Rasa penasaranku tetap tak bisa hilang, kutelepon kembali suamiku, tapi ponselnya lagi-lagi belum aktif.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Eh, Bu Joko. Mari masuk, Bu.” Pintu rumahku kubuka lebar, menyambut tetanggaku yang sering menggunjingkan diriku.
“Nggak usah, Mbak Maya. Di luar aja.” Ucap wanita yang sering pamer emasnya yang berentet layaknya toko mas berjalan. “Tadi ada yang nyariin Mbak Maya.”
“Nyariin saya, Bu? Siapa?”
“Nggak tahu, dua orang. Pakai jaket hitam, tinggi-tinggi lagi dan tampangnya … hiiiyy, serem,” ujar wanita ini dengan gaya lebay-nya.
Jangan-jangan debt collector, batinku.
“Terima kasih atas informasinya, Bu Joko. Mungkin itu teman saya yang sedang ingin bertamu, tapi sayanya nggak ada,” kilahku.
“Oh, gitu. Ya, saya, sih cuma nyampein aja, Mbak.” Wanita ini dengan cepat memalingkan wajahnya sambil kipas-kipas dengan salah satu tangannya.
“Yasudah, saya pulang dulu, ya, Mbak. Cuma mau sampaikan itu akan kok. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, hmmm …. tetangga bikin kesel!” ujarku menutup pintu rumahku.
Tak lama tetanggaku pulang, ponselku kembali berdering.
“As-”
[Maya! Cepat pulang, bapakmu masuk rumah sakit!]
“Rumah sakit mana, Bu?”
[Rumah sakit yang biasa bapakmu berobat, udah jangan banyak tanya! Cepat ke sini!]
Sesampainya di rumah sakit aku melihat ibuku sedang berada di depan ruang UGD mondar-mandir tampak gelisah.
“Bu, bagaimana bapak?”
“Masih di UGD, sedang ditangani dokter,” ujar ibuku.
“Lantas, kenapa Ibu di luar nggak nunggu di dalam?” aku pun bertanya karena penasaran.
“Ibu nggak tega liat bapakmu meraung kesakitan, May. Kasihan,” ucap ibuku dengan wajah sedih.
“Kalau gitu Maya ke dalam dulu lihat bapak, Bu.”
Ibuku mengangguk-angguk. Kulihat bapak terbaring lemas di atas brankar dengan disangga infus dan selang oksigen.
“Bagaimana keadaan bapak saya, Dok?”
“Jika sedikit saja, maka saya tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi,’’ jelas sang Dokter.
Tentu saja ucapan dokter membuatku sangat kaget. Bukannya tiap bulan kuberikan uang pada ibu untuk memeriksakan penyakit bapak ke dokter? Lalu ke mana uang itu?
“Lakukan yang terbaik untuk bapak saya, Dok.” ucapku tanpa kupedulikan keuanganku.
***
“Gimana May? Apa bapakmu sudah selesai diperiksa?” ibuku dengan cepat menghampiri.
“Udah Bu. Bapak harus rawat inap,” tukasku duduk sejenak di kursi sebelah UGD.
“Rawat inap? Haduh, biaya dari mana? Ini aja Ibu nggak bawa uang, cuma bawa pas-pas-an buat nebus obat tadinya kalau nggak nginep,” ibuku terlihat panik dan gelisah.
Aku sangat ingin marah dengan ibuku. Ingin sekali ku interogasi perkara uang yang selama ini kuberikan pada ibuku, tapi aku tahu pikiran ibu saat ini pasti kalut, panik, cemas.
“Biaya bapak nanti Maya yang urus, Bu. Jangan khawatir,” ucapku lagi-lagi harus menahan emosi.
“Lega Ibu dengernya. Ibu ke dalam dulu, nanti kamu hubungi adikmu, suruh dia langsung ke rumah sakit.”
Aku mengangguk, kurogoh tanganku ke kantong celana kantorku, tapi tak kutemukan benda pipih warna ungu yang biasa menemaniku.
“Ke mana HP-ku? Kok nggak ada?” Kurogoh dan terus kurogoh di dua kantong bagian lainnya, tapi tetap tak kutemukan. “Apa jangan-jangan ketinggalan di rumah? Ya Allah … gimana kalau Mas Dendi pulang nanti? Mana nggak bilang waktu mau ke sini.” Pikiranku semakin kacau.
Kuayun langkahku kembali masuk ke ruang UGD, di sana ibuku sedang duduk menemani bapak ku yang masih belum sadarkan diri. Serba salah, itulah yang kualami saat ini.
