Kekasih, tidur bersama, dan anak. Tiga kata itu terus berputar di otak Aeris bagai kaset rusak. Entah kenapa oksigen di sekitarnya seolah-olah lenyap, sekarang rasanya sulit sekali bagi Aeris untuk mengambil napas, dadanya sesak.Aeris tidak ingin percaya dengan apa yang Meeta katakan kalau Leon pernah memiliki anak dengan mantan kekasihnya, tapi kenapa air mata ini tidak juga mau berhenti keluar?Sialan!"Ya Tuhan, apa ini yang menyebabkan Leon selama ini bersikap dingin kepadaku?" gumam Aeris menahan nyeri di dada.Gadis itu kembali teringat akan sikap Leon di awal pernikahan mereka. Leon tidak pernah memedulikannya, status pernikahan di antara mereka pun seolah-olah tidak ada artinya di mata lelaki itu. Leon bahkan menolak bercinta dengannya malam itu. Aeris sekarang menyadari satu hal. Leon tidak pernah mencintainya. Lelaki itu mau menikah dengannya karena terpaksa.Andai saja dia dan Leon tidak menikah, Leon pasti akan menikahi mantan kekasihnya karena sudah ada anak dalam hubung
Aeris malah semakin terisak. Gadis itu merasa bersalah karena membuat Leon khawatir. Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya pada Leon?"Katakan ...," pinta Leon terdengar lembut.Aeris menarik napas panjang sebelum bicara, isakan kecil sesekali lolos dari bibirnya. "Meeta ...," ucapnya terdengar serak.Kedua alis Leon menyatu. "Ada apa dengan Meeta? Apa wanita berambut jagung itu memanggilmu tante lagi?"Astaga!Rasanya Aeris ingin sekali menampar wajah Leon yang kelewat tampan karena kesal, tapi sekarang bukan waktu yang tepat."Bukan karena itu.""Lalu karena apa?"Aeris menggigit pipi bagian dalamnya kuat-kuat. Entah kenapa dia merasa sedikit ragu saat akan bicara."Kita sudah menjadi suami istri, kan? Katakan jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, jangan malah diam seperti ini, Aeris. Aku harap mulai sekarang kita bisa saling terbuka satu sama lain. Bukankah hal itu membuat hubungan kita semakin baik?"Begitu mudah Leon mengatakan kalimat itu dari bibirnya. Bagaimana reaksiny
Entah kata apa lagi yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan seorang Chandra Yasodana Leon sekarang.Senang?Bahagia?Gembira?Leon merasa sangat bahagia sekrang. Namun satu hal yang pasti, dia merasa menjadi lelaki paling beruntung yang pernah Tuhan ciptakan karena Aeris mau memberinya kesempatan. Leon sepenuhnya menyadari kalau dia bukan lelaki baik. Dia berengsek, tapi Aeris malah memilihnya untuk mendampingi hidupnya.Leon berani bersumpah, mulai sekarang dia akan berusaha untuk membahagiakan Aeris, itu janjinya.Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan saat cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai di jedela kamar rumah sakit tempatnya dirawat jatuh mengenai wajah cantiknya."Hah?!" Aeris refleks mundur karena wajahnya sangat dekat dengan Leon. Kedua tangan lelaki itu bahkan melingkari pinggangnya dengan erat. Leon dan Aeris kembali tidur bersama dalam satu ranjang. Beruntung tidak ada perawat atau pun dokter yang melihat mereka. Jika ada, Leon pasti
"Permintaan apa?" tanya Aeris tidak mengerti."Bukankah sembilan hari yang lalu kita sudah membuat kesepakatan? Barang siapa yang mendesah lebih dulu, maka dia wajib mengabulkan tiga permintaan apa pun si pemenang. Apa kamu lupa?"Mampus! Aeris menelan ludah susah payah mendengar pertanyaan Leon barusan. Leon ternyata masih ingat dengan kesepakatan yang mereka buat dulu.Leon menatap Aeris dengan lekat. "Bagaimana kalau kita ...."Aeris tanpa sadar menelan ludah. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi keningnya. Aeris takut Leon mengajaknya berhubungan suami istri sekarang. Dia belum siap.Leon malah sengaja menggantungkan kalimatnya karena dia ingin menikmati wajah Aeris yang sedang ketakutan. Oh ayolah, sebenarnya apa yang sedang Aeris pikirkan? Apa Aeris pikir dia akan mengajaknya bercinta? Astaga, dia tidak mungkin mengajak Aeris bercinta karena gadis itu sedang sakit."Le-Leon, aku ...." Aeris tidak berani melanjutkan kalimatnya karena dia tidak ingin membuat Leon kecewa.
