Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, entah kenapa kedua mata Aeris sulit sekali untuk dipejamkan. Perasaan Aeris mendadak tidak tenang sejak pulang dari restoran karena memikirkan hubungan antara Leon dan Alea. Masih tergambar jelas di ingatan Aeris bagaiamana ekspresi Alea saat menceritakan mantan kekasihnya di rumah sakit seminggu yang lalu. Saat itu Alea terlihat sangat kacau. Amarah dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. Aeris bisa melihat dengan jelas jika Alea amat sangat mencintai mantan kekasihnya, dan dia baru tahu jika mantan kekasih Alea ternyata Leon, suaminya sendiri."Ya Tuhan ...." Aeris menekan dadanya kuat-kuat. Alea sudah kehilangan bayinya, gadis itu pasti terpuruk jika kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Sebagai seorang kakak, Aeris tidak ingin melihat Alea kembali terpuruk. Haruskah dia menghancurkan pernikahannya sendiri demi Alea?Namun, di lain sisi Aeris tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perceraian seperti yang
"Alea di mana, Kai? Kenapa dia belum turun?" tanya Kris saat mereka sarapan bersama di ruang makan."Kai tidak tahu, Pa. Mungkin Alea masih tidur."Kris melirik benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Aneh sekali Alea belum bangun padahal sekarang sudah jam tujuh. "Ada hal penting yang ingin papa katakan pada Alea, suruh dia turun."Azura sontak berhenti memakan nasi gorengnya. Keningnya berkerut dalam menatap lelaki yang sudah menjadi pendamping hudupnya selama hampir tiga puluh tahun tahun lamanya. Azura tidak tahu hal penting apa yang ingin Kris bicarakan dengan Alea. "Mas ingin membicarakan hal penting apa sama Alea?"Kris meletakkan sendok kemudian menopang dagu dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja. "Aku setuju dengan keputusan Kai untuk mengirim Alea kembali ke Amsterdam."Tubuh Azura menegang mendengae ucapan Kris barusan. "Aku tidak setuju Mas, Alea baru saja kembali ke Indonesia. Kenapa Mas ingin mengirim Alea kembali ke Amsterdam?"Azura
Alea menyantap sarapannya dengan lahab, sepiring nasi goreng dengan lauk telur mata sapi di rumah Brian. Pagi-pagi sekali, gadis itu pergi ke rumah Brian sambil membawa koper kecil berisi pakaian. Alea tidak ingin pergi ke Amsterdam karena masih ada yang perlu dia perjuangkan di Indonesia. Cintanya, pada seorang lelaki bernama Chandra Yasodana Leon.Brian bersedekap sambil menatap Alea dengan lekat. Kemarin malam Alea terlihat sangat menyedihkan, menangis tersedu-sedu seperti orang kesurupan di restoran, tapi gadis itu sekarang terlihat baik-baik saja. Apa setan di tubuh Alea sedang pergi jalan-jalan?"Kenapa kamu menatapku seperti itu, Brian?" tanya Alea karena merasa risih diperhatikan."Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu sudah merasa lebih baik?"Alea menarik napas panjang lantas meletakkan sendok karena nasi gorengnya sudah habis."Mau tambah lagi?"Alea menggeleng. "Tidak, aku sudah kenyang, terima kasih untuk sarapannya."Brian mengangguk. Sebenarnya ada perlu apa Alea pagi
Aeris memoles make up sedikit tebal untuk menutupi wajahnya yang terlihat sedikit pucat. Aeris sebenarnya merasa kurang enak badan, tapi Kris meminta untuk bertemu dan dia tidak enak jika menolak."Kalau kamu merasa kurang enak badan, lebih baik tidak usah memaksa pergi. Papa pasti mengerti."Aeris menggeleng. "Katanya ada hal penting yang ingin papa sampaikan, aku tidak enak jika menolak." Leon menghela napas, lalu mengusap keringat dingin yang membasahi kening Aeris. "Baiklah, kalau kamu merasa nggak kuat, bilang. Aku akan minta izin ke papa untuk pulang lebih dulu."Aeris mengangguk.Lagi-lagi Leon menghela napas. Aeris seolah-olah membangun dinding tidak kasat mata di antara mereka. Apa Aeris masih kecewa pada dirinya?Entahlah, Leon tidak tahu. Dia ingin hubungannya dan Aeris kembali seperti dulu, saat Aeris belum mengetahui jika Alea adalah mantan kekasihnya. Begitu manis, hingga membuat cokelat dan es krim iri melihat hubungan mereka.Leon mengirim pesan pada Brian jika dia ha
