Home / Romansa / Menikah Dengan Pria Gila / Bab 6. Apa Dia Ingat?

Share

Bab 6. Apa Dia Ingat?

Author: Nychinta
last update Huling Na-update: 2025-02-13 19:49:17

Lisa tertegun sejenak, dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Ibu dan adik tirinya itu. Hanya saja selama ini dia masih diam dan tidak melawan untuk mengurangi percekcokan yang terjadi di rumah ini.

Ayah dan ibunya juga kerap kali bertentangan pendapat yang ujung-ujungnya Duha akan mengalah, karena dia merasa bahwa dia sudah gagal menjadi kepala rumah tangga yang tidak bisa membuat keluarganya bahagia.

Ah … andai saja ayahnya saat itu tidak ditipu, pasti keluarga mereka akan baik-baik saja saat ini. Pikiran Lisa melayang ke saat itu, karena sejak ayahnya jatuh, mereka terpaksa kembali ke kampung dan bertahan hidup dengan sangat sederhana, sangat berbalik dari kehidupan sebelumnya.

“Lisa, ayah mau bicara padamu,” panggil ayahnya setelah Lisa membereskan rumahnya.

“Ada apa, Ayah?” tanya Lisa pada Duha, lalu sang ayah memberikan isyarat agar anaknya duduk di sebelahnya.

“Lisa, Ayah tahu kamu tidak melakukannya,” ucapnya dengan nada penuh sesal.

Lisa terdiam, lalu … kenapa ayah tiba-tiba begitu saja menyetujui usulan itu? tanya Lisa dalam hati, tetapi tidak bisa dia ungkapkan.

“Nak, mungkin ke depan akan sangat berat untukmu, tapi cobalah untuk terus bersabar.” Duha kembali berkata dengan nada lirih pada putrinya.

Duha menggenggam tangan putrinya dengan lembut, Lisa bisa merasakan getaran ketulusan di sana dan juga rasa sesal yang dalam karena tidak bisa menolongnya untuk menentukan pilihannya sendiri terkait pernikahannya.

“Iya, Lisa mengerti, Yah. Jangan dianggap beban untuk Ayah, Lisa tahu ini sudah menjadi takdir Lisa.” Lisa mengeluarkan kata-kata afirmasi positif untuk sang ayah. Sebenarnya dia juga mengatakan hal itu untuk menguatkan dirinya sendiri, dia harus menerima semua yang menjadi takdirnya.

“Nak,” ucap Duha dengan menghela napas berat, “sebenarnya suami kamu itu adalah pria yang baik, kamu hanya perlu membantunya melewati masa-masa sulitnya saja.”

Lisa mengerutkan keningnya dan merasa sangat penasaran. “Apa ayah pernah komunikasi dua arah dengannya?”

Duha menundukkan kepalanya, dia kembali menarik napas dalam dan mengangguk.

“Apa dia terlihat seperti orang normal pada umumnya?” tanya Lisa lagi.

Duha kembali mengangguk.

“Sebenarnya dalam seminggu terakhir dan keadaan tertentu beberapa kali dia terlihat seperti orang normal dan bicara dengan baik pada ayah. Mungkin dia ada trauma berat akan sesuatu sampai mengakibatkan psikisnya terganggu.”

Lisa mendengarkan ucapan ayahnya.

“Sama halnya seperti tadi sebelum dia mengatakan ijab kabul. Dia mengerti dengan kondisi yang sebenarnya. Setelah ayah memastikan kepercayaan yang dianutnya, dia menyerahkan gelang yang dipakainya pada ayah. Dia mengatakan kalau dia tidak memiliki apapun sebagai mas kawinnya.”

Lisa terperangah dengan apa yang baru saja dia dengar dari sang ayah.

“Jadi sebenarnya ayah tahu tentang dirinya?” Lisa bertanya dengan cepat.

Duha menggeleng lemah. “Tidak seperti itu, kami hanya sempat beberapa kali bicara, dan dia mengingat namanya, tetapi kenapa sampai dia ada di sana mungkin butuh waktu untuknya.”

Lisa mengangguk pelan. Lalu, dia memejamkan mata meresapi semua apa yang dikatakan oleh ayahnya barusan.

