“Bagaimana saksi, apa ini sah?”
“Sah!” Beberapa orang menjawab dengan lantang. “Alhamdulillah,” ucap yang hadir di sana. Kini, Lisa benar-benar sudah resmi menjadi seorang wanita bersuami. Doa dipanjatkan setelah ijab kabul terdengar. Namun, Lisa masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri, rasanya dia tidak percaya dengan banyak hal yang baru saja terjadi. Tentang kehidupannya yang akan datang bahkan tentang suaminya sendiri. Setelah doa selesai, seperti biasanya pengantin biasanya akan melakukan prosesi cium tangan suami. Kalau selama ini Lisa hanya melihatnya saat menghadiri acara sakral teman-temannya, kali ini dia adalah pengantinnya. Berat rasanya untuk melakukan hal ini, apalagi dengan orang yang tidak dicintainya, bahkan dengan pria asing yang dia tidak kenal sama sekali. Keringat keluar dari telapak tangannya, tatkala pria itu memberikan tangannya di depan Lisa. Bekas goresan luka yang cukup dalam masih terlihat jelas di punggung tangan suaminya itu, hal ini membuat Lisa menjadi iba dengan pria ini. Seharusnya dia tidak egois, bahkan pria ini pun tak mengenalnya sama sekali, pria ini bisa saja berpikir kalau dia dijebak untuk menikah dengannya. Segera Lisa menyambut tangan itu dan menciumnya, dan siapa sangka berikutnya pria dengan status suaminya ini mendaratkan ciuman ke kening Lisa. Jelas hal ini membuat jantung Lisa seolah ingin melompat keluar dari tempatnya. Tangan kiri Gandha yang memegang kepalanya dengan lembut, lalu sentuhan bibir di keningnya yang memacu sengatan aneh dan membuat tubuh Lisa benar-benar merasa beku. Pria ini bisa melakukan hal ini dengan benar! Apa yang sebenarnya terjadi? Lisa bertanya-tanya dalam hati, tetapi ini menjadi sebuah misteri yang tak mungkin dia pecahkan dengan segera. “Terima kasih,” bisiknya dengan suara husky di telinga Lisa. Tentunya kata singkat dan padat ini membuat tubuh Lisa bergetar hebat, apalagi saat pria itu menjauhkan tubuh mereka dan membuat pandangan mereka bertemu untuk sesaat. Sepasang manik obsidian pekat milik Gandha melihatnya dengan sangat dalam dan penuh makna, seolah ingin menyampaikan sesuatu, tetapi … Lisa masih tidak mengerti. Lisa merasakan kalau saat ini suaminya ini bertindak normal walau hanya sekejap saja, karena setelah itu, dia kembali memasang wajah bengongnya. Setelah prosesi ijab kabul selesai, Lisa melihat ke sekitar dan saat itu matanya tertuju pada satu sosok yang melihatnya dengan pandangan kecewa, dia adalah Andrian. ‘Andrian? Sejak kapan pria itu ada di sana?’ batin Lisa. Namun, belum sempat dia berpikir banyak, Duha memanggilnya. “Lisa, ajak suamimu ke kamar,” titah ayahnya. Lisa lalu membawa suaminya itu ke kamar, walau rasanya ingin sekali dia menghampiri Andrian saat ini, tetapi dia sadar dengan statusnya yang sudah tidak lajang lagi. Walau bagaimanapun juga pria ini tetaplah suaminya. Mereka sudah ada di dalam kamar, Lisa menuntun Gandha ke tempat tidur. Nmaun, pria itu kembali ke setelan awal seperti biasa, pandangannya tetap kosong. Setelah Gandha duduk di atas tempat tidur, Lisa duduk di tepian ranjang itu. “Mas Gandha,” panggil Lisa untuk pertama kalinya dengan bahasa yang sangat sopan. Hal ini memancing pria itu melihat ke arahnya. “Apa boleh aku memanggilmu seperti itu?” tanya Lisa lagi dengan suara yang terdengar putus asa. Entah apa yang sebenarnya diharapkan oleh Lisa saat ini, dia juga tidak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri. Gandha mengangguk pelan. Hal ini membuat Lisa mengerutkan keningnya. ‘Apa sebenarnya pria ini mengerti dengan keadaan sekarang?’ batinnya bertanya-tanya. “Begini,” ucap Lisa mengawali pembicaraan mereka. “Mas, kita menikah karena terjebak keadaan. Aku tidak tahu tentangmu secara keseluruhan, pun sama denganmu.” Lisa menarik napas dalam, kini pria itu melihatnya dengan seksama, dengan tatapan yang sedikit bernyawa. “Aku tidak tahu tentang latar belakangmu, tentang keluargamu, tentang ….” Lisa menghentikan ucapannya, matanya berkaca-kaca, tidak lama kemudian, air matanya luruh juga, dia masih sulit mengatakan apa yang sebenarnya dia rasakan, wajahnya menunduk, entah alasan apa hingga dadanya kian sesak dan tangannya terkepal keras. Gandha bergerak mendekatinya, lalu tangannya menggenggam tangan Lisa yang mengepal keras di atas pahanya. “Jangan bersedih,” ucapnya dengan suara seraknya. Hal ini membuat Lisa mendongakkan wajahnya dan melihat suaminya dari jarak yang cukup dekat. ‘Apa baru saja pria ini bicara dengan normal?’ tanya Lisa dalam hati. “Kamu … apa kamu mengerti dengan apa yang aku katakan?” tanya Lisa lagi. Namun, sayang sekali tatapan mata pria itu kembali kosong! Lisa menarik napas dalam dan mencoba mengatur ritme jantungnya yang saat ini masih bergejolak hebat. “Mas, kalau aku bertanya padamu, apa kamu bisa menjawabku?” tanya Lisa dengan nada lirih. Tidak ada jawaban yang dia dapatkan. Kembali Lisa menarik napas dalam, dia lalu menarik tangannya dari genggaman Gandha, kemudian menghapus air mata yang masih mengalir membanjiri pipi dengan punggung tangannya secara cepat. “Mas, seandainya kamu mengingat semuanya tolong beritahukan padaku apa yang kamu ingat.” Lisa berkata lirih. Gandha masih diam. Dia melihat ke arah Lisa dengan pandangan kosong. “Pun seandainya kamu adalah orang jahat, aku tetap istrimu.” Lisa berusaha mengeluarkan sedikit demi sedikit beban dalam pikirannya. “Aku tidak tahu kenapa kamu sampai penuh dengan luka, aku juga tidak tahu kamu siapa kecuali namamu yang kamu sebutkan padaku. Aku tidak tahu darimana ayahku tahu nama lengkapmu. Apa kamu menceritakan sesuatu pada ayahku?” tanya Lisa. Namun, Lisa seolah bicara dengan patung. Gandha masih diam dan tidak memberikan jawaban apapun. “Mas Gandha, aku sekarang istrimu, kita menikah berdasarkan hukum agama. Kalau seandainya nanti kamu ternyata mengingat semuanya dan kamu memiliki keluarga, aku rela ditalak saat itu juga.” Ucapan yang keluar dari Lisa membuat hatinya merasa sangat sakit. Namun, dia harus menghadapi kenyataan terburuk dan pahit dalam dirinya, dia selalu berpikir rasional, banyak kemungkinan tentang siapa Gandha sebenarnya, tidak bisa juga langsung mengatakan dia adalah orang baik atau orang jahat, karena pria itu benar-benar tidak membawa identitas apapun di tubuhnya. Gandha masih diam membisu. Air mata Lisa masih mengalir, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi kenyataan ini. Kemudian, tangan Gandha terangkat, menyeka air mata yang mengalir di pipi Lisa. Kali ini pandangan mereka bertemu, cukup lama mereka bersitatap sampai akhirnya Gandha membuka mulutnya. “A-aku belum menikah,” ucapnya pada Lisa dengan sedikit terbata, hal ini membuat Lisa makin tercengang. “Apa kamu mengerti dengan apa yang kukatakan?” tanya Lisa memastikan. Dia mengangguk pelan. “Namaku Gandha Wongso dan aku belum menikah. Terima kasih karena kamu bersedia menikah denganku.” Ucapan ini terdengar sangat tulus, diucapkan secara sadar dengan tatapan lembut yang membuat efek kejut untuk Lisa!Bab 88. Kabar Tak TerdugaRumah sakit itu begitu sunyi, hanya suara langkah kaki para perawat yang sesekali terdengar menggema di lorong-lorong panjang. Gandha berjalan mondar-mandir di depan ruang perawatan dengan wajah cemas. Tangannya terkepal, matanya terus mengarah ke pintu ruangan di mana istrinya, Lisa, tengah dirawat. Bayangan wajah Lisa yang pucat ketika tiba-tiba pingsan di rumah tadi masih terbayang jelas di benaknya.“Ya Tuhan, jangan sampai ada apa-apa,” gumamnya pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.Tak lama, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter wanita keluar sambil membuka masker. Wajahnya tampak ramah, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Gandha penasaran. Pria itu segera menghampiri.“Bagaimana istri saya, Dok?” tanyanya buru-buru.Dokter itu tersenyum, mencoba menenangkan Gandha. “Tenang, Pak. Kondisi istri Bapak sekarang sudah sadar dan cukup stabil. Kami tadi sudah melakukan pemeriksaan awal.”Gandha mengangguk cepat. “Syukurlah. Saya boleh
Di tahun Ketiga pernikahan mereka, Lisa mulai berpikir tentang cara lain untuk membantu warga kampung. Dia ingin anak-anak dari keluarga di kampung ini mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ia pun mengutarakan ide untuk mendirikan sebuah yayasan amal. Dengan yayasan ini, anak-anak berbakat dari desa dapat bersekolah di kota dengan layak.Tentu saja, apapun yang ingin dilakukan Lisa, selalu mendapatkan dukungan penuh dari Gandha. Dia sangat setuju dengan usul Lisa. Semua seperti biasanya berjalan lancar.Namun, di balik semua kebahagiaan dan kesuksesan yang mereka capai, Lisa mulai merasa gelisah. Hingga tahun keempat pernikahan mereka, ia dan Gandha belum juga dikaruniai anak. Gandha sendiri tidak pernah mempermasalahkannya, tetapi Lisa merasa ada yang kurang. Ia sering merenung dan bertanya-tanya apakah ini adalah takdir mereka.Dua bulan lagi, mereka akan masuk tahun kelima pernikahan mereka, Lisa akhirnya mengutarakan sesuatu yang selama ini dipendamnya. Malam itu, saat mereka du
