Share

Lamaran

Narendra Surya Atmaja, lelaki paruh baya berbaju batik itu, melangkah setelah sebelumnya menunggu sang istri agar mereka berjalan beriringan bersama. Sang putra, yang tak lain adalah Andreas Surya Atmaja, berjalan mengikuti keduanya di belakang. Sebuah gurat senyum ramah tersungging pada wajah sepasang suami istri tersebut, sembari tatap mata mereka menyapa Sanusi yang masih diam terpaku penuh tanya. Bahkan, botol yang terjatuh dari tangan putrinya pun tak membuat ayah Liana itu terkejut. 

"Assalamualaikum." Narendra berucap salam kepada Sanusi sambil kedua tangannya mengisyaratkan sebuah jabat tangan perkenalan.

"Waalaikum Salam." Sanusi menjawab sambil mengernyitkan dahi dan menerima uluran tangan Narendra seraya membungkukkan punggungnya khas ramah tamah orang Jawa, kemudian bertanya, "Cari siapa ya, Pak?"

"Rumah pak Sanusi, kan?" jawab Narendra sembari tersenyum.

"Iya, betul. Kalau boleh tahu, jenengan (anda) ini siapa?" tanya Sanusi lagi, sebab dia masih terheran-heran dan penasaran siapa gerangan orang yang datang ke rumahnya ini. Sanusi sama sekali tak merasa mengenal Narendra.

"Saya Narendra, Pak, ayahnya Andreas." Narendra menjawab seraya tangannya berisyarat menunjuk pada Andreas.

"Oh, iya. Eh.. Monggo-monggo, masuk dulu, Pak. Sebentar saya beresin ini, enggih." Sanusi mempersilahkan tamunya itu untuk masuk, sementara dia meminggirkan bambu-bambu dan perkakas yang berserakan. Sebersit tanya masih berputar-putar di kepalanya, sebab sang tamu hanya memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari seseorang, dan seseorang itu juga sama sekali tak dia kenal. Lalu dia harus bertanya pada siapa lagi kalau hanya berputar-putar tak jelas begini? Karenanya, tanpa pikir panjang dia persilakan saja tamu itu masuk, nanti akan ditanyainya lagi saja.

"Nduk, persilahkan masuk dulu, bapak mau bilang dulu sama ibumu kalau ada tamu," ucap Sanusi kepada Liana yang mulai tersadar dari rasa terkejutnya itu.

Liana sebentar memandang Andreas dengan tatapan tak senang, kemudian berubah air muka ketika mempersilahkan Narendra dan istrinya masuk. Namun, sepertinya Andreas tak menghiraukan pandangan Liana. Dia terlalu sibuk untuk beramah tamah dengan Sanusi sejak tadi.

"Mari, Pak, Bu. Silahkan masuk." Liana mempersilahkan tamu-tamunya untuk masuk. Kemudian tak lama, setelah bambu-bambu dan perkakasnya beres, Sanusi juga ikut masuk ke dalam rumah melewati pintu samping.

Sementara Narendra sekeluarga sedang duduk di ruang tamu, Sanusi buru-buru menuju dapur untuk memberitahukan pada istrinya tentang tamu yang baru saja datang itu.

"Bu'e.. Bu'e," panggil Sanusi seketika sampai di pintu dapur. 

Suyatmi, yang sedang sibuk mengangkat lonjoran kerupuk panas yang baru matang dari dalam dandang itu, seketika menoleh melihat suaminya yang memanggil dengan nada terburu-buru. 

"Ada apa toh, Pak? Kok kayak dikejar setan? Sampe ngos-ngosan kayak gitu? Sana minum dulu, baru ngomong!" usir Suyatmi melihat Sanusi menghampirinya dengan nafas sedikit tersengal-sengal.

"Ada tamu di depan, kayak e wong sugeh (orang kaya), tapi aku kok endak kenal. Dia bilang bapaknya Andre siapa gitu, embuh aku (entahlah)."

"Kok bisa ada tamu endak kenal, toh? Apa bukan temannya si Liana itu?" tanya Suyatmi menegaskan pada Sanusi.

"Ya endak tahu juga, mungkin saja. Wis, ayok kita temui dulu! Kamu ganti baju dulu sana!, jangan pake itu! Nanti malah ngisin-ngisini bajumu itu wes mbulak (lusuh). Mereka itu kayak orang kota gelagatnya, kayak orang priyayi, wong mobilnya saja kayak punya artis yang di tivi-tivi itu."

Suyatmi segera membereskan lonjoran kerupuknya kemudian bergegas ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Sementara Sanusi, segera masuk ke kamar mandi yang berada di sudut dapur untuk mencuci tangan dan kakinya. 

Sebelum Suyatmi sampai ke dalam kamarnya, dia berpapasan dengan Liana yang berjalan sembari mendengus dan merengut.

"Nduk, buatkan air, yo! Kamu bikinin kopi buat tamu itu. Habis itu bikinin pisang goreng juga! Pisangnya ada di atas keranjang yang ibu gantung di sebelah rak piring itu. Tepungnya ada di dalam lemari, di rak nomor dua." Suyatmi memberi arahan pada putrinya itu. Rupanya dia tak terlalu menyadari ekspresi wajah putrinya sejak tadi, mungkin dia terlalu fokus pada bayangannya sendiri akan gambaran tamu yang datang ke rumah mereka. Sementar Liana hanya mengangguk saja mendengar perintah ibunya itu. Dia melangkah ke arah dapur kemudian  mengerjakan seperti apa yang Suyatmi perintahkan untuknya.

