“Awas, terlalu nyaman. Nanti disuruh melepaskan, malah kecewa.” —tegur penjual baju kepada pengunjung yang rajin coba-coba, membeli enggan.
Banyu yang sedari tadi tidak ambil pusing ketika menjawab pertanyaan adik iparnya ini, hanya bisa menahan senyum ketika melihat interaksi Binar dan kedua sahabatnya, yang merupakan adik dan adik iparnya sendiri. Persahabatan mereka dinamis sekali, kelihatannya seru juga, batin Banyu dalam hati.
“Kenapa? Kok tiba-tiba berubah? Mas Banyu terlalu ganteng untuk ditolak, ya?” goda Nila iseng.
Aduh, adik iparnya ini ada-ada saja. Banyu tertawa dalam hati. Ya, jika ada yang bingung bagaimana caranya tertawa-dalam-hati, Banyu merupakan ahlinya.
“Sudah, su—“ sebelum Banyu menghentikan keisengan Nila, omongannya terpotong.
“Eh, kata siapa? Mas Banyu enggak hanya modal ganteng, kok. Dia juga baik, perhatian, suka mengalah, bertanggung jawab. Iya,
“Maju terus, pantang jealous.” —Jomlo desperate.Binar dulu kuliah di kampus yang sama dengan Mas Banyu? Kok, Binar enggak tahu, ya? Ah, lagipula kalaupun satu kampus, kemungkinan keduanya berada di dua program studi yang berbeda. Sehingga kemungkinannya untuk bertemu sangatlah kecil.Binar berpikir keras sebelum akhirnya menemukan kesimpulan. Ah, tentu saja, kalau Kak Jakti dan Kak Janu kenal Mas Banyu, artinya mereka berdua memang benar-benar berbeda program studi. Karena kakak kembarnya dulu di jurusan Teknik Informatika, sedangkan dirinya dari jurusan Teknik Lingkungan.Tunggu dulu, saingan apa, tuh?Kak Bagas: Wah, kayaknya menarik, tuh.Kak Jakti: Itu, loh. Saingan untuk mendapatkan cinta Indira. Hahahaha. Sorry, ya, bro.Kak Janu: Sialan.Hah? Kak Indira? Kakak iparnya Binar? Istrinya Kak Janu? Binar terkejut, ia benar-benar baru pertama kali mendengarnya.Binar: Asli? Beneran, Ka
“Jangan membohongi hati, nanti yang ada menyesal sendiri.” —Petuah lama yang masih relevan sampai detik ini. Awalnya Binar tidak setuju untuk melakukan foto pre-wedding, karena menurutnya hanya buang-buang waktu dan tidak begitu penting-penting amat dalam proses pernikahan. Fotonya pun kemungkinan besar hanya berakhir sebagai pajangan di pesta pernikahan, yang mungkin tidak akan ada yang peduli juga dengan foto tersebut. Tetapi kata-kata Mas Banyu malam itu cukup untuk meyakinkan Binar yang pada akhirnya mau juga melakukan foto pre-wedding. “Foto pre-wedding? Entahlah, kayaknya lebih baik dilakukan aja dulu. Daripada nanti kita kena marah lagi,” jelas Mas Banyu malam itu di telepon. Kata-kata Mas Banyu enggak salah, sih. Ia bisa membayangkan bagaimana kedua orang tuanya akan langsung memaksa dan menyuruhnya menyewa studio foto jika ia dan Mas Banyu menyatakan tidak ingin ada foto pre-wedding. Pagi-pagi sekali Mas Banyu
“Hati-hati, nanti jadi candu.” —Lagi-lagi (Bukan) Pakar Cinta Mas Banyu berjalan mendekati Binar. Sekarang merupakan sesi foto pre-wedding terakhir, yakni foto berdua. Melihat Mas Banyu mengenakan setelan jas, Binar mengakui ketampanan Mas Banyu jadi meroket jauh ke angkasa. Halah, lebay. Tapi benar, deh. Binar sendiri tidak tahu bahwa pria seganteng Mas Banyu ternyata masih bisa dipoles lebih ganteng lagi. Mas Banyu berjalan semakin dekat, Binar memberanikan diri melihat mata Mas Banyu yang sedang berjalan ke arahnya. Mata keduanya bertemu, membuat hati Binar berdegup cepat, sontak ia langsung mengalihkan pandangannya. Kenapa Binar jadi salah tingkah begini? Sadar, Binar Jati Rahayu! Sebenarnya ketika Binar melihat Mas Banyu yang baru selesai photoshoot dengan setelan jasnya pertama kali sudah cukup membuat hatinya bergetar, tetapi dengan jarak sedekat ini, ia tak menyangka getar hatinya semakin tidak b
