Sementara Damian tengah packing pakaian miliknya, Indi menatap datar wajah suaminya itu sembari menyandarkan punggungnya dan melipat tangan di dada.
“Extided banget yang mau bulan madu!” ucapnya kemudian mengambil sebuah kotak kecil di dalam lacinya. Mata itu memicing dan menoleh cepat ke arah sang istri. Yang mana rupanya perempuan itu mengambil rokok serta korek api di dalamnya. Dengan cepat Damian lantas beranjak dari duduknya dan menghampiri perempuan itu. “Apa-apaan kamu ambil ini? Kamu … perokok?” Damian bertanya seraya mengambil rokok itu di tangan sang istri. “Emang kenapa kalau gue perokok? Elo udah tahu dunia gue kayak gimana, kalau mau jadiin gue istri elo, harus nerima gue apa adanya, right?” “Yaa tapi nggak harus merokok juga, Indi. Kamu dengar kan, permintaan papa aku dan papa kamu apa tadi? Cucu! Kamu nggak boleh merokok lagi karena ini akan menyeba—““Gue nggak mau punya anak dulu, Damian! Apalagi sama elo yang sama sekali nggak gue cinta!” seru Indi berucap dengan jujur. Damian menghela napas pelan. Sabar menghadapi sikap Indi yang masih belum ingin menerima kenyataan bahwa kini Damian adalah suaminya. Lelaki itu hanya menatap Indi dengan tatapan datarnya kemudian membuang rokok itu ke dalam tong sampah. Mata Indi lantas melotot tatkala rokok itu dibuang begitu saja oleh Damian. “Damian! Berengsek lo, ya! Kenapa rokok gue dibuang? Suami kurang ajar emang lo, yaa!” pekik Indi memarahi Damian sebab sudah membuang rokoknya. “Kamu yang kurang ajar, Indi. Jangan buat aku marah dan memberi tahu papa kamu kalau kamu merokok. Dia tidak tahu kan, kalau kamu merokok?” “Shiitt! Kurang ajar emang elo tuh!” ucapnya kemudian menjambak rambutnya itu. “Lebih baik bawa semua pakaian yang ingin kamu bawa. Nggak usah marah-marah lagi hanya karena rokok itu aku buang. Kalau kamu nggak ingin kena marah papa kamu, turuti semua perintahku!” Damian punya senjata yang bisa membuat Indi menuruti perintahnya. Tidak perlu harus memohon kepada perempuan itu sebab hanya dengan membawa nama Wijaya pun Indi akan terdiam. Dengan terpaksa, perempuan itu lantas mengambil koper miliknya dan memasukan pakaian yang ada di dalam lemarinya itu. Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Saat itu juga Damian dan Indi berangkat bulan madu. Perempuan itu tampak mengerutkan keningnya kala dibawa ke sebuah lapangan yang cukup luas. Matanya tertuju pada pesawat pribadi yang siap terbang. “Ya. Aku punya segalanya yang bisa aku gadaikan demi mendapatkan cinta kamu,” ucap Damian menjawab pertanyaan yang ada di dalam pikiran Indi.Perempuan itu mendehem pelan. “Resepsi yang megah dan meriah itu juga udah membuktikan kalau elo punya segalanya!” ucapnya dengan suara datarnya. Sementara Damian hanya menyunggingkan senyum sembari geleng-geleng dengan pelan. Tangan itu lantas menggenggam tangan Indi dan melangkah menuju pesawat pribadi yang sudah menunggu mereka. “Sebenarnya kita mau ke mana sih, Damian?” tanya Indi lagi yang masih penasaran akan dibawa ke mana sebenarnya dia. Di dalam pesawat itu hanya ada Damian dan Indi saja. Termasuk pilot yang membawa mereka tentunya. Damian kemudian menatap wajah Indi dengan amat sanga dekat. “Mau tahu aja atau mau tahu banget?” bisik Damian tepat di samping telinga perempuan itu. Bahkan embusan napasnya pun sangat terasa oleh Indi. “Ya mau tahu lah! Rencana elo ini udah bikin acara gue dan temen-temen gue batal tahu, nggak!”“Dilarang hura-hura dengan teman-teman aneh kamu itu, Indi!” titah Damian dengan suara yang sangat menekan. Indi mengibaskan tangannya. Enggan menuruti perintah suaminya itu. “Jangan mentang-mentang sekarang gue jadi istri elo, seenaknya elo larang gue ini dan itu! Gue nggak mau dan gue mau bebas melakukan apa pun yang gue inginkan!” Pada dasarnya Indi yang berasal dari keluarga broken home sejak sepuluh tahun yang lalu itu memiliki pergaulan yang amat sangat di luar kendali. Tentu saja perempuan itu tidak akan betah kalau harus berdiam diri menunggu suami pulang dari kantor lalu menyambutnya dengan penuh gembira. Bukan. Bukan itu yang Indi inginkan. Yang ia inginkan adalah