“Yah, biarkan si Lisa bersama dengan suaminya malam ini. Hari ini ayah pasti sangat lelah, jadi istirahatlah.” Ida keluar dari kamar dan menegur suaminya, melihat dengan tatapan tajam ke arah Lisa.

“Lisa mending kamu temenin suami kamu sana! Mana tahu nanti dia minta tolong pipis atau–”

“Bu, jangan bicara seperti itu pada Lisa,” tegur Duha.

“Apaan sih, Ayah! Dia ini sudah buat malu keluarga kita! Ayo ayah cepetan istirahat besok masih harus kerja lagi! Kalau ayah sakit siapa yang mau cari duit?!” Ida berkata dengan sedikit membentak lalu menghentakkan kakinya ke dalam kamar.

Sejak kejatuhan ayahnya Ida memang tidak terlihat menghormati suaminya lagi. Pernah beberapa kali Lisa bertanya pada ayahnya, tetapi ayahnya tidak terlalu menanggapinya, malah menyuruhnya untuk bersabar atas semua yang terjadi. Demi menghormati ayahnya dia masih terus memendam semuanya.

Lisa melihat ayahnya beranjak dari tempat itu, dan perlahan masuk ke kamarnya, menyisakan dirinya seorang di ruangan ini.

Baru saja Lisa akan masuk kamar dengan hati yang sangat berat. Yasmin keluar lagi dari kamarnya dengan wajah yang sedikit kusut.

“Nah ini dia!” serunya pada Lisa membuat Lisa mengerutkan keningnya.

“Kenapa Yasmin?” tanya Lisa pelan.

“Mbak Lisa belum setrika baju kuning yang aku pake kemaren ya?” Yasmin bertanya dengan nada kesal.

“Kalau siang tadi belum kering, karena hari ini kan banyak mendungnya dan juga hujan beberapa kali.” Lisa menjawab dengan suaranya yang lembut.

“Duh, ck!” Yasmin terlihat berdecak.

“Liatin dong, Mbak, mungkin udah kering tuh baju! Kalo udah kering setrika ya, aku mau pake besok! Aku besok mau pulang ke kota pagi-pagi!” perintah Yasmin pada Lisa.

“Mbak Lihat dulu, ya, tapi kalo belum kering tunggu sampai besok saja baru bisa disetrika.” Lisa berkata dengan sabar.

“Terserah! yang penting besok bajunya harus sudah bisa dipakai untuk aku pulang ke kota!” Setelah mengatakan hal itu Yasmin berbalik ke kamarnya layaknya seorang Nona Muda yang harus dilayani dengan segera.

‘Astagfirullah’ gumam Lisa dalam hati.

Dia sebenarnya ingin marah, tapi dia harus tetap bersabar.

Lisa tidak terlalu peduli, dia berjalan masuk ke kamar dan mendapati Gandha duduk di tepi tempat tidur dengan memandang lurus ke depan.

Pria itu sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian biasa yang sering dia gunakan. Hal ini membuat Lisa terkejut. Sejak kapan pria ini bisa mengganti pakaiannya sendiri?! Ini benar-benar cukup[ mengejutkan! Selama ini pria ini tidak bisa melakukan apapun kalau tidak dibantu oleh ayahnya.

Atau … tadi ayahnya masuk ke kamarnya dan membantu Gandha mennggantikan pakaiannya? tanya Lisa dalam hati.

Dia perlahan mendekati Gandha yang saat ini pandangannya masih kosong menatap ke arah depan, wajahnya bengong dan seolah tidak ada cahaya kehidupan di dalam dirinya. Melihat hal itu, Lisa segera menyadarkan diriinya, kalau sepertinya ayahnya yang membantu pria itu mengganti pakaiannya.

“Mas belum tidur?” Lisa bertanya dengan pelan.

Gandha melihat ke arah Lisa, dia menggeleng pelan.

Melihat respons itu Lisa makin penasaran, dia lalu duduk di sebelah Gandha.

“Lisa, maafkan aku karena menambahkan beban baru untukmu,” ucap Gandha dengan suara rendah sambil menatap Lisa dengan tatapan penuh makna.