“Bu,” ucapku pelan.
“Udah kamu hubungi adikmu, May?”
Aku menggelengkan kepala. “Belum, Maya nggak bawa HP, Bu. Ketinggalan di rumah. Ini mau telepon Mas Dendi pun Maya nggak bisa, belum izin waktu ke sini,” jelasku.
“Gimana, sih! Kenapa benda sepenting itu bisa lupa! Biasanya kamu juga nggak lupa, kan? Ini semua karena kamu nikah sama bekas suami sahabatmu itu! Coba lihat keadaan kamu sekarang! Dulu, kalau kamu denger omongan bapak sama Ibu-”
“Maaf, ya, Bu. Tolong jangan kencang-kencang suaranya, kasihan pasien yang lain.” Seorang Suster datang dan menegur kami.
“M-maaf, Suster.” Ucapku sedikit menundukkan kepala, tak enak hati. “Bu, kalau Ibu mau marah, silakan. Tapi tahu tempat, ini rumah sakit. Banyak orang yang butuh istirahat,” ujarku.
“Ada aja alasan kalau dibilangin! Kamu yang bayar biaya bapak kamu! Ibu udah ngomong kan minta uang buat berobat bapakmu, tapi kamu malah nggak mau kirim!”
Astaghfirullah … sabar May … sabar.
Ingin sekali aku menyanggah semua ucapan ibuku yang terlalu memojokkan suamiku, tapi lagi dan lagi aku harus menekan egoku. Kubiarkan beliau berkata sesuka hati, mencibir dan merendahkan menantunya tanpa perasaan, walau aku sangat terluka.
“Maya urus biaya bapak dulu terus mau langsung pulang.” Aku hendak mencium tangan Ibu.
“Suruh suamimu itu kerja yang bener! Cari uang yang banyak! Kamu dulu waktu hidup sama kami semua serba berkecukupan, sekarang suamimu harus bisa seperti itu! Mencukupi semua kebutuhanmu!” jelas ibuku tak memedulikan teguran suster tadi.
“Iya … iya, Bu. Maya keluar dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
***
“Semua totalnya jadi dua juta lima ratus empat puluh ribu rupiah, Mbak.”
Aku hanya bisa pasrah mendengar jumlah uang yang harus dibayar untuk biaya bapak. Terpaksa, aku menggunakan dana cadangan yang selama ini kusimpan bersama Mas Dendi jika ada hal-hal tak terduga datang.
Maafin aku, Mas. Aku terpaksa pakai uang ini untuk biaya pengobatan bapak.
Malas sekali rasanya kalau harus bertemu dengan ibuku, paling hanya kata-kata umpatan dan cibiran untuk suamiku yang meluncur dari mulutnya.
“Bapak masih belum sadar, Bu?” tanyaku saat kembali ke UGD melihat kondisi bapak.
“Belum. Udah kamu bayar? Habis berapa?”
“Sudah, Bu. Habis dua juta empat ratus lima puluh,” tukasku sedikit berat mengatakan nominalnya.
“Oh, Ibu udah telepon adikmu. Nanti dia ke sini. Kamu kalau mau pulang … pulang aja. Besok kalau datang ke sini sekalian bawain Ibu makanan, terus adikmu juga dibawain. Kasian dia, kuliah dari pagi sampai malam. Pasti capek.”
Kukepalkan kedua tanganku kencang. Ingin teriak rasanya melihat bagaimana Ibu memperlakukanku dan adikku yang nyata-nyata bisa kerja paruh waktu tapi pandai bermain alasan!
“Lihat besok, ya, Bu. Maya kan juga harus kerja dan lagi agak sibuk.”
“Halah, sibuk … sibuk! Orang kerjamu cuma keluyuran, luntang-luntung nggak jelas, kok dibilang kerja!”
Ya Allah, sampai kapan aku harus bersabar dengan sikap ibuku sendiri?
“Maya pamit, Bu. Kalau Bapak sudah sadar, tolong sampaikan maaf Maya karena tak bisa lama di rumah sakit.”
“Iya, yasudah sana pulang. Suami bekasmu pasti sudah nunggu di rumah!” ucapan ketus ibuku benar-benar membuatku sangat sakit hati.
***
Sepanjang jalan air mataku keluar karena ucapan ibuku sendiri. Wanita yang mengandung, melahirkan, dan membesarkanku tak kusangka mengeluarkan kata-kata menusuk pada putrinya sendiri. Sebenarnya apa yang salah dari Mas Dendi? Apa yang salah menikahi suami sahabat sendiri? Toh, Tantri dan Mas Dendi sudah cerai, baik-baik juga. Kenapa Ibu mempermasalahkan hal ini?