bebas melakukan apa yang ingin dia lakukan. “Boleh main, asal jangan lupakan statusmu yang sudah menjadi istriku! Jangan menghancurkan nama baikku juga.” Damian memperingati Indi. Perempuan itu kemudian menoleh pelan kepada suaminya itu. “Jadi … semua ini demi nama baik elo dan reputasi elo? Kalau gitu, kenapa elo nikahi perempuan gila kayak gue, Damian? Sampai kapan pun gue nggak akan berubah dan akan tetap jadi Indi yang gue inginka. Camkan itu!” Indi memutar bola matanya kemudian berdecak pelan. Ia yang tengah salah paham itu lantas marah bukan main kepada Damian yang mengira bila lelaki itu hanya tidak ingin nama baiknya jadi jelek karena ulah Indi. “Kamu salah paham, Indi. Bukan itu maksud aku. Mau mens atau apa sih? Dari kemarin marah-marah terus.” Damian geleng-geleng kepala melihat kelakuan istrinya itu. Indi melirik malas ke arah suaminya itu. “Nggak usah nyalahin gue, Damian! Elo sendiri yang udah bikin gue emosi dari tadi. Pertama, elo udah buang rokok gue, kedua larang gue main sama temen-temen gue dan ketiga … nggak mau dibuat malu karena kelakuan gue.” Damian menghela napasnya dengan pelan. “Oke aku minta maaf. Aku udah katakan pada kamu, Indi. Silakan main dengan teman-teman kamu, asal jangan pulang malam-malam. Nanti aku yang bilang ke mereka. Rhea, Gladis dan Manda, kan?” Indi menyunggingkan bibirnya kemudian membuang muka. “Seraaah!” sengalnya kesal. Damian terkekeh pelan. Baginya, perempuan itu sangat lucu hingga membuatnya semakin yakin kalau Indi memang pelabuhan terakhir untuknya. ‘Sikap itu akan luruh seiring jalannya waktu. Aku yakin itu,’ ucapnya dalam hati. Berharap penuh kalau Indi akan berubah akan sikap yang sangat luar biasa itu. “Damian! Elo belum kasih tahu gue mau ke mana.” Indi mengingatkan Damian agar memberi tahu ke mana mereka akan pergi. “Chicago. Ada pulau pribadi dan villa yang sudah aku sewa selama dua minggu—““What?! Dua minggu kata elo? Damian oh, come on! Kelamaan, Damian. Seminggu aja, seminggu. Gue nggak bisa party entar. Badan gue bisa pegel-pegekl kalau nggak party selama dua minggu itu!” Damian menyibakkan rambut panjang perempuan itu kemudian menarik tali dress yang dikenakan oleh istrinya itu. “Diam, atau aku hajar sekarang juga?” bisik Damian seraya menatap dengan tajam wajah Indi.Satu minggu kemudianIndi sudah merasakan mulas yang tidak biasa. Setiap sepuluh menit sekali, la merasakan nyeri itu di perutnya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Damian yang baru masuk ke dalam kamar langsung menghampiri Indi yang tengah meringis kesakitan sembari memegang perutnya"Sayang. Damian memegang tangan Indi."Damian kayaknya aku mau lahiran deh. Perut aku sakit banget, lirih Indi lalu meringis kembali."Heeuh?" Damian tampak linglung dan juga panik. Ia kemudian menghubungi sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit"Ketuban kamu kayaknya udah pecah juga. Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang juga. Damian lalu menggendong tubuh Indi dan membawanya masuk ke dalam mobil"Ke rumah sakit sekarang juga!" titah Damian kepada sopirnya itu.Ia lalu menghubungi Ayu untuk memberi tahu kalau Indi akan melahirkan sekarang juga"Regina. Indi mau lahiran. Tadi gue lihat air ketuban dia udah pecah." Damian menghubungi Regina untuk mempersiapkan ruang persalinan untuk Indi.Oke, oke. Gu
Damian lalu menerima panggilan tersebut meski hatinya sudah was-was khawatir pihak kepolisian tahu siapa yang telah menyebabkan kematian Daniel"Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf telah mengganggu waktu Anda di malam-malam begini," ucap kepala polisi-Iman di seberang sana."Malam. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Padahal jantungnya berirama dengan cukup kencang."Jadi begini, Pak Damian. Kami mendapat laporan dari tetangga sebelah rumah yang ditempati oleh Saudara Daniel dan Pak Pradipta. Ada jasad yang dikubur di belakang rumah. Setelah diidentifikasi, ternyata mayat tersebut adalah Pak Pradipta dengan luka bekas tembak di bagian kepalanya."Kami pun melakukan memeriksa rekaman CCTV di rumah itu, dan yang telah membunuh beliau adalah anaknya sendiri yaitu Saudara Daniel. Untuk itu, besok pagi dimohon untuk membuat laporan pengambilan jenazah agar dimakamkan dengan layak. Juga dengan jasadnya Saudara Daniel yang masih ada di ruang jenazah."D
