Audrey menatap sekeliling dan berseru lantang, “Semuanya, tolong nilai sendiri. Kakakku menikah dengan keluarga kaya dan tinggal di apartemen besar di Bund Bay! Sekarang aku adiknya, dan ini ibu kandungnya. Apa salahnya kalau kami minta dibelikan beberapa potong pakaian?”Begitu suasana hening, para wanita sosialita di sekitar mulai berbisik lagi.“Bund Bay? Astaga, itu lebih mahal dari vila!”“Benar! Satu unit apartemen besar di Bund Bay bisa lebih mahal dari tiga atau empat vila mewah di pinggiran kota!”“Jadi dia bukannya tidak punya uang... tapi pura-pura miskin biar tidak membayar belanja keluarganya sendiri!”Melihat opini publik mulai berbalik ke pihaknya, Audrey melangkah dengan percaya diri ke arah Anatasya.“Kak, lihat sendiri! Semua orang sudah tahu siapa yang pelit di sini. Aku tidak percaya Paman Ketiga tidak memberimu uang! Cepat bayar tagihannya sekarang. Jangan bikin malu!”Adeline ikut menimpali dengan suara dibuat sedih, “Aku ini ibumu! Apa terlalu berlebihan kalau k
Toko pakaian ini adalah butik mewah yang sering dikunjungi para selebritas dan wanita kelas atas.Begitu Anatasya melangkah masuk dan melihat label harga yang tertera pada pakaian, matanya langsung membelalak.Rompi biasa saja harganya 50.000 yuan!Refleks, dia ingin berbalik dan pergi. Anatasya memang tidak pernah suka menghamburkan uang hasil jerih payahnya untuk barang-barang mewah seperti ini.Namun Brielle segera menahannya, lalu dengan semangat mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam video pendek."Aduh, senangnya! Adik iparku mengajakku belanja di butik ini! Beruntung banget punya Adik ipar yang memanjakanku dan perhatian!" katanya sambil tersenyum ke arah kamera.Belum sempat Anatasya membuka mulut untuk membantah, pintu butik terbuka dan Audrey masuk sambil menggandeng tangan ibunya, Adeline. Wajah keduanya tampak penuh amarah.Audrey menunjuk ke arah Anatasya dan berkata keras, "Kakak! Kalau kamu membelikan baju buat dia, terus gimana dengan aku dan Ibu?"Adeline, yang sebe
Brielle memang ahli dalam hal mengganggu orang.Dengan berpegang teguh pada prinsip hidupnya—“Saya tidak punya malu, siapa yang malu berarti kalah”—dia berhasil membujuk dan akhirnya mendapatkan persetujuan dari Ainsley.Perjalanan mereka sedikit bergelombang. Anatasya merasa mual, jadi dia diam-diam menutup mulut, berusaha menahan rasa ingin muntah.Ainsley menatapnya tajam. "Ada apa?" tanyanya.Anatasya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu menjawab pelan, "Tidak apa-apa. Mungkin aku cuma minum sake terlalu banyak."Brielle bereaksi berlebihan. "Anna, kamu nggak boleh muntah di mobil Paman Ketiga. Serius. Kalau sampai muntah, dia bisa langsung nendang kamu keluar dari mobil, lho. Demi keselamatan kita bersama."Ainsley melirik Brielle dengan dingin, lalu tatapannya beralih ke wajah Anatasya yang pucat. Dia mengingatkan dengan nada serius, "Kalau tidak kuat minum, jangan dipaksa.""Itu dia!" sahut Brielle cepat-cepat, seperti baru saja mendapat pembenaran dari Tu
Ainsley dan Anatasya sama-sama terkejut.Tak ada yang menyangka Brielle akan muncul tiba-tiba di tempat ini.Suasana mendadak jadi canggung.Mata Brielle berpindah-pindah dari Ainsley ke Anatasya, lalu kembali lagi. Tiba-tiba, ia membanting pintu mobil dengan keras hingga menimbulkan suara nyaring.“Oh—aku mengerti sekarang!”Ia menatap mereka berdua dengan ekspresi aneh. Kata "Oh"-nya diucapkan dengan panjang, penuh makna.Anatasya merasa seolah Brielle sedang melakukan penyiksaan moral padanya. Ia menunduk dalam-dalam karena malu, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ia akan menikahi... Paman tunangannya..Ini memang....“Oh, jadi seperti ini!” Brielle mengulang dengan gaya dramatis. “Kudengar kau sempat kena masalah sebelum adikku pergi dinas keluar kota? Katanya, ada sutradara bajingan yang mengganggumu? Jadi kau minta bantuan Paman Ketiga?”Bima yang duduk di kursi pengemudi hanya bisa diam, tidak berani menyela.Brielle tersenyum dengan yakin, “Pasti begitu! Kau benar menca
"Ngomong-ngomong soal pernikahan, aku benar-benar tak tahan untuk tidak menyampaikan beberapa hal lagi. Saranku, lebih baik kalian bedua jangan menikah." "Mengapa?" Adithya bertanya tanpa basa-basi. Bobby mengerutkan kening, tapi sudah terlambat untuk menghentikannya. Ainsley mengangkat bahu, seolah pasrah. "Mungkin satu-satunya keuntungan menikah adalah kamu bisa minum sup hangat saat pulang kerja, punya tubuh manis dan lembut untuk dipeluk saat malam, ada teman nonton film saat bosan, bisa kencan di waktu libur, dan kamu tak perlu lagi didesak menikah tiap akhir tahun. Setidaknya, kamu nggak akan diejek sebagai jomblo akut." Adithya meliriknya. Aku iri sampai gigi rasanya mau copot. Dan… hanya itu manfaatnya? Bukankah barusan dia menyebut banyak? “Tapi, menjaga seorang wanita itu tidak gampang. Kamu harus melindunginya setiap saat, tidak boleh berkata kasar, karena kalau kamu menyakitinya, kamu yang harus membujuk dia kembali. Tapi kalau kamu terlalu memanjakannya, di
"Tuan Ketiga merasa saya harus meminta maaf. Baiklah, saya minta maaf karena telah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Saya harap Tuan ketiga bersedia memberi saya satu kesempatan." Aleena maju beberapa langkah, nadanya merendah namun matanya tetap menyiratkan ambisi. Saat teringat bagaimana adiknya begitu membanggakan kekuatan lelaki di hadapannya, ia mendadak tersulut, lalu mengerahkan seluruh keberaniannya. "Jika Tuan ketiga merasa saya tidak pantas bekerja di unit yang sama dengan istri Anda, saya juga bersedia ditempatkan di SMP No. 1 di kota ini. Asal…" Ia menarik napas, nada suaranya memohon namun terselubung perhitungan. "Asal Tuan ketiga tidak mengirim saya ke sekolah dasar terpencil di pedalaman. Saya rela melakukan apa saja." Mendengar ini, tangan Ainsley yang semula sedang menandatangani dokumen terhenti di udara. Ia mengangkat kepala perlahan, menatap Aleena dengan dingin—tanpa ekspresi. "Miss Aleena," katanya datar. Senyum tipis muncul di bibir Ainsley, tetap