“Mas Gandha, apa kamu paham apa yang aku katakan?” Lisa kembali mengulang tanya untuk memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi jika suaminya bisa diajak bicara dengan normal.
“Aku … aku hanya ingat namaku, aku juga ingat kalau aku belum menikah,” ucap Gandha, “tapi selebihnya, aku tidak bisa mengingat apapun, kecuali ….” Tiba-tiba Gandha menghentikan ucapannya, dia memegang kepalanya dan memejamkan mata, sekarang ekspresi wajahnya menampakkan kalau saat ini dia sedang kesakitan. “Ah … aku … aku tidak bisa mengingat apapun,” ucapnya dengan suara yang serak, matanya masih terpejam. “Sudah, Mas, cukup, tidak perlu memaksakan diri.” Lisa menenangkan suaminya, lalu kemudian dia berjalan ke arah meja, dimana di atasnya terdapat segelas air minum. “Minum dulu, tenangkan dirimu,” ucap Lisa dengan nada khawatir. Gandha melakukannya dengan bantuan Lisa. “Bagaimana rasanya? Apa sudah lebih baik?” tanya Lisa lagi. Dia mengangguk dan memberikan gelas itu pada Lisa. “Terima kasih.” “Mas, aku juga minta maaf.” Lisa berkata pada suaminya. Gandha hanya diam, dia masih terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Lisa lalu menarik napas dalam dan mengeluarkanya dengan berat. “Malam ini, Mas istirahatlah lebih dulu,” ucap Lisa lagi, dia tahu sia-sia untuk memaksa pria itu mengingat tentang dirinya sendiri. Toh, sekarang Lisa juga sudah pasrah dengan apa yang terjadi dengan dirinya sekarang ini. “Kamu mau kemana?” Gandha bertanya dengan suara berat, menatap tidak rela jika Lisa pergi meninggalkannya sekarang. Mata yang tampak sendu dan menyedihkan itu, kini lebih bernyawa dan berbeda dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan aura pria itu keluar begitu saja, membuat Lisa mau tidak mau mengakui kalau suaminya ini sebenarnya pria yang baik. “A-aku mau membersihkan rumah.” Lisa berkata dengan terbata lalu mengalihkan pandangannya. Gandha diam, dia lalu menunduk, seolah memberikan jawaban, ‘Ya’. Mendapati hal ini, Lisa segera keluar dari kamar itu. Saat keluar kamar, Lisa melihat ke ruangan tempat tadi mereka berkumpul sudah tidak ada lagi tamu satu pun. Semua sudah bubar, mungkin sesaat setelah mereka masuk ke kamar. Di teras rumah, Lisa masih melihat ayahnya bicara dengan Ketua Kampung, Pak Munir. Namun, dia tidak melihat keberadaan Yasmin dan juga ibu tirinya itu. ‘Kemana mereka, ya?’ tanya Lisa dalam hati, tetapi hal ini hanya pertanyaan sepintas sebelum akhirnya dia berjalan ke belakang untuk mengambil sapu. Baru saja dia bertanya kemana ibu tirinya pergi, dia melihat sang ibu masuk dari pintu belakang dengan wajah yang tersenyum bahagia. “Ah, kamu Lisa,” tegur Ida, “cepat bereskan rumah, rumah kita berantakan. Lagipula, ini kan acara pernikahanmu, mana mungkin Yasmin yang membereskannya, kan?” Ida berkata dengan nada sinis seperti biasanya. Lisa hanya diam tidak menanggapinya. “Duh, senengnya, Yasmin sekarang pasti sedang bersama dengan Andrian untuk membicarakan pernikahan mereka.” Ida berkata santai sambil melirik ke arah Lisa, mendengar hal itu, jelas kesedihan menyelimuti perasaannya. Sebenarnya mereka belum benar-benar berpisah, karena Baik dari Andrian dan Lisa belum saling bicara lebih jauh. Hanya saja, pernikahan dirinya dan Gandha membuatnya jelas kalau hubungan mereka sudah berakhir. Pedih rasanya, tapi dia harus menerima takdirnya. “Kamu, Lisa, jangan ganggu hubungan adik kamu! Kamu mending fokus urus suami gila kamu itu!” Ida berkata dengan nada merendahkan, kalimat itu seperti sebuah peringatan dan juga penekanan yang cukup dalam pada Lisa. Lisa mencengkram kuat gagang sapu itu, dia mencoba untuk terus bersabar mendapatkan penghinaan demi penghinaan untuk dirinya. Sekarang, sepertinya ibu tirinya ini mendapatkan bahan olokan baru untuk dirinya, yaitu: suaminya! Mulai detik ini ke depan, Lisa paham hari-hari yang dilaluinya di rumah ini pasti jauh lebih berat. ‘Ya Tuhan, apa aku boleh menyerah?’ tanya Lisa dalam hati lalu air matanya menetes. Mendapati hal itu, dengan cepat Lisa menghapusnya secara asal. Lisa tidak boleh lemah! Tuhan memberikan tempat ini padanya karena Tuhan tahu dia mampu melaluinya. Segera Lisa berjalan ke depan dan mulai membersihkan rumah. Mulai sekarang dia harus lebih menulikan telinga dan membesarkan hati. *** DI tempat lain. Yasmin yang tahu Andrian sudah keluar dari rumah mereka setelah menyaksikan ijab kabul kakaknya, langsung menyusul pria itu. “Mas Andrian tunggu!” seru Yasmin pada Andrian, membuat Pria itu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya untuk siapa yang memanggilnya. Yasmin berjalan dengan cepat menghampiri Andirian, langkahnya yang tergopoh-gopoh itu nyaris membuatnya terjatuh di hadapan Andrian, pria itu sigap membantunya dengan menangkap tubuh Yasmin. “Aaaw!” teriak Yasmin. “Hati-hati,” ucap Andrian sambil membantunya berdiri dengan benar lagi. “Ma-maaf, Mas.” Yasmin berkata dengan suara lembut lalu perlahan melepaskan dirinya dari pria itu. Yasmin lalu melihat ke arah Andrian dengan tatapan sendu. “Mas, maafkan Mbak Lisa, Mas.” Yasmin berkata dengan nada lemah pada pria itu. Andrian hanya diam. Dari matanya bisa ditangkap banyaknya kilatan kecewa di sana. “Lisa yang salah kenapa kamu harus minta maaf?” Andrian berkata dengan perlahan sambil menatap lembut ke arah Yasmin. “Itu … Aku tahu Mas Andrian pasti sakit hati sekali dengan perlakuan Mbak Lisa itu, padahal Mas pulang untuk melamarnya, tapi malah berakhir ….” Yasmin tidak melanjutkan kata-katanya dia melihat ke arah Andrian dengan tatapan dalam dan memperlihatkan bentuk empati yang tinggi. Andrian menghela napas dalam dan menengadahkan wajahnya ke langit sesaat, lalu kemudian dia tersenyum kecut. “Sepertinya apa yang kamu katakan selama ini benar Yasmin, hanya aku saja yang bodoh untuk tetap percaya pada Lisa.” Andrian kemudian berkata dengan suara beratnya. “Itu … aku hanya memberitahukan tentang hal yang sebenarnya karena … karena aku tidak mau Mas Andrian terus-terusan memikirkan orang yang tidak memikirkan, Mas.” Yasmin berkata dengan nada pelan, menunjukkan rasa empatinya untuk pria itu. “Mungkin memang sudah jalannya seperti ini. Mau bagaimana lagi.” Andrian terlihat sangat kecewa, suaranya terdengar sangat lemah. “Mas, Mas Andrian harus bangkit, Mas tidak boleh kalah dengan rasa kecewa yang mas punya.” Yasmin memberikan bentuk dukungannya pada pria yang berdiri di hadapannya ini. “Kamu … kapan kamu pulang ke kota?” tanya Andrian tiba-tiba. Yasmin terdiam, dia mencoba untuk menebak arah dari pembicaraan Andrian. “Kalau kamu mau pulang besok, aku akan menjemputmu di rumahmu dan kita pergi bersama saja. Kebetulan aku membawa kendaraan, jadi kamu tidak perlu menunggu bus.” Andrian melanjutkan ucapannya, hal ini tentu saja membuat Yasmin sangat senang! Apalagi Andrian akan menjemputnya besok di rumah. “Tapi Mas, kalau Mas menjemputku besok di rumah, aku tidak enak dengan Mbak Lisa,” ucap Yasmin dengan menunduk, kepura-puraan dalam dirinya sungguh bisa dimainkan dengan sangat mulus, bak aktris yang sedang bermain peran. “Kenapa tidak enak? Bukannya dia sudah memiliki suami, dan juga semua ini tidak ada kaitannya dengan Lisa