Share

Menikah Karena Salah Paham
Menikah Karena Salah Paham
Penulis: Rosyidah Kholil

Kejutan

Liana berdiri di depan cermin rias, memandangi bayangannya sendiri yang memantul dari sana. Sebuah gamis kasual berwarna kuning pastel yang dipadukan dengan hijab warna senada. Sebuah tuspin mutiara sederhana disematkan pada hijab cantiknya yang makin mempermanis penampilan. Ditatapnya bayangan di depan cermin itu sambil tersenyum sendiri.

'Cantik juga aku,' batinnya. Lalu sejurus kemudian diketuk sendiri keningnya dengan kepalan telapak tangannya tiga kali sambil sedikit menggeleng berusaha menyadarkan dirinya dari kesombongan kecil yang barusan dilakukannya. Dia merasa malu sendiri mengamati sikapnya akhir-akhir ini.

"Ah, apa-apaan aku ini? Memalukan sekali," gumamnya seraya tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan lainnya.

Sore ini, seperti biasa, pertemuan karang taruna sekaligus kesempatan melihat Jun, lelaki yang ditaksirnya hampir setahun terakhir ini. Pasalnya, dua kali pertemuan, Jun tak datang sebagai pembimbing, karena ada urusan study banding ke Sumatera, sebagai perwakilan dari Universitas tempatnya mengajar.

Liana menyambar sling bag berwarna coklat tanah favorit yang hampir selalu dibawanya seraya melangkah menuju pintu kamar. Hatinya merasa berbunga-bunga, karena hari ini dia bisa bertemu kembali dengan pujaan hatinya setelah sekitar dua minggu tak bersua.

Memang Jun belum menyatakan cintanya, tapi Liana begitu yakin jika Jun juga menyimpan perasaan yang sama dengannya. Liana akan sabar menanti hingga Jun melamarnya, karena dia tahu kalau Jun itu bukan tipe lelaki yang akan mengajak wanita untuk pacaran, dia itu adalah seorang lelaki yang sudah hijrah, sebutan populernya saat ini. Karenanya, Liana begitu teguh dan sabar menunggu sang pujaan hati, meski tanpa hubungan pasti.

Sebab Jun pula, yang membuat Liana mantap berhijab hingga saat ini. Lelaki itu seakan memiliki kesan teramat sempurna di mata Liana, hingga membuat gadis berlesung pipit itu terkagum-kagum, terutama kegigihan dan kemandiriannya.

Sejurus kemudian terasa ponselnya bergetar. Segera saja dia merogoh tas yang tergantung di pundaknya itu, berharap itu pesan dari Jun. Disapunya layar ponsel yang terkunci, dibacanya sebuah pesan chat yang mendarat di sebuah aplikasi chat hijau, yang kontan membuat dunia Liana berubah seketika. Yang tadinya dia seakan berada di hamparan rumput hijau nan indah, kini mendadak menjadi sebuah lautan api membara. Bunga-bunga bermekaran dalam hatinya mendadak berubah menjadi dedaunan kering berguguran. Gadis itu mendadak kehilangan mood baik dan berubah menjadi sangat gusar.

[Selamat sore Liana, sedang apa? Minggu ini aku akan pulang. Jadi, bisakah kita sejenak bertemu agar bisa saling mengenal baik?]

Sebuah chat dari Andreas, seorang lelaki yang sering membuatnya gusar akhir-akhir ini. Karena Andreas, yang merupakan teman bisnis Kinanti, kakak sepupu Liana, terus menerus mengiriminya chat dan mengajaknya berkenalan. Padahal menurut gadis itu, dia telah secara terang-terangan menolak Andreas dengan halus. Namun, alih-alih berhenti, Andreas makin menjadi-jadi saja untuk mendekatinya.

'Apa? Orang ini benar-benar keterlaluan. Mengajakku bertemu? Ini sudah kelewat batas. Aku bukan wanita murahan yang seenaknya saja bisa diajak keluar. Dia pikir aku ini apa?' Liana membatin dengan gusar. 

[Untuk anda yang terhormat, saya harap anda mengerti, bahwa kita ini bukan mahram, jadi harap anda perhatikan dan ingat baik-baik, bahwa saya tidak akan pernah bertemu apalagi hanya berdua dengan lelaki yang bukan mahram saya. Hal tersebut bisa menjadi fitnah dan yang jelas itu sebuah dosa yang pantang saya lakukan. Jika memang anda benar-benar menghormati dan menghargai wanita, apalagi anak gadis orang yang dijaga sejak bayi oleh orang tuanya, seharusnya anda tidak mengajaknya bermain-main. Lelaki sejati itu tak akan mengajak anak gadis orang keluar tanpa meminta dengan sopan kepada orang tua gadis itu, apalagi tanpa hubungan yang halal. Maaf saya bukan wanita macam itu], balasnya dengan perasaan begitu geram.

[Baiklah, maafkan aku jika yang aku lakukan ini membuatmu tersinggung dan merasa terganggu. Jika seperti itu kemauanmu, aku akan menuruti keinginanmu itu.]

Liana membaca balasan si virus, julukan yang dia berikan untuk Andreas selama ini, dengan perasan yang sangat senang. Karena menurutnya, jawaban dari Andreas itu menunjukkan bahwa lelaki itu akan menghentikan tingkahnya yang telah membuat gadis itu geram dan kesal selama ini.