“Maya? Dari mana kamu?”
Suara laki-laki yang sangat kukenal menyeruak gendang telingaku. Buru-buru kuhampiri Mas Dendi yang sedang duduk di teras rumah kami. Agak takut, aku segera minta maaf sambil mencium punggung tangannya.
“Maaf, Mas. Tadi aku nggak sempat pamitan sama Mas karena urgent,” jelasku agak terbata.
“Urgent? Memangnya ada apa, Sayang?”
“Bapak masuk rumah sakit dan harus dirawat. Aku nggak bawa HP, karena buru-buru, maaf, ya, Mas.”
“Nggak apa-apa. Terus gimana keadaan bapak sekarang?”
“Belum sadar, masih di UGD. Dan ….”
“Dan apa?”
“Itu, anu, Mas … aku pakai dana cadangan kita untuk bayar pengobatan Bapak. M-maaf.” Aku langsung menundukkan kepala, takut dimarahi Mas Dendi.
Kok, nggak ada respon Mas Dendi? Apa dia marah karena uang cadangan kami aku pakai?
“M-Mas, kamu marah, ya?” tanyaku kuberanikan kepalaku menegak, melihat wajah suamiku yang melihatku datar namun dengan tatapan tajam.
Mas Dendi marah? batinku mulai ketar-ketir.
“Kita sudah sampai Mbak. Mbak … Mbak.”“O-oh, iya … maaf, Mas Yoga.” Aku buru-buru mematikan ponsel dan turun dari mobil. “Wah, panjang banget antriannya, ya,” kataku melihat barisan panjang orang-orang di sebuah tempat makan yang mungkin lebih mirip kaki lima. “Kira-kira kita masih kebagian nggak ya?” tanyaku meragu dengan situasi di depanku saat ini.“Kebagian, kok. Jangan khawatir.” “Eh, kebagian?” aku langsung menoleh ke arah Yoga dengan banyak pertanyaan dalam benakku. Masa sih? Antriannya aja ngalahin bus Transjakarta, batinku.“Yuk, Mbak.” Yoga spontan menarik tanganku masuk dari arah berlawanan. Kami tidak mengantri seperti orang-orang itu. Aku pun diam dan seperti orang bodoh mau saja diajak ke sana-sini.“Mbok Jum, sotone kaleh (Bu Jum, sotonya dua),” ucapnya sambil mengangkat dua jarinya dan tersenyum. Wanita tua yang ada di depanku dengan batik lusuh warna coklat pudar serta jarik (kain) lurik dan celemek yang penuh dengan warna kuning serta bermacam-macam warna yang sang
“Sudah sampai.”Yoga mengantarku hingga ke depan pintu kamar hotel. Aku pun hanya bisa mengangguk menahan malu dan rasa tak enak karena beberapa saat lalu tanganku mengalung di lengan kekarnya tanpa permisi. Tak ada kata yang terucap dari kami. Saat hendak menempelkan kartu hotel, suara berat dan pelan Yoga tiba-tiba membangunkan bulu kudukku.“Aku dulu juga punya pengalaman yang sama seperti Mbak Maya.”“A-apa? Maaf Mas Yoga?” kepalaku pun langsung spontan menoleh ke kiri tepat melihat pria ini dengan tatapan bingung.“Maaf, jadi curcol.” Tawanya sambil garuk-garuk kepala. “Yasudah, kalau begitu saya pamit dulu, Mbak Maya. Selamat malam dan selamat beristirahat.” Tubuh tegap pria itu segera balik kanan mengayun langkah seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam celana bahan hitam polos. Aku melihat punggung lebar dan gagah sepupu Dina sedikit sendu. Aku tak salah dengar! Dia mengatakan sesuatu yang aku yakin berhubungan dengan masa lalunya.***“Ah, lelahnya!” tubuhku langsung kuhemp
“Karena pernikahan kita di ujung tanduk.”“Apa maksudmu, May? Kenapa bicara begitu? Kenapa tiba-tiba ….” Mas Dendi terbelalak, begitu pula Yoga. Aku pun tak menyangka bisa bicara seperti ini.“Bukankah semua sudah jelas, Mas? Pernikahan kita sudah hancur!” tegasku namun masih dengan suara datar dan rendah. “Kenapa kamu bisa bilang begitu, May? Tolong jelaskan,” pinta Mas Dendi. Dari raut wajahnya, aku tahu dia sangat terkejut dan shock dengan ucapanku. Aku melirik ke arah Yoga yang sepertinya penasaran dengan rumah tanggaku, tapi tak mungkin juga ‘kan aku cerita, dia orang lain. Masa aib aku ceritakan dengan orang yang baru pertama bertemu.“Itu-”Belum lagi aku selesaikan ucapanku, ponsel milik Mas Dendi berdering nyaring. Dan firasatku mengatakan itu adalah Tantri!“Kenapa nggak diangkat?” tanyaku tersenyum sinis.“Nanti aja, nggak penting!” jawab Mas Dendi. Memang dia tak menjawab telepon yang masuk, tapi Yoga merasa risih dan terganggu dengan deringan berisik ponsel milik suamik
