Share

Sebuah Pesan

Mentari pagi mengintip malu dari persembunyiannya, menimbulkan semburat jingga indah arunika dari ufuk timur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, membangunkan penduduk kampung Delima agar segera beraktifitas di Senin pagi yang cerah ini. Namun, cerahnya hari, tak seperti hati Liana yang sedang diliputi kabut kekecewaan akibat kejadian kemarin dan kenyataan bahwa hari ini dia tak akan bisa bertemu dengan Jun.

Liana berdiri dengan raut wajah datar tanpa ekspresi di depan teras rumahnya, menunggu Sanusi mengeluarkan motor dari dalam rumah. Sebuah motor bebek empat tak kesayangannya, yang telah membantu berbagai pekerjaan maupun keperluan lainnya. Sementara Dimas, dia telah berangkat terlebih dahulu, kira-kira dua puluh menit yang lalu mengendarai sepeda BMXnya. Seperti biasa, siswa SMP kelas dua itu  berangkat sekolah bersama teman-temannya.

"Ayo, Nduk, kita berangkat!" ucap Sanusi menyuruh Liana untuk segera naik di atas sepeda bebek yang telah dinyalakannya itu

Liana segera naik di kursi boncengan motor bebek itu, kemudian Sanusi segera mengemudikan motornya itu menuju ke taman kanak-kanak tempat Liana mengajar. 

Hal yang begitu jarang dilakukan Sanusi, selama dia hidup empat puluh tujuh tahun terakhir, sejak putrinya bisa mengendarai sepeda sendiri, sejak itulah dia sudah begitu jarang dan hampir tak pernah mengantarkan Liana untuk perjalanan jarak dekat, tapi kali ini, dia mengantarkan putri kesayangannya itu dengan begitu antusias dan senang. Terakhir kali Sanusi mengantarkan putrinya itu hanyalah ketika dia harus ke kota mendaftar kuliah di sebuah universitas terbuka. Kemudian setelahnya, Liana hanya mengendarai sepeda pancalnya saja sampai ke ujung jalan raya, kemudian menitipkannya di parkiran umum untuk kemudian menaiki angkot sampai ke kota.

Sanusi memang ayah yang penyayang kepada kedua anaknya, tapi dia tetap mengajarkan kemandirian kepada mereka, karenanya dia membiarkan Liana maupun Dimas untuk bisa berangkat sendiri ke mana pun mereka menuju, kecuali jika hari telah malam atau perjalanan yang sangat jauh.

TK tempat Liana mengajar sebenarnya tak terlalu jauh, hanya sekitar tujuh ratus meter dari rumahnya.  Dari pertigaan, mereka harus menyusuri sebuah jalan desa beraspal kasar, dan kemudian berbelok sedikit ke kanan di ujung pertigaan. Sebuah TK Dharma Wanita rintisan pertama di kampung mereka, sebelum bermunculan TK-TK lain setelahnya. 

Sesampainya di depan halaman TK, Liana turun dari motor Sanusi, kemudian mencium punggung tangan ayahnya itu dengan hormat.

"Liana masuk kelas dulu, ya, Pak," pamitnya pada Sanusi. 

"Iya, nanti kalau sudah selesai ngajar, kamu segera hubungi bapak, ya! Biar bapak segera menjemputmu dan kita segera berangkat ke kota," ucap Sanusi yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh putrinya itu.



Liana melangkah menuju halaman TK tersebut, sementara Sanusi berbalik pulang dan menghilang di pertigaan.

 Seorang gadis berkulit coklat dan berkacamata yang sedang berdiri di depan ruang kelas TK A, melihat kedatangan Liana dengan pandangan heran penuh tanya. Sebab, tak biasanya gadis itu datang dengan diantar ayahnya.



"Lho, Li, kamu tumben dianter lek Sanusi? Sepeda kamu kenapa, toh?" tanya gadis itu seketika Liana sampai di dekatnya.

"Oh, endak apa-apa, Im. Sepedaku baik-baik aja, kok," jawab Liana kepada gadis itu yang ternyata bernama Rohimah, sahabatnya sejak sekolah SMP dan kebetulan hingga kuliah dan mengajar, mereka terus bersama.

"Lha, terus kok tumben dianter?" tanya Rohimah lagi.

"Aku mau ke kota sama bapak, nanti," jawab Liana dengan wajah datar dan terkesan sedih.

"Oh, gitu, tapi kok wajah kamu merengut aja sejak dateng tadi, gak ada senyum-senyume sama sekali. Kamu kenapa? cerita sama aku!" desak Rohimah, melihat wajah sahabatnya yang muram sejak dia datang.