Brian berjalan di sepanjang lorong rumah sakit sambil tersenyum. Aroma obat-obatan seolah-olah tidak mengganggu indra penciumannya karena dia sedang senang. Brian merasa senang karena Leon akhirnya mau membuka hati untuk Aeris.Leon berubah menjadi lelaki yang begitu dingin dan irit bicara semenjak ditinggal Alea. Namun, Leon yang dia temui tadi terlihat begitu berbeda. Leon sekarang sering tersenyum dan banyak bicara. Dia yakin sekali kalau Aeris-lah yang sudah membuat Leon berubah. Semoga saja Leon benar-benar serius membuka hati untuk Aeris dan tidak menjadikan gadis itu sebagai pelarian. Itu harapnya."Aduh, maaf." Alea sibuk mengaduk-aduk tas yang dibawanya karena sedang mencari ponsel hingga tanpa sengaja menabrak seseorang."Tidak apa-apa, Nona." Brian tertegun. Sepasang mata hezel miliknya terpaku pada gadis yang tidak sengaja menabraknya. Wajah gadis berambut cokelat itu terlihat tidak asing di matanya.Alea? Benarkah gadis yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Alea?Bri
Ya Tuhan. Permainan takdir macam apa ini?Kepala Brian rasanya ingin meledak. Dia tidak akan membiarkan Alea bertemu dengan Leon sekarang atau pun nanti."Kita baru saja bertemu kan, Alea. Bagaimana kalau kita ngobrol sebentar?""Sebenarnya aku juga ingin ngobrol banyak hal bersamamu, tapi aku harus menjenguk Kak Aeris."Brian mendesah panjang. "Oh ayolah, kamu bisa menjenguk kak Aerismu itu lain kali. Mau, ya? Please ...."Alea terdiam, sepertinya tidak ada salahnya kalau dia menerima ajakan Brian. Lagi pula, dia juga ingin menanyakan banyak hal tentang Leon pada lelaki itu. "Baiklah."***Brian dan Alea sedang berada di sebuah kafe kecil yang berada di seberang rumah sakit. Kafe bernuansa cozy ini masih tampak sepi karena baru saja buka. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar."Saya pesan Caramell Macchiato dan spageti bolognize," ucap Brian pada pelayan. "Kamu mau pesan apa, Alea?""Teh hangat saja."Kening Brian berkerut dalam mendenga
Aeris keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Leon berulang kali menyuruh Aeris untuk berhenti mengerjakan pekerjaan rumah, tapi istrinya itu selalu mengabaikan perintahnya. Ada saja yang Aeris kerjakan. Menyapu, mencuci piring, menyiram tanaman, bahkan mengelap meja yang tidak berdebu.Apa Aeris tidak tahu jika Leon mengkhawatirkannya?"Berhentilah mengerjakan pekerjaan rumah karena aku tidak ingin kamu lelah, Aeris.""Aku sudah baik-baik saja, Leon. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku.""Lebih baik kamu istirahat, ya? Aku tidak ingin kamu sakit lagi. Nanti aku juga kan, yang repot," ucap Leon sambil mengambil alih sapu dari tangan Aeris.Aeris melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang masih jam satu siang. Sejak keluar dari rumah sakit Aeris dan Leon sekarang tidur dalam satu kamar. Leon sendiri yang meminta agar Aeris tidur bersamanya. Aeris pun tidak mampu menolak karena Leon terus saja memaksa. Tolong garis bawahi, MEMAKSA."Sekarang masih jam satu siang,
"Permainan yang sangat bagus, Alea." Krishna memuji permainan Alea sambil bertepuk tangan. Lelaki pemilik senyum manis tersebut menjadi guru Alea selama di Indonesia."Terima kasih, Kak. Tapi menurutku permainan aku tadi tidak sebagus dulu."Krishna mendekat, lantas mendudukkan diri di kursi kosong yang berada tepat di sebelah Alea. "Menurutku, permainanmu tadi sudah sangat bagus."Alea tersenyum mendengar ucapan Krishna barusan. "Aku dulu bisa bermain piano jauh lebih bagus dari pada yang tadi.""Sungguh?" tanya Krishna tidak percaya.Alea mengangguk. "Iya, yang tadi mah, tidak ada apa-apanya.""Apa kamu bisa menunjukkan permainanmu yang sangat bagus itu padaku?"Wajah Alea seketika berubah sendu. Andai saja Leon masih bersamanya, permainan pianonya pasti jauh lebih bagus dari pada sekarang. Namun, lelaki itu sekarang tidak bersamanya lagi. "Entahlah, Kak. Aku tidak yakin bisa bermain piano sebagus dulu.""Memangnya kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?"Alea menggeleng pelan. Lagi pu