Aku dan Yoga berjalan tak tentu arah. Entah ke mana kaki membawa kami, tapi yang kutahu aku harus menjauh dari suamiku dan Tantri. Air mataku sudah hampir terlepas dari kelopak mata, kucoba menahan namun tak bisa. “Kalau Mbak Maya capek, berhenti dulu di sini nggak apa-apa.”Aku terkejut dan menoleh ke samping kiriku. Yoga, lelaki yang baru kukenal hari ini entah mengapa suaranya begitu menenangkan dan membuatku merasa aman. Suara berat ditambah senyum khas mas-mas Jawa menambah nilai plus pada dirinya.“M-maaf.” Kulepas genggaman tanganku yang ternyata masih melekat ke tangan Yoga. Canggung, aku balik badan dan memalingkan wajah karena malu.“Kita duduk dulu, Mbak Maya?” ajak Yoga menunjuk sebuah bangku panjang tepat di depan benteng Vredeburg. Aku membaca tulisan warna hitam timbul itu sambil berkaca-kaca. “Mbak Maya ….”Aku mengangguk. “Maaf atas ketidaknyamanannya, Mas Yoga.” Tundukku tak enak karena orang lain harus tahu masalah rumah tanggaku.“Nggak apa-apa, Mbak. Saya paham k
“Tantri! Mas Dendi!” ucapku tak kencang namun tetap saja rasa kejut ku sangat besar.“M-May?” suamiku tampak terkejut melihat keberadaanku. “Maya, kebetulan banget kita ketemu di sini.” Tantri langsung mendekatiku yang awalnya dia sangat dekat dengan suamiku, bahkan seolah tiada berjarak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanya Tantri mengalungkan tangannya ke lenganku.“Teman,” kataku tersenyum tipis sambil melepaskan tangannya.Mas Dendi sepertinya kikuk dan salah tingkah melihat sikapku pada Tantri, begitu pula Tantri. Sambil mendekat, Mas Dendi berkata, “Sama siapa ke sini May? Kenapa nggak ngomong sama Mas?” tanya suamiku tapi sekilas melirik Tantri.“Kupikir Mas sudah ganti nomor telepon atau menghapus nomorku,” sindirku menatap mereka berdua.“Kenapa Mas harus begitu? Memangnya ada apa?” Kukepalkan kedua tanganku kencang. Apa-apaan ucapan Mas Dendi? Benarkah ini suamiku?“Permisi, Mas, Tantri. Aku harus pergi.” Tak tahan melihat dua manusia ini, aku memutuskan untuk menghindari mere
Akhirnya kami tiba di Gambir dan segera mencetak tiket. Tak lama, pengumuman jika kereta yang akan kami naiki telah tiba. Aku dan Dina segera bergegas, saat sampai di tempat duduk, Dina lagi-lagi menghubungi sepupunya yang berada di Jogja. Entah sudah keberapa kali dia menghubungi sepupunya itu, membuatku semakin penasaran.“Din, sepupumu itu … dia angkatan?” tanyaku coba tak terlalu kepo walau aslinya sangat ingin tahu.“Kenapa? Kepo, ya?” kekeh Dina.“Ish, cuma tanya aja kok. Nggak mau jawab ya udah,” sahutku mencebik.Dina tertawa lebar, “Dia AAU,” singkatnya.“AAU? Apa itu?” “Astaga, Mayaaaaa!! Kamu emang nggak pernah belajar RPUL apa?” Dina tersontak.“Ya belajar, tapi ‘kan aku emang nggak tahu apa artinya,” ujarku membela diri.“Hadeh, yaudah deh. Simpan rasa kepomu, nanti juga tahu sendiri.” Dina tersenyum lebar sembari mencubit gemas pipi kiriku. “Aku jamin saat kau bertemu sepupuku ini matamu akan keluar dan nama Dendi langsung terhapus dari otakmu,” kekehnya.“Benarkah? Apa