lagi.” Andrian berkata dengan suara tegas. “Baiklah kalau begitu. Aku tunggu Mas Andrian besok di rumah.” Yasmin menjawab dengan suara tenang. “Mas pulang hati-hati dan jangan terlalu memikirkan masalah ini lagi.” Yasmin kembali memberikan semangat. “Aku harus mengantarmu, ini sudah sangat larut, tidak baik anak gadis malam-malam sendirian.” Ucapan Andrian disambut sukacita oleh Yasmin. Andrian mengantarkan Yasmin pulang ke rumahnya. “Terima kasih, Mas.” Yasmin berkata pada Andrian saat pria itu menghentikan langkahnya ketika mereka tiba di pekarangan rumah. Andrian mengangguk. Di sana masih terlihat Duha dan Munir yang masih berbincang di teras rumah. “Pak Duha, Pak Munir, Saya pulang dulu.” Andrian pamit pada kedua orang yang ada di sana. “Terima kasih Nak Andrian sudah mengantarkan Yasmin,” ucap Duha pada Andrian. “Baik kalau begitu saya juga izin pamit Pak Duha, yang sabar dengan cobaan ini,” ucap Munir pada Duha sambil menepuk pelan bahunya beberapa kali. Setelah kedua tamu mereka pulang Duha beserta Yasmin masuk ke rumah. Di dalam, LIsa terlihat sedang membersihkan rumah. Lisa tahu saat itu Andrian sedang bersama Lisa. Entah kenapa rasanya sakit sekali melihat kedekatan keduanya. “Mbak, aku akan membawa baju yang kamu pakai ini besok ke kota untuk dicuci di sana, jangan lupa biaya laundry-nya.” Yasmin berkata dengan santai sambil menatap Lisa dari atas sampai bawah dengan tatapan meremehkan. Lisa hanya menarik napas dalam dan mengangguk. “Oh, satu lagi,” ucap Yasmin menghentikan langkahnya tepat di depan Lisa. “Mulai saat ini berhentilah memikirkan Mas Andrian, karena dia sebentar lagi akan melamarku.” Yasmin berkata dengan senyuman angkuh lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya BUMM!! Suara pintu kamar tertutup dengan cukup keras, tepat di depan wajah Lisa yang berdiri di sana.Saat menaiki Yacht itu tetap saja perasaan Lisa sedikit gelisah, walaupun berbagai cara dilakukan oleh Gandha untuk menenangkan istrinya itu, Lisa teruse menerus terpikir apa yang akan terjadi nantinya.Yacth ini terasa berjalan sangat lambat, beberapa kali Gandha memberikan kehangatan pada istrinya itu.“Lebih baik kamu mendengarkan ini saja,” ucap Gandha lalu menempelkan air bud ke telinga Lisa. Sebuah musik yang cukup menenangkan terdengar jelas di sana.Lisa membiarkan wajahny diterpa angin dan memejamkan matanya, benar … ini cukup membuatnya tenang. Gandha memang sangat mengerti bagaimana cara membuat merasa bahagia.Tidak lama berselang, akhirnya yacht ini pun bersandar. Dengan hati-hati Gandha menuntun istrinya untuk turun dari sana, menjaganya dengan penuh perhatian.Beberapa orang terkejut melihat Gandha, hal ini dirasakan jelas oleh Lisa. Namun, hal itu tidak lama terjadi.“Tuan Gandha, ayo ikut saya.” Satria yang sudah ada lebih dulu di sana menghampiri keduanya. Bersama de
Lisa terdiam. Ada desir hangat yang menyelusup di dadanya. Ucapan Gandha mungkin sederhana, tapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih kuat.Lisa menghela napas, jemarinya mengusap keningnya yang terasa panas. "Iya, Mas... tapi …."Gandha tersenyum singkat, lalu menatap Lisa dengan penuh kelembutan. "Kamu nggak pernah berpikir seperti ini sebelumnya. Sepertinya ini efek hormon kehamilan."Lisa mengerutkan dahi. "Maksudnya?"Gandha tersenyum kecil, lalu meraih tangan Lisa dan menggenggamnya erat. "Kamu tahu nggak? Aku belakangan ini baca-baca soal kehamilan," katanya sambil menatap mata Lisa lekat-lekat. "Katanya, ibu hamil itu bakal jauh lebih sensitif, gampang cemas, terus kadang suka overthinking hal-hal kecil."