'Akhirnya aku berhasil membuatnya tersinggung dan menyerah. Aku membuatnya menyadari bahwa aku tak menyukainya. Dan aku harap ini adalah pesannya yang terakhir dan aku benar-benar terbebas dari gangguannya,' batin gadis itu.

Gadis dua puluh satu tahun itu memang benar-benar menjaga dirinya untuk tidak sembarangan keluar dengan lelaki. Meski dulu dia adalah seorang gadis tomboy yang memiliki banyak teman lelaki dan sering nongkrong bersama mereka. Tapi, sejak kehadiran Jun setahun terakhir ini, dia mulai berubah, karena sepertinya Jun merupakan lelaki yang taat beragama. Tentu saja, menyesuaikan diri dengan Jun adalah salah satu usahanya untuk bisa menarik perhatian lelaki itu. Bahkan sepertinya, usahanya itu tak sia-sia, karena delapan bulan terakhir ini, dia lumayan dekat dengan Jun dan sering berbalas chat meski isinya bukanlah sebuah pesan romantis atau rayuan, tapi paling tidak dia sudah sangat intens berkomunikasi dengan lelaki itu, di tengah sulitnya gadis-gadis lain mendekatinya.

Liana melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda tadi, menuju balai desa untuk menghadiri rapat pengurus karang taruna yang pastinya dia juga akan dapat bertemu dengan Jun. Meski hanya dengan melihatnya saja dan sesekali saling bertukar senyum, itu sudah lebih dari cukup untuk gadis itu.

***

Sudah hampir dua minggu berlalu sejak chat terakhir yang dikirim Andreas. Hingga detik ini, tak ada satu pun chat dari lelaki itu yang mampir ke aplikasi chat Liana. Rupanya balasan pesan kemarin benar-benar menohok hati lelaki itu dan membuatnya paham.  Liana merasa begitu lega, seakan terbebas dari sebuah beban berat yang sempat mengganggunya kemarin, setiap hari Andreas pasti mengiriminya pesan chat, dan itu bisa berkali-kali dalam sehari, seperti rutinitas minum obat saja, bahkan mungkin lebih tepatnya minum racun.

Seperti biasa, tiap akhir pekan, gadis itu akan membantu kedua orang tuanya untuk mengurus rumah di pagi hari, karena TK tempatnya mengajar sedang libur, sedangkan kuliahnya masuk pada sore hari. Dengan perasaan yang sangat senang, Liana menyiram pot-pot bunga di halaman rumah seraya bersenandung riang. Dia merasa bunga-bunga terlihat makin hari makin indah saja. Sanusi, ayah Liana, sedang sibuk menganyam bambu untuk memperbaiki dinding kandang kambing yang mulai lapuk karena termakan usia, sedangkan Suyatmi, ibu Liana, sedang sibuk di dapur membuat kerupuk dari sisa-sisa nasi. 

Wanita paruh baya itu memang paling kreatif jika urusan mendaur ulang makanan. Dia pernah berkata bahwa jika dibuat kerupuk, maka nasi sisa akan bisa dimakan lagi dan tidak terbuang sia-sia. Karena, membuang-buang makanan bisa menjadi penutup pintu rezeki, katanya. Pasalnya hal itu masuk dalam menghambur-hamburkan makanan, dan itu salah satu hal yang dibenci Tuhan. 

Tiba-tiba ada sebuah mobil SUV sport mewah berwarna putih, berhenti di jalan depan rumah. Mobil itu tak memasuki halaman, tapi sepertinya mereka memang hendak menuju rumah. Mobil itu berhenti terparkir di pinggir jalan, tepat di depan pagar bambu depan rumah. Sejenak Sanusi menghentikan kegiatannya, begitupun dengan Liana, seraya menatap penasaran dan menunggu siapa gerangan penumpang mobil ini.

Pintu mobil terbuka. Seorang lelaki setengah baya berpakaian batik dan memakai celana coklat tua dengan perawakan gagah keluar dari dalam mobil, disusul seorang wanita paruh baya memakai gamis hijau pastel yang anggun. Sepasang suami istri yang serasi, suami yang gagah dan istrinya begitu elegan. Dengan riasan sederhana membuatnya tampak cantik alami. Namun, baik Liana atau Sanusi, sama sekali tak pernah merasa mengenal kedua orang itu, pun mereka sepertinya bukan penduduk kampung Delima maupun kampung sebelah.

Sanusi mulai berdiri seraya mengibaskan kedua tangannya pada celana pendek yang dipakainya, sedangkan Liana masih berdiri mematung berusaha menerka-nerka siapa mereka. Kemudian turunlah seorang pemuda memakai kemeja krem bergaris yang dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam. Penampilannya rapi dan sangat sopan. Sejenak Liana merasa seakan wajahnya begitu familiar, tapi entah siapa dia. Gadis itu masih berusaha mengingat-ingat kembali sebelum tiba-tiba….

Brakkk.....

Botol semprot yang dipakainya untuk menyiram bunga sejak tadi, jatuh dan sisa air yang berada di dalamnya pun tumpah. Gadis itu kaget setengah mati seraya tak percaya dengan penglihatannya, bahkan dia berharap jika dia hanya salah mengira saja.

'Itu Andreas, dia benar-benar Andreas. Untuk apa dia datang ke rumahku?' batin gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status