Sebentar?! Apa pria ini kembali bicara layaknya orang normal? Beberapa saat Lisa meyakinkan dirinya tidak salah dengar.

“Lisa, maaf karena selama di sini aku membuatmu sangat tidak nyaman, bahkan kamu terusir dari kamarmu sendiri dan terpaksa tidur di kursi depan.” Gandha menarik napas panjang.

Namun, bukan itu poin pentingnya! Yang menjadikan Lisa penasaran adalah, pria ini benar-benar bisa bicara normal! Apa dia benar-benar tidak salah mengenali orang?!

“Lisa apa … kamu mendengarkanku?” tanya Gandha dengan suara lembutnya.

“Aku ….” Lisa kehabisan kata-katanya, kini Gandha berdiri tepat di depannya, mereka saling berhadapan dengan pandangan yang saling bertemu. Apa yang dikatakan ayahnya benar, untuk beberapa saat pria ini bertingkah normal.

“Malam ini, kamu tidurlah di atas, aku akan tidur di bawah.” Gandha berkata pada Lisa sambil mengambil bantal dan meletakkannya ke lantai.

“Mas … tapi ….”

“Hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu sekarang.” Kalimat itu terdengar sangat tulus.

Lisa diam. Otaknya kebal berpikir, tetapi saat kembali ingin bertanya dengan Gandha, pria itu kembali memasang wajah bengongnya seperti biasa.

Sebenarnya … dia pura-pura atau ada hal lain yang ingin dilakukannya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menikah Dengan Pria Gila   Bab 94. Aku Kembali

    Saat menaiki Yacht itu tetap saja perasaan Lisa sedikit gelisah, walaupun berbagai cara dilakukan oleh Gandha untuk menenangkan istrinya itu, Lisa teruse menerus terpikir apa yang akan terjadi nantinya.Yacth ini terasa berjalan sangat lambat, beberapa kali Gandha memberikan kehangatan pada istrinya itu.“Lebih baik kamu mendengarkan ini saja,” ucap Gandha lalu menempelkan air bud ke telinga Lisa. Sebuah musik yang cukup menenangkan terdengar jelas di sana.Lisa membiarkan wajahny diterpa angin dan memejamkan matanya, benar … ini cukup membuatnya tenang. Gandha memang sangat mengerti bagaimana cara membuat merasa bahagia.Tidak lama berselang, akhirnya yacht ini pun bersandar. Dengan hati-hati Gandha menuntun istrinya untuk turun dari sana, menjaganya dengan penuh perhatian.Beberapa orang terkejut melihat Gandha, hal ini dirasakan jelas oleh Lisa. Namun, hal itu tidak lama terjadi.“Tuan Gandha, ayo ikut saya.” Satria yang sudah ada lebih dulu di sana menghampiri keduanya. Bersama de

  • Menikah Dengan Pria Gila   Bab 93. Harus Percaya Diri

    Lisa terdiam. Ada desir hangat yang menyelusup di dadanya. Ucapan Gandha mungkin sederhana, tapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih kuat.Lisa menghela napas, jemarinya mengusap keningnya yang terasa panas. "Iya, Mas... tapi …."Gandha tersenyum singkat, lalu menatap Lisa dengan penuh kelembutan. "Kamu nggak pernah berpikir seperti ini sebelumnya. Sepertinya ini efek hormon kehamilan."Lisa mengerutkan dahi. "Maksudnya?"Gandha tersenyum kecil, lalu meraih tangan Lisa dan menggenggamnya erat. "Kamu tahu nggak? Aku belakangan ini baca-baca soal kehamilan," katanya sambil menatap mata Lisa lekat-lekat. "Katanya, ibu hamil itu bakal jauh lebih sensitif, gampang cemas, terus kadang suka overthinking hal-hal kecil."

  • Menikah Dengan Pria Gila   Bab 92. Kamu Penyelamatku!

