan calon suami yang ditentukan oleh Om Jarvis. Jason adalah pria yang tampan, cerdas, dan penerusnya yang akan memimpin perusahaan ini. Perbedaan usia kami yang terpaut sembilan tahun juga bukan masalah untukku. Masalahnya, aku belum mau menikah.

Yang membuat aku bertengkar dengan Papa adalah karena aku ingin hidup mandiri selepas kuliah nanti. Pernikahan belum ada dalam rencana hidupku dalam waktu dekat. Sejak mengenal cinta saja aku tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan pemuda mana pun karena aku tidak berencana untuk menikah pada usia muda.

Semua harapanku untuk meniti karier, menikmati gaji yang aku dapatkan dengan kerja keras sendiri, berjalan-jalan ke mana saja yang aku mau, membeli mobil dan rumah dengan uang hasil kerja kerasku sendiri harus pupus. Aku terpaksa melupakan semua impianku itu.

“Tantemu akan menemani kamu besok sore untuk membeli pakaian, perhiasan, dan apa saja yang kamu butuhkan pada hari Sabtu nanti. Apakah kamu bisa atau kamu masih ada mata kuliah yang harus kamu hadiri?” tanya Om Jarvis pelan.

“Bisa, Om. Saya sudah berjanji akan menemui dosen pembimbing saya pada hari ini. Jika tidak ada masalah dengan skripsi yang saya susun, saya hanya akan mengetik bab selanjutnya di rumah.” Aku sangat berharap bahwa hari ini suasana hati dosen pembimbingku sedang baik.

“Apa judul skripsimu?” tanya Jonah penasaran. Aku menjawabnya. “Hm. Kamu menggunakan usaha ayahmu dengan baik. Hati-hati. Jangan sampai membuka rahasia usaha kalian dalam skripsimu.”

“Tidak. Data yang saya ambil hanyalah data yang saya butuhkan dalam penelitian. Saya sama sekali tidak memasukkan data rahasia. Lagi pula, Papa tidak akan membiarkan saya menyentuh data rahasia restorannya. Saya juga tidak punya akses ke sana,” jawabku dengan jujur. Dia mengangguk.

“Kepalaku sakit mendengar kamu bicara seperti itu,” sela Om Jarvis. Aku menoleh ke arahnya. “Bicara dengan bahasa biasa saja. Jangan formal begitu. Kita akan segera menjadi satu keluarga.”

“Baik, Om,” ucapku patuh.

“Bisakah kamu makan lebih cepat?” Jonah melirik jam tangannya. “Aku masih punya dua rapat penting dan aku tidak bisa pergi sebelum mendiskusikan sesuatu dengan ayahku.” Aku ikut melirik jam tanganku.

“Ya, ampun!” Aku segera meneguk habis teh dalam cangkir. Untung saja dia mengingatkan aku mengenai jam. “Aku juga harus segera menemui dosenku.”

“Hati-hati menyetir, Nak,” ucap Om Jarvis yang ikut berdiri bersamaku.

“Iya, Om. Jonah.” Aku pamit kepada mereka berdua. Pria itu hanya memutar bola matanya.

Aku bergegas keluar dari ruangan. Wanita yang tadi mengantar aku sudah menunggu di luar pintu. Dia tersenyum dan mengantar aku kembali keluar dari tempat itu. Syukurlah. Karena aku tidak yakin aku akan bisa menemukan di mana letak elevator yang tadi kami naiki.

Jantungku mulai berdebar-debar. Meskipun setelah wisuda nanti aku tidak bisa lagi mengejar mimpiku, setidaknya aku ingin menyelesaikan studiku tepat waktu. Apakah kira-kira dosenku akan memberi catatan khusus lagi pada skripsiku atau aku sudah bisa lanjut ke bab terakhir?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status