“Emangnya enggak capek pura-pura begitu?” —Seorang teman.“Duh, begini dong, gayanya mesra. Masa suami istri gayanya kaku kayak tadi,” ujar Mas Fotografer, selesai mengambil gambar, “Abis ini kita siap-siap ambil gambar berikutnya, ya.”Binar yang tengah tertawa geli akibat kecupan bertubi-tubi Mas Banyu yang menggelitiki lehernya, seketika tersadar ketika mendengar suara Mas Fotografer.Astaga, saking asyiknya tertawa Binar sampai lupa kalau mereka masih dalam proses photoshoot.Binar membulatkan matanya, menyadarkan dirinya. Kemudian segera menyadarkan Mas Banyu yang masih sibuk menggelitiki leher Binar dengan kecupan manisnya, “Mas, udah, Mas. Udah selesai. Ini mau ke sesi foto selanjutnya,” ujarnya sembari menepuk tangan Mas Banyu yang melingkari perutnya.Mas Banyu seketika tersadar, langsung menghentikan kecupannya, “Oh, iya. Maaf, ya,” ujar Mas Banyu sal
“Lain di bibir. Lain di hati. Ceilah.” —Anak tongkrongan yang hobi menggoda temannya yang sedang kesengsem. Binar kenapa? Entahlah, Binar juga tidak mengerti. Ia benar-benar tidak mengerti. Sejak Binar dan Mas Banyu selesai berganti pakaian, sampai sudah berada di dalam mobil yang tengah melaju di jalanan sibuk, di antara keduanya belum ada yang membuka percakapan. Kini udara di mobil sangat canggung, Binar jadi teringat terakhir kali ia duduk di mobil ini, kondisinya juga sama canggungnya. Hanya saja, sebelumnya kondisi canggung tersebut jelas asal-muasalnya, sedangkan yang terjadi sekarang sangat berbeda. Binar jadi kesal sendiri karena ia merasa kesal, sebenarnya ia kesal karena apa, sih? Rasanya Binar ingin menyalahkan Mas Fotografer yang menyuruh mereka berfoto seperti pasangan mesra, atau menyalahkan penata rias yang membuatnya memakai gaun seperti tadi, atau menyalahkan Mas Banyu yang memesan studio foto tersebut
“Lain di bibir. Lain di hati. Ceilah.” —Anak tongkrongan yang hobi menggoda temannya yang sedang kesengsem.Binar kenapa? Entahlah, Binar juga tidak mengerti. Ia benar-benar tidak mengerti.Sejak Binar dan Mas Banyu selesai berganti pakaian, sampai sudah berada di dalam mobil yang tengah melaju di jalanan sibuk, di antara keduanya belum ada yang membuka percakapan.Kini udara di mobil sangat canggung, Binar jadi teringat terakhir kali ia duduk di mobil ini, kondisinya juga sama canggungnya. Hanya saja, sebelumnya kondisi canggung tersebut jelas asal-muasalnya, sedangkan yang terjadi sekarang sangat berbeda.Binar jadi kesal sendiri karena ia merasa kesal, sebenarnya ia kesal karena apa, sih?Rasanya Binar ingin menyalahkan Mas Fotografer yang menyuruh mereka berfoto seperti pasangan mesra, atau menyalahkan penata rias yang membuatnya memakai gaun seperti tadi, atau menyalahkan Mas Banyu yang memesan studio foto terse
“Mencari waktu berduaan setelah punya anak itu sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukkan jerami.” —Suami yang merindukan waktu berdua dengan sang istri.“Beb, menurut kamu aneh enggak, sih?” Nila tiba-tiba bertanya.Raka menekan tombol remot TV-nya, mencari acara yang menarik, “Aneh kenapa?”“Kok, tahu-tahu mereka setuju sama perjodohan itu, ya? Enggak tahu kenapa, aku curiga aja,” Nila berkata serius, lalu menunjuk layar TV, “Beb, ini aja acaranya seru.”“Wajar, kok. Mereka juga pasti merasa kalau di umur mereka sekarang memang sudah waktunya untuk menikah,” jawab Raka kalem, “Kamu dari tadi diam itu mikirin ini?”“Iya,” Nila mengambil jus jeruk dari meja di depannya, “Ah, masa, sih? Kamu tahu sendiri, kan, kalau Binar ini beda. Beda dalam artian segala hal. Dia bukan tipe yang iya-iya aja kalau dikasih tahu.&rdq
“Kenapa, ya, lebih enak dimasakin daripada masak sendiri?” —Frequently Asked Question dari para jomlo.“Ya sudah, nanti kita cari bareng aja, ya,” Begitu jawaban Binar ketika ditanya mengenai cincin oleh Mas Banyu melalui telepon, beberapa waktu lalu.Akhir-akhir ini ia sering menerima telepon dari Mas Banyu, tentunya untuk membicarakan pernikahan. Waktunya bisa kapan saja, semaunya Mas Banyu. Karena biasanya Mas Banyu yang mulai menghubungi.Binar sampai heran, ini orang apa emang enggak ada kerjaan kali, ya? Rajin banget menelepon Binar. Enggak kehabisan pulsa, Mas?Sudah beli paket telepon, ya, Mas? Jadi sayang kalau enggak dihabisin?Bahkan kemarin Mas Banyu menelepon Binar sampai lima kali.Tetapi wajar, sih. Waktu pernikahan mereka juga semakin dekat. Apa Binar salah, ya, kalau Binar terlalu santai?Binar menekan layar ponselnya, hendak mengirim pesan ke Mas Banyu.Bina