Gadis itu memang dididik dengan adat istiadat kesopanan khas budaya Jawa. Terlebih lagi, Sanusi dan Suyatmi selalu melimpahi kasih sayang kepada semua anak-anaknya. Meski dalam keadaan sangat susah, mereka akan selalu mendahulukan anak-anak mereka. Orang-orang kampung terkadang memang di luaran terlihat keras dan kasar, tapi jauh di lubuk hati mereka sangat menyayangi dan selalu mendahulukan kepentingan anak-anak di atas kepentingan pribadi mereka. Salah satunya terlihat dari usaha Sanusi untuk tetap menyekolahkan Liana hingga bangku kuliah, meskipun hanya kuliah di sebuah universitas terbuka saja, tapi dia selalu menyangati anaknya untuk bisa lulus dan diwisuda tanpa harus memikirkan tetekm bengek biaya kuliah, meskipun dirinya hanya seorang petani dengan lahan sempit yang hidupnya sehari-hari dari hasil menjual hasil pertanian dan peternakan kecil-kecilan saja.

Di dalam ruang tamu, Narendra sekeluarga menunggu sang tuan rumah sembari bercakap-cakap sendiri. Ayah Andreas adalah seorang pemilik toko grosir plastik dan perkakas rumah tangga di kota. Tokonya merupakan toko terbesar di kota Bayu, bahkan hampir semua toko perabotan rumah tangga di pasar desa Delima  adalah pelanggan di toko Narendra. Bahkan, Narendra juga memiliki sebuah pabrik produksi perabotan rumah tangga berbahan aluminium, seperti dandang, langseng serta panci dan sejenisnya.

Sedangkan Andreas adalah putra sulung mereka. Dia saat ini merupakan seorang CEO sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang pendidikan. Bahasa populernya saat ini adalah social entrepreneur. Yaitu sebuah usaha yang mana sebagian keuntungan dan produk usahanya diperuntukkan bagi kegiatan sosial masyarakat, seperti membantu orang yang membutuhkan bantuan. Kebetulan perusahaan Andreas konsentrasinya dalam dunia pendidikan. Jadi, kebanyakan yang dibantu Andreas adalah anak-anak yang terpaksa putus pendidikan, padahal mereka masih membutuhkannya.

Sanusi dan Suyatmi yang sudah berganti pakaian, segera keluar menemui tamu mereka. Terlihat Narendra dan Puspa, istrinya, duduk di kursi yang menghadap ke arah selatan, tepat di belakang jendela depan. Sedangkan Andreas duduk di kursi yang menghadap ke timur, tepat di samping Puspa. Sanusi dan Suyatmi duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan Narendra dan Puspa.

"Kami datang kemari hendak melamar putri bapak, Liana," ucap Narendra membuka percakapan, "Keduanya inshaallah sudah saling cocok, karena sebelumnya sudah dikenalkan oleh Kinanti, putri pak Wahid, yang kebetulan teman kerja Andreas."

Sanusi mengangguk-angguk seraya tersenyum senang, tanpa sadar bahwa putrinya begitu terkejut karena secara tak sengaja, ketika Narendra berbicara barusan, Liana kebetulan keluar membawa kopi untuk tamunya itu. Untung saja dia tidak jantungan seperti tadi, dan tidak menjatuhkan kopi yang sedang dibawanya.

"Oh, teman Kinanti. Kalau begitu, insyaallah akan menjadi silaturahmi yang baik, apa lagi keduanya sudah saling kenal. Kami sebagai orang tua ya.. Setuju-setuju saja, yang penting keduanya sama-sama bahagia."

Liana makin terkejut mendengar jawaban Sanusi, apa lagi fakta yang dialaminya sama sekali tak sesuai dengan yang diucapkan oleh Narendra. Selama ini Liana berpikir bahwa dia sudah berulang kali menolak Andreas, bahkan sejak pertama kali Andreas berkirim pesan pun, Liana sudah menunjukkan sikap penolakan. 

'Bagaimana bisa si Virus itu bilang bahwa kami ini saling kenal?' batin Liana, 'Benar-benar licik.' Liana mendengus pelan, sembari sedikit melirik pada Andreas yang tersenyum manis ketika tanpa sengaja mata mereka saling bertatapan. 

Liana merasa muak melihat wajah Andreas, meskipun sebenarnya dia cukup tampan, dan mungkin lebih dari cukup tampan, hanya saja ekspektasi Liana terhadap suami yang akan menjadi imamnya bukanlah seperti Andreas. Karena hati gadis itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh seorang Junaedi, pemuda kampung sebelah yang gigih dan mandiri itu. Apalagi Jun juga taat beragama, tak seperti Andreas yang menurut Liana sama sekali tak jelas itu.

Setelah menyuguhkan kopi, Liana segera beranjak untuk kembali ke dapur, karena dia sedang menggoreng pisang. Khawatirnya pisang goreng itu akan hangus jika dia berlama-lama di ruang tamu. Terlebih lagi melihat Andreas yang sedang duduk di ruang tamu, membuat Liana merasa ingin muntah saja. Namun, sayangnya dia tak bisa berbuat apa-apa, sebab tak mungkin juga dia akan berontak dan mengamuk di depan kedua orang tua Andreas, yang mana perbuatan itu akan mempermalukan orang tuanya. Bagaimanapun juga, Liana masih bisa berpikir jernih untuk tetap mengendalikan diri dan menjaga sopan santun.

"Ini semua gara-gara mbak Kinanti. Pokoknya nanti aku akan bikin perhitungan sama mbak Kinanti dan si Andreas itu lewat telpon." gumam Liana geram, setibanya di dapur sembari menggoreng pisang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status