Sudah lebih dari setahun sejak kasus Duha berakhir. Segalanya berangsur-angsur kembali tenang, meskipun bayang-bayang dari kejadian itu masih menghantui beberapa orang. Munir, kepala desa yang selama ini dihormati, ternyata terlibat dalam skenario gelap yang dijalankan oleh Ida. Semua yang terlibat kini menerima balasan atas perbuatan mereka. Namun, ada satu yang tak bisa dilupakan oleh Lisa—Yasmin. Saudari tirinya itu, yang tak hanya harus menanggung hukuman atas perbuatannya terhadap Lisa, juga harus menghadapi tuntutan di tempat kerjanya.Yasmin, yang tak hanya dihukum oleh hukum, kini dihantui oleh beban mental yang semakin berat. Tekanan itu membuatnya tak bisa bertahan lagi, dan akhirnya ia harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit jiwa.Pagi itu, di meja makan yang sunyi, Gandha menatap Lisa dengan mata yang penuh perhatian. Sambil menyantap sarapannya, dia memutuskan untuk memecah keheningan.“Sayang,” ucapnya lembut, “besok kamu ikut ke kampung, kan?”Lisa menganggu
Langkah kaki Lisa terasa berat ketika ia mengikuti Gandha turun dari mobil. Di pelataran Pengadilan Agama itu, udara siang yang sedikit panas justru terasa dingin di kulitnya. Ada sesuatu yang menggantung di dadanya, entah itu rasa gugup, takut, atau justru haru. Rasanya semuanya bercampur jadi satu, memenuhi ruang dadanya tanpa bisa dikendalikan.Di depan pintu masuk, Nico sudah berdiri menunggu, lengkap dengan jas rapi dan map di tangannya. Saat melihat kedatangan mereka, pria itu langsung menyunggingkan senyum lebar.“Wah, akhirnya datang juga nih pasangan pengantin baru,” sapa Nico santai, seakan-akan peristiwa ini bukanlah hal yang besar.Gandha hanya mengangguk, sementara Lisa berusaha memaksakan senyuman kecil meski jantungnya berdetak tak karuan.“Semua sudah siap, Bro?” tanya Gandha.“Siap, Bos,” jawab Nico sambil mengangkat map-nya. “Berkas lengkap, saksi lengkap, tinggal sidang istbat sebentar lagi. Hakimnya juga kebetulan orang yang saya kenal baik, insya Allah semua berjal
Lisa menarik napas dalam sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil, meninggalkan Andrian yang terlihat penuh penyesalan di belakangnya.Sejak pagi, pikirannya sudah begitu penuh dengan berbagai hal. Masalah demi masalah seperti tidak mau berhenti datang kepadanya, dan meski satu per satu mulai terselesaikan, tetap saja ada rasa berat yang menumpuk di dadanya. Hari itu, Lisa tahu, akan menjadi hari yang panjang dan berat. Tapi, setidaknya, dia bersyukur karena masih ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya. Salah satunya Gandha.“Sedikit lagi selesai,” gumam Lisa pelan, seolah ingin menenangkan dirinya sendiri.Saat dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, Lisa terkejut. Di dalam mobil itu, sudah ada Gandha yang duduk tenang di kursi penumpang belakang. Lisa sontak memandang ke sekeliling, mencari keberadaan Iyam dan supir lainnya yang tadi menjemputnya, tapi yang ditemukannya hanya senyuman Gandha.“Mas… sejak kapan Mas Gandha ada di sini? Terus, Iyam dan—”“Mereka ku
"Jangan pernah bicara tentang suamiku seperti itu!" suaranya gemetar, bukan karena ragu, tetapi karena terlalu banyak emosi yang bercampur dalam dadanya.Andrian terdiam. Matanya menatap Lisa dengan luka yang tak bisa disembunyikan, tetapi kali ini, ia tahu—tidak ada kesempatan untuknya, tetapi dia tetap harus terus mencoba.Lisa mengepalkan tangannya erat, napasnya memburu. Dadanya naik-turun seiring emosi yang ia tahan sejak lama mendidih ke permukaan. Ia menatap Andrian tajam, sorot matanya menyala seperti api yang siap membakar."Mas Andrian!" suaranya melengking, membuat udara di sekitar mereka terasa lebih panas. "Jangan sekali-kali kamu mengungkit masalah pernikahanku!"Andrian tertegun, tetapi sebelum ia sempat berkata apa pun, Lisa melangkah maju. Jarak mereka semakin dekat, seakan hanya menyisakan ketegangan di antara mereka."Bukankah jika kamu mau, kamu bisa membuat pernikahanku batal waktu itu?" Lisa menatapnya penuh amarah. "Tapi apa yang kamu lakukan?!"Andrian membuka m