Azura merasa sangat terkejut mendengar ucapan Aeris barusan, begitu pula dangan Leon dan Kris. Hati Azura terasa begitu sakit mendengarnya. Namun, rasa sakit yang dia rasakan tidak sebanding dengan apa yang sudah dia lakukan pada Aeris dan Aileen. Azura memang pantas mendapatkan semua itu.Kristal bening itu meluncur begitu saja membasahi pipi Azura. Penyasalan dan rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya. "Saya mengaku salah. Saya sungguh-sungguh minta maaf, Aeris. Saya mohon maaf," ucapnya di sela isak tangisnya.Aeris memejamkan kedua matanya perlahan karena pesan Aileen sebelum meninggal tiba-tiba melintas di ingatan.'Jaga diri baik-baik dan tetap sehat.''Aeris anak mama yang paling cantik dan baik, jangan pernah membenci papa, karena bagaimana pun juga dia papa kamu.''Jangan menjadi seorang pendendam, maafkan semua kesalahan orang-orang yang telah menyakitimu.''Janji, ya?'Aeris membuka kedua matanya perlahan. Aileen tidak ingin dia hidup menjadi seorang pendendam. Haruskah
"Alea, bangun!" Brian menguncang tubuh Alea yang tidur di sofa pojok di dalam ruangannya."Erngh ...." Alea mengerang tertahan karena merasa tidurnya terganggu.Brian mengela napas panjang lalu berjongkok tepat di depan Alea dan memperhatikan wajah gadis itu dengan lekat. Alea ternyata ridak kalah cantik dari Aeris, pikir Brian. Gadis itu memiliki mata bulat, hidung bangir, dan bibir tipis berwarna merah alami. Namun, sifat Alea sangat bertolak belakang dengan Aeris. Gadis itu sangat keras kepala. Seperti batu."Sudah puas liatin akunya?"Brian tersentak. Dia refleks mundur saat mendengar suara Alea. Apa gadis itu sudah bangun?"Sudah puas belum?" tanya Aela sambil mendudukkan diri di sofa.Wajah Brian sontak memerah, jantung pun berdetak dua kali lebih cepat karena ketahuan sedang memperhatikan Alea. Alea terkikik geli melihat pipi Brian yang bersemu merah, seperti buah tomat. Sedikit pun dia tidak pernah menyangka sahabat baik Leon itu ternyata memiliki rasa pada dirinya."Mungkin
Aeris membungkukkan badan sekilas untuk balas menyapa orang yang bertemu dengannya di lobi. Hari ini dia terpaksa pulang dari butik sendirian karena Leon tidak bisa menjemput. Apartemen Leon yang semula gelap seketika berubah terang katika dia menekan saklar lampu yang berada di belakang pintu.Kening Aeris berkerut dalam melihat sebuah kotak berukuran sedang yang tergeletak di depan pintu. Dia pun berjongkok lantas membuka kotak dengan hiasan pita berwarna merah muda tersebut.Aeris tercengang, mulutnya seketika menganga lebar ketika melihat isi kotak tersebut. Isinya sepasang stiletto berwarna merah yang sangat indah. Apa stiletto ini untuknya?Aeris meraih sebuah kertas kecil yang terselip di dalam kotak tersebut. Kedua matanya tampak begitu serius membaca sederet kalimat yang tertulis di kertas berwarna biru muda itu. 'Selamat malam, istriku. Kalau kamu sudah menemukan kotak ini berarti kamu sudah pulang. Bagaimana stiletto-nya? Apa kamu suka?'~Leon~Aeris mengangguk, senyum bah
Aeris pun balas tersenyum lantas melemparkan diri ke dalam dekapan lelaki tersebut. Leon memeluk Aeris dengan begitu erat sambil mengecup puncak kepala Aeris dengan penuh sayang. Dia sangat suka menghirup aroma apel manis yang menguar dari tubuh Aeris. Aroma yang sangat menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar. "Terima kasih untuk semua hadiahnya, Leon. Aku sangat menyukainya," ucap Aeris di dalam dekapan Leon."Sama-sama, Istriku. Jangan pernah pergi meninggalkanku apa pun yang terjadi," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris dalam-dalam. Dia benar-benar takut kehilangan Aeris."Janji?" Aeris mengangguk. Kali ini dia ingin egois karena Leon adalah suaminya. Lelaki yang sudah Tuhan takdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Aeris amat sangat mencintai Leon, begitu pula sebaliknya. Tidak ada salahnya kan, kalau dia ingin mempertahankan pernikahannya?"Aku berjanji," jawabnya.Leon sontak mengembuskan napas lega setelah mendengar jawaban yang keluar dari bibir mungil