Ayah Amber melangkah maju dan menendang putranya dengan marah. “Sudah kubilang, jangan main-main investasi kalau tidak paham caranya! Tapi kau tetap keras kepala!”Ibu Amber yang sedari tadi diam langsung menepuk pahanya dengan kesal.“Benar! Kita ini orang desa, apa yang kita tahu soal investasi? Bukankah enak kalau kita tinggal menunggu uang dari Amber untuk dibelanjakan? Bangun tidur ada makanan, ada uang, hidup damai! Tapi semua ini kau rusak. Sekarang kita malah berutang pada rentenir, kau mau bagaimana?”Kakak Amber memegang kepalanya frustasi. “Mana aku tahu harga saham Addison bisa naik secepat ini? Semua orang untung besar karena beli waktu harganya masih rendah. Giliran kita, malah sial! Pagi-pagi harga masih bagus, sorenya langsung melonjak. Aku juga tidak bisa meramal, kan?”Ayah Amber menghela napas panjang. “Sudah, jangan banyak mengeluh. Sekarang pikirkan jalan keluarnya! Satu juta utang rentenir ini memang tidak kecil, tapi bagi keluarga Addison, jumlah segini tak ada
Harga saham Addison melonjak hingga menyentuh batas harian, membuat Anatasya tersenyum puas sepanjang sore.Kabar itu cepat menyebar di sekolah. Banyak yang tahu ia menikah dengan keluarga Addison, sehingga ucapan selamat datang bertubi-tubi.“Miss Anna, selamat! Saham Addison menembus batas harian!”“Miss Anna, hebat sekali!”“Kalau punya info rahasia, jangan lupa berbagi ya!”Anatasya hanya membalas dengan senyum, membereskan meja, dan bersiap pulang.Jasmine berlari menghampiri, matanya berbinar penuh antusias.“Anna, sepulang kerja kita belanja, yuk! Traktir aku barbekyu. Anggap saja untuk menghargai jasaku hari ini.”Anatasya terkekeh. “Barbekyu itu biasa saja. Kali ini aku mau traktir kamu dan Bibi makan hidangan pribadi. Bagaimanapun, bibi juga berjasa besar.”Mata Jasmine langsung berbinar. Hidangan pribadi itu mewah—dia bahkan pernah bermimpi bisa mengajak ibunya ke sana.Dia mengeluarkan ponsel, siap menelepon restoran, tapi Anatasya menahan tangannya sambil tersenyum mister
"Oh, bukankah aku sudah membantumu?" Nada suara Anatasya terdengar ringan, nyaris main-main. Ia duduk anggun dengan kaki bersilang, jemarinya menyentuh lutut dengan elegan. Tatapannya tenang, kontras dengan Amber yang nyaris kehilangan kendali.Yang satu seperti ratu di singgasananya, yang lain seperti tawanan yang putus asa. Perbedaannya terlalu jelas."Beraninya kau bilang kau membantuku!" Suara Amber bergetar, matanya penuh kebencian. “Kau terus menjatuhkanku! Itu yang kau sebut bantuan?”Anatasya tersenyum tipis. Senyum yang seolah polos, tapi justru menusuk. "Kau salah paham. Pertama, aku tidak punya pengalaman hamil di luar nikah. Kedua, aku tidak pernah diam-diam jatuh cinta pada pria yang sudah punya pasangan, apalagi berkonsultasi soal cara mengandung anaknya. Jadi… pengalaman apa yang bisa kubagikan padamu? Justru karena aku tidak berpengalaman, aku memanggil para ahli hubungan dan para perempuan di sini untuk memberi masukan. Bukankah itu sudah termasuk bantuan?"Nada suara
Wajah Amber seketika memucat, jemarinya terkepal erat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangan. Meski matanya penuh luka dan rasa terhina, ia tetap memaksa diri berdiri.“Kalau begitu,” suaranya bergetar, tapi nada bicaranya tegas, “sejak aku hamil, bahkan hingga didiagnosis mengandung anak kembar… apakah keluarga Anda pernah bicara soal tanggung jawab? Pernahkah Anda memaksa Brylee untuk menikahiku?”Nyonya Addison menatapnya tanpa gentar, bibirnya terkatup rapat sebelum akhirnya berkata dengan tenang, “Tidak. Karena cucuku sudah dengan jelas mengatakan bahwa dia membencimu.”Suara itu dingin, lugas, dan tanpa sedikit pun keraguan.“Kami sudah berulang kali mengatakan padamu, kami bersedia memberi dukungan finansial maupun materi. Keputusan untuk melahirkan atau menggugurkan anak itu sepenuhnya hakmu. Tapi satu hal yang tidak akan kami paksakan adalah pernikahan. Karena pernikahan adalah komitmen seumur hidup!”Amber tertawa sinis, matanya merah. “Tidak ada pernikahan? Kalau be
Amber tertegun. Matanya membulat, seakan kata-kata Anatasya baru saja menamparnya di depan seluruh kota.Anatasya tersenyum lembut, namun ujung matanya memancarkan kilatan yang sulit ditangkap.“Maaf, sepertinya aku tidak pantas menanyakan hal itu. Nanti netizen bilang aku memanfaatkan kesempatan ini untuk balas dendam pribadi.”Ucapannya terdengar santai, tapi cukup untuk membuat Amber tersudut tanpa jalan keluar.Amber menggigit bibir. Maaf? Sekarang? Setelah semua orang mendengarnya?Rasa panas menjalar di wajahnya, separuh malu, separuh marah.Anatasya meniru ekspresi polos yang tadi dipakai Amber. Nada suaranya dibuat seakan tak bersalah. “Aku hanya merasa, kalau kita ingin semua orang memberi saran untukmu, bukankah sebaiknya kita memahami dulu hubunganmu dengan Tuan muda Brylee? Dengan begitu, nasihat yang diberikan bisa lebih tepat sasaran.”Pembawa acara—seorang wanita berwajah ramah namun tatapannya tajam—mengangguk mantap.“Betul sekali. Di program kami, setiap kali membant
“Tuan Arthur,” suara Ainsley terdengar dalam dan tegas, “saya, Ainsley, adalah pria yang jujur. Saya tidak pernah, dan tidak akan pernah, menyalahkan seorang wanita atas masalah yang terjadi.”Kalimat itu meluncur dengan penuh wibawa. Ia berdiri dari kursinya, tegap, dan seolah seluruh ruangan tertelan oleh kehadirannya.Bagi Ainsley, krisis keluarga Addison saat ini mungkin penting, tetapi ada satu hal yang jauh lebih tak bisa ia toleransi—istrinya dihina di depan umum.Pemandangan itu membuat Audrey membeku. Tatapan matanya dipenuhi rasa iri yang pekat, nyaris menusuk.Bukan hanya dia—Edgar, Arthur, dan Adeline pun menatap Ainsley dengan keterkejutan yang berbeda-beda.Mereka pernah mendengar kabar bahwa Tuan Ketiga Jiangcheng ini sebenarnya menyembunyikan kekuatannya, bahkan tidak pernah mengalami cedera kaki seperti yang dikabarkan. Tapi baru kali ini mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri.Begitu Ainsley berdiri, auranya berubah. Ia tak lagi sekadar menantu keluarga Bimant