Indi menerbitkan sentumnya dengan lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Yuk! Aku juga kepengen."Damian lantas terkekeh mendengarnya. Ia kemudian menarik tangan Indi dan membawanya masuk ke dalam kamar yang tak jauh dari tempat di mana mereka mengobrol.Setibanya di dalam kamar. Indi memilih untuk membuka bra-nya terlebih dahulu karena bra yang ia kenakan cukup susah dibuka bila selagi bercinta itu akan dilakukan.Sementara Damian membuka jam tangan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci miliknya terlebih dahulu."Damian memang rajin. Kalau mau bercinta, pasti dicuci dulu." Indi geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis.Sembari menunggu Damian selesai, Indi memilih untuk membuka ponselnya dan memainkannya sebentar.Sampai akhirnya Damian pun masuk kembali ke dalam kamar. Hanya mengenakan handuk yang dia lingkarkan di pinggangnya lalu menghampiri Indi dan menautkan bibirnya dengan lembut. Tangannya menyusup di balik dress yang Indi gunakan. Mengusapi paha mulus Indi dengan lembu
Satu minggu berlaluDamian sudah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik. Kini, mereka sudah berada di rumah bersama Diego dan juga Manda. Sementara Arnold tengah menyelesaikan masalahnya dengan keluarga besarnya"Ngapain juga lo harus pulang. Minggu depan juga ke rumah sakit lagi. Pan Indi mau lahiran. Udah ngos-ngosan tuh orangnya. Udah gak kuat kayaknya pengen ngeluarin tuh hasil keringat kalian." Diego menunjuk Indi yang tengah duduk menyandar di sandaran sofa.Ia lalu menoleh pada Diego dan mengusapi perut buncitnya itu. "Kayaknya nggak akan sampai seminggu deh. Dua sampai tiga hari juga udah mau bro jol Ini anak. Punggung gue udah kerasa panas soalnya," ucap Indi memprediksi kalau la akan lahiran dalam hitungan hari."Aku akan ambil cuti sampai kamu melahirkan, Sayang. Sesuai janjiku, akan menemani kamu saat lahiran nanti." Damian lalu mengulas senyumnya. Mengusapi perut buncit istrinya dengan lembut."Iya, Damian. Ternyata kamu nggak jadi pengangguran karena papa kamu m
Arnold merelakan jabatan serta statusnya demi menyelamatkan Damian agar jangan sampai diusik oleh keluarganya yang kini sudah mengetahui bila Damian adalah anak kandungnya.Sekali pun Bara tidak pernah keluar dari rumahnya padahal berita itu sudah surut karena permintaan dari Arnold. Sudah satu minggu berlalu, semuanya menjadi normal kembali setelah Arnold menyatakan yang sebenarnya tentang Damian."Jadi, Papa sama istri Papa mau udahan?" tanya Indi sembari menemani mertuanya itu makan siang di kantin rumah sakit.Arnold mengangguk. "Dan Papa tidak perlu harus ke pengadilan lagi. Karena Papa tidak akan mencari pasangan lagi. Selama ini, Papa hanya mencintai mamanya Damian, Kiran. Hanya dia satu-satunya perempuan yang mengisi hidup Papa."Indi manggut-manggut dengan pelan. "Tahu begini mah, kenapa nggak dari dulu, yaa." Indi meringis pelan menahan malu.Arnold terkekeh pelan. "Karena Om Ferdy baru kasih tahu kalau dia ternyata bukan anak kandung dari istrinya Kakek Bara. Makanya Papa t
Damian sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Banyaknya media yang berdatangan ke rumah sakit untuk meminta penjelasan kepada Damian lantas membuat Indi geram."Hhh! Sialan bener ini media. Nggak tahu aра, kalau ini rumah sakit. Pengen gue bogem satu- satu kayaknya ini orang!"Indi lalu beranjak dari duduknya."Indi, Indi. Indiraaaaa!!" Bahkan Damian tidak mencegah istrinya yang ingin melabrak awak media."Heh!" Indi sudah tidak tahan lagi dan akhirnya keluar dari ruang rawat suaminya itu. "Kalian tahu privasi orang, nggak? Suami saya masih sakit! Nggak bisa diganggu apalagi ditanyakan dengan pertanyaan konyol kalian!"Semua awak media lantas terdiam mendengar Indi yang marah-marah sembari berkacak pinggang sebab kesal."Kalau memang benar suami saya adalah anaknya Pak Arnold, kalian mau apa? Mau ngantre j