"Bentar, ya. Aku naruh buku sama tas di kelas, habis ini aku akan cerita sesuatu sama kamu. Masih ada setengah jam lagi, kan untuk bel masuk?" tanya Liana kemudian. Rohimah mengangguk membiarkan sahabatnya memasuki ruang kelas untuk meletakan beberapa buku dan tas yang dibawanya.

Liana keluar dari dalam kelas setelah meletakkan semua bawaannya tadi. 

"Duduk di sana aja, yuk!" ajak Liana pada Rohimah. Dia mengajak Rohimah untuk duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di depan dinding pagar di depan  kelas TK B, karena kebetulan tempat itu lumayan sepi dari pada tempat lain yang dipenuhi oleh anak didik mereka yang bermain sembari menunggu kelas dimulai.

Mereka melangkah menuju ke bangku itu dan duduk dengan nyaman. Liana menghela nafas dalam-dalam sebelum kemudian dia memulai pembicaraannya.

"Kamu jangan kaget dan histeris, yo!" perintah Liana pada Rohimah  dan sang sahabat pun mengangguk mengiyakan keinginan sahabatnya itu.

"Jadi gini, kemarin hari minggu, Andreas dateng ke  rumah." Liana menghentikan perkataannya sejenak, terlihat Rohimah sedikit kaget. Dia mengernyitkan dahinya memperhatikan perkataan sahabatnya itu. Kemudian Liana meneruskan pembicaraannya kembali, "Dia dateng ujug-ujug (tiba-tiba) ngelamar aku," ucap Liana yang sontak membuat Rohimah makin terkejut. Rohimah membulatkan matanya seraya menutup mulutnya yang terbuka sebab kaget, dengan kedua telapak tangannya.

"Lha, kok iso (kok bisa)? gimana ceritanya itu?" tanya Rohimah.

Liana hanya menggeleng sembari menunduk, dan kakinya bergerak tak jelas di atas tanah seakan menggambar sesuatu dengan ujung kakinya, kemudian dia berkata, "Aku gak tahu, kenapa dia melakukan itu. Padahal ku pikir dia sudah ku tolak dengan sebuah pesan kasar, tapi malah jadinya kayak gini."

"Lalu, piye(bagaimana)? Lek Sanusi nerima lamarane?" tanya Rohimah penasaran.

"Iya, dan aku gak bisa berbuat apa-apa. Soalnya bapaknya Andreas ngomong kalau aku sama anak e wes saling kenal. Bapak kelihatan begitu senang, bahkan kemarin keluarganya Andreas itu bertamu lama banget, ngobrol ngalor ngidul sama bapak kayak teman lama. Aku gak bisa bikin bapak kecewa, Im. Kemarin aku nyoba bikin gara-gara sing alus, eh malah bapaknya Andreas muji-muji. Tolong bantuin aku, Im?" Liana memelas meminta bantuan pada sahabatnya itu.

Rohimah terdiam sebentar untuk sedikit berpikir, kemudian berkata, "Itu kan kamu  dikenalin sama mbak Kinanti, toh? kamu sudah nanya sama dia? Kenapa enggak nyoba ngomong jelas sama dia?"

"Aku belum berani nanya, sih. Soalnya aku gak tahu mau ngomong gimana. Mas Jun juga gak pernah ngomong apa-apa sama aku, itu yang repot."

"Tapi jelas toh, Li. Mas Jun itu demen sama kamu, wong dia itu gak pernah mau dichat sama perempuan, tapi rutin ngirimi chat tausiyah sama kamu. Gak ada anak-anak karang taruna maupun temen kuliah dan dosennya yang digituin. Aku itu jelas tahu dari si Hamidah, dia kan kuliahnya di kampuse mas Jun. Dia bilang kalau si mas Jun itu paling anti dekat-dekat perempuan."

"Aku tahu, Im. Tapi masa aku bakal nodong dia buat nyatain isi hatinya, toh?"

"Ya, gak usah nodong toh, Li. Sindir saja lewat chat. Biar dia kerasa kalau posisinya wes gak aman. Dia juga, sih pake gak jelas segala, kalau wes gini kan angel, toh? Coba siniin HP kamu, tak kirimin chat sa si mas Jun kae!"

Liana mengeluarkan ponsel dari kantong bajunya, kemudian diserahkan kepada Rohimah.

[Assalamualaikum, Mas. Maaf jika mengganggu. Tapi, saya mau minta saran sama mas Jun. Kemarin ayah saya menerima lamaran dari seorang pria yang saya pikir kurang tepat bagi saya, karena sepertinya dia tidak begitu dalam pengetahuan agamanya. Jadi, apakah saya bisa mengatakan pada ayah saya untuk menolak lamaran itu dengan alasan tersebut?]

"Wes, cobak kirimen chat ini. Biar dia nyadar, Li."

Liana membaca ketikan Rohimah sebentar, kemudian mengirimkan pesan chat itu ke nomor Junaidi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status