Lisa berdiri di depan cermin tinggi berbingkai ukiran emas, jemarinya saling meremas, seolah itu satu-satunya cara menenangkan kegelisahan yang terus menghantui. Pantulan dirinya tampak anggun dalam balutan gaun satin berwarna nude lembut, lehernya dihiasi kalung tipis berbandul mungil yang gemerlap saat terkena cahaya lampu gantung. Tapi, seanggun apa pun penampilannya, rasa canggung itu tak bisa diusir.Kamar itu terlalu mewah untuk disebut sekadar ruang ganti. Dindingnya berlapis panel kayu mahoni, dengan jendela besar yang tirainya setengah terbuka, membiarkan cahaya sore yang mulai meredup masuk ke dalam ruangan. Di sudut, sebuah kursi malas berbahan beludru krem tampak belum tersentuh, sementara aroma lembut bunga lili dari vas kristal di atas meja kecil menciptakan suasana yang justru membuat Lisa makin sadar — dia bukan bagian dari dunia ini.Baga
Hal ini tentu membuat Diva terkejut, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya saat ini. Dan menurut Gandha hal itu sangat wajar sekali.Diva kembali menatap Gandha lekat-lekat, seolah berusaha membaca setiap gerak-geriknya. Sejak tadi, berbagai pertanyaan berseliweran di kepalanya, dan kali ini dia tak mau lagi menahan diri. Rasa penasaran yang sudah lama dipendam akhirnya mencapai puncaknya.Diva menarik napas, lalu bersandar sedikit ke depan, menatap Gandha tanpa berkedip."Oke, begini saja …," ucap Diva membuka suara, nadanya tegas tapi tetap terdengar santai.Tanpa menunggu respons, Diva langsung melanjutkan, matanya tetap mengunci ke arah pria itu. "Sekarang kamu tinggal di mana?" tanyanya cepat.Gandha se
Sesaat udara sekitar mereka memang menjadi kaku lalu detik berikutnya, Gandha tak bisa menahan tawanya.“Pantas saja Elvan menyukaimu! Sangat menarik sekali ternyata.” Gandha berkata terus terang, karena dia sudah tahu persis Elvan itu orang yang seperti apa. Tidak mudah untuk menaklukan hati keponakannya itu.Wanita itu masih terlihat kebingungan.“Kamu Diva, kan?” Kembali Gandha bicara padanya.Diva hanya mengangguk cepat, terlihat dia masih berpikir sesuatu di dalam kepalanya.“Kamu … apa kamu benar-benar Gandha? Pamannya Elvan?” tanyanya lagi dengan nada tidak percaya.Gandha lalu mengeluarkan ponselnya menunjukkan pada wanita itu gambar dirinya dan Elvan, beberapa kali wanita
Lisa membelalak. Nama itu sudah sering ia dengar. Nama yang selalu disebut Gandha saat tidur tak sadarkan diri di masa-masa awal pernikahan mereka. “Itu… Elvan?” bisiknya.“Iya. Dan yang di sebelahnya…,” tanya Lisa.Gandha mengerutkan keningnya sejenak. “Entah siapa ... Mungkin pacarnya. Atau bahkan istrinya?”Gandha tak bisa menahan senyum tipis. Hatinya terasa lega melihat keponakan yang dulu dianggapnya seperti adik kandung sendiri, kini berdiri tegap dan terlihat lebih dewasa.Namun suasana mendadak berubah saat Gandha menyadari sesuatu.“Nico …,” gumamnya sambil meraih ponsel dan menekan nomor seseorang.Lisa memperhatikannya heran. “Kenapa, Mas?”“Aku harus cari tahu siapa wanita itu dan apa saja yang terjadi selama aku pergi.”Lisa hanya diam memperhatikan suaminya ini.“Sudah lima tahun berlalu, yang aku pantau hanya perusahaan dan siapa saja yang mengendalikannya, tapi aku … tidak sedikit pun menyelidiki kehidupan pribadi keponakanku.” Gandha berkata dengan jujur.Lalu terlih