    Lisa berdiri di depan cermin tinggi berbingkai ukiran emas, jemarinya saling meremas, seolah itu satu-satunya cara menenangkan kegelisahan yang terus menghantui. Pantulan dirinya tampak anggun dalam balutan gaun satin berwarna nude lembut, lehernya dihiasi kalung tipis berbandul mungil yang gemerlap saat terkena cahaya lampu gantung. Tapi, seanggun apa pun penampilannya, rasa canggung itu tak bisa diusir.Kamar itu terlalu mewah untuk disebut sekadar ruang ganti. Dindingnya berlapis panel kayu mahoni, dengan jendela besar yang tirainya setengah terbuka, membiarkan cahaya sore yang mulai meredup masuk ke dalam ruangan. Di sudut, sebuah kursi malas berbahan beludru krem tampak belum tersentuh, sementara aroma lembut bunga lili dari vas kristal di atas meja kecil menciptakan suasana yang justru membuat Lisa makin sadar — dia bukan bagian dari dunia ini.Baga

  • Menikah Dengan Pria Gila   Bab 91. Rencana Kejutan

    Hal ini tentu membuat Diva terkejut, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya saat ini. Dan menurut Gandha hal itu sangat wajar sekali.Diva kembali menatap Gandha lekat-lekat, seolah berusaha membaca setiap gerak-geriknya. Sejak tadi, berbagai pertanyaan berseliweran di kepalanya, dan kali ini dia tak mau lagi menahan diri. Rasa penasaran yang sudah lama dipendam akhirnya mencapai puncaknya.Diva menarik napas, lalu bersandar sedikit ke depan, menatap Gandha tanpa berkedip."Oke, begini saja …," ucap Diva membuka suara, nadanya tegas tapi tetap terdengar santai.Tanpa menunggu respons, Diva langsung melanjutkan, matanya tetap mengunci ke arah pria itu. "Sekarang kamu tinggal di mana?" tanyanya cepat.Gandha se

  • Menikah Dengan Pria Gila   Bab 90. Permintaan Gandha Pada Diva

    Sesaat udara sekitar mereka memang menjadi kaku lalu detik berikutnya, Gandha tak bisa menahan tawanya.“Pantas saja Elvan menyukaimu! Sangat menarik sekali ternyata.” Gandha berkata terus terang, karena dia sudah tahu persis Elvan itu orang yang seperti apa. Tidak mudah untuk menaklukan hati keponakannya itu.Wanita itu masih terlihat kebingungan.“Kamu Diva, kan?” Kembali Gandha bicara padanya.Diva hanya mengangguk cepat, terlihat dia masih berpikir sesuatu di dalam kepalanya.“Kamu … apa kamu benar-benar Gandha? Pamannya Elvan?” tanyanya lagi dengan nada tidak percaya.Gandha lalu mengeluarkan ponselnya menunjukkan pada wanita itu gambar dirinya dan Elvan, beberapa kali wanita

  • Menikah Dengan Pria Gila   Bab 89. Menemui Wanita Elvan

    Lisa membelalak. Nama itu sudah sering ia dengar. Nama yang selalu disebut Gandha saat tidur tak sadarkan diri di masa-masa awal pernikahan mereka. “Itu… Elvan?” bisiknya.“Iya. Dan yang di sebelahnya…,” tanya Lisa.Gandha mengerutkan keningnya sejenak. “Entah siapa ... Mungkin pacarnya. Atau bahkan istrinya?”Gandha tak bisa menahan senyum tipis. Hatinya terasa lega melihat keponakan yang dulu dianggapnya seperti adik kandung sendiri, kini berdiri tegap dan terlihat lebih dewasa.Namun suasana mendadak berubah saat Gandha menyadari sesuatu.“Nico …,” gumamnya sambil meraih ponsel dan menekan nomor seseorang.Lisa memperhatikannya heran. “Kenapa, Mas?”“Aku harus cari tahu siapa wanita itu dan apa saja yang terjadi selama aku pergi.”Lisa hanya diam memperhatikan suaminya ini.“Sudah lima tahun berlalu, yang aku pantau hanya perusahaan dan siapa saja yang mengendalikannya, tapi aku … tidak sedikit pun menyelidiki kehidupan pribadi keponakanku.” Gandha berkata dengan jujur.Lalu terlih

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status