Kaira terbangun di tengah malam karena perutnya yang keroncongan. Kaira teringat, bahwa dirinya tidak makan malam. Tangannya meraba sesuatu yang keras, tubuhnya juga merasakan seperti memeluk sesuatu tapi bukan sebuah guling.
"Eh, apa gulingnya berubah menjadi batu?" gumam Kaira.
"Dia berfikir apa? Aku batu?" batin Jay yang terbangun karena tangan Kaira terus meraba dada bidangnya yang tidak mengenakan baju.
"Bisa hentikan sentuhan tanganmu itu? Aku tidak bisa menahannya lagi kalau terus merabaku," ucap Jay sembari menghentikan tangan Kaira yang terus bergerak merabanya.
"Kyaaaaa... Kamu siapa?"
DUKKKKKKKK...
Kaira lagi-lagi terkejut dan tidak sengaja menendang Jay hingga tergelinding ke atas lantai. Jay begitu kesal. Jay mengelus-elus pinggangnya yang di tendang sangat keras oleh Kaira.
"Sialan! Sudah mengganggu tidurku, membangunkan gairahku, terus menendangku," batin Jay menggerutu.
Kaira menghidupkan lampu kamarnya. Pakaian Kaira belum berubah, masih sama seperti saat di dalam kantor. Kaira melihat kaki di atas lantai, lalu mendekatinya.
"Ha? Pres... Presdir? Presdir kenapa duduk di atas lantai?" tanya Kaira yang terkejut dengan kehadiran Jay, tapi tidak mengingat apa yang baru saja di lakukannya hingga Jay berada di atas lantai. Kaira mengulurkan tangannya untuk membantu Jay berdiri.
BRUKKKKK...
Jay menarik tangan Kaira hingga tubuh Kaira terjatuh menimpanya. Mata mereka saling bertatapan satu sama lainnya.
"Sudah menendangku, tapi kau tidak juga meminta maaf?" tanya Jay. Tangan Jay menahan Kaira supaya tidak bergerak.
"Pres..."
"Panggil aku, SUAMI!" bisik Jay di telinga Kaira.
"Su... Suami?" tanya Kaira.
"Masih tidak minta maaf juga?" tanya Jay.
Jay memanfaatkan posisi Kaira yang duduk di atasnya, untuk balas dendam. Jay memeluk Kaira tiba-tiba.
"KYAAAAAAA... Oke! Oke! Aku.. Aku minta maaf!"
Hahaha...
Jay menggelitik pinggang Kaira hingga Kaira menyerah dan mohon ampun padanya. Kaira dan Jay, mereka tertawa bersama di jam 2 pagi. Mereka tidak ingat, bahwa orangtua Jay menginap di sana.
"Masih tidak meminta ampun juga?" ucap Jay dengan wajah yang sumringah.
"Oke... Ampun!" ledek Kaira.
"Apa sudah inget kalau kau sudah bersuami, Hamster kecilku?"
"Aku tidak lupa. Hanya saja..."
"Hanya saja apa?" Jay terus memandangi Kaira tanpa berkedip.
Jay terbawa oleh perasaan, suasa yang mendukung, dan memang sebenarnya mereka memiliki ketertarikan satu dan lainnya, sehingga Jay sudah mencium, melumat dan melahap habis bibir Kaira.
KRUCUKKKKK...
Jay yang tengah memejamkan mata, menikmati bibir Kiara yang lembut dan terasa manis, langsung membuka mata dan melepaskan bibir Kaira. Suara perut Kaira yang kelaparan, menghancurkan konsentrasi.
"Huffffttttt, padahal sudah sangat siap tapi di buat keribut kembali," gumam Jay sembari melihat ke arah celananya.
Wajah Kaira memerah, malu, dan bingung. Apalagi lagi Kaira mendengar ucapan Jay yang menurutnya memiliki arti mendalam.
"Aku.. Aku tadi membalas ciumannya? Aduhhhhhh gimana ini? Malunya!" batin Kaira.
Kaira menepuk-nepuk pipinya yang memerah. Jay mencegahnya dengan memegang keduan tangan Kaira.
"Apa yang kau lakukan? Bukankah kau lapar?" Jay mulai menunjukan rasa perdulinya pada Kaira.
"Aku tidak bisa masak," jawab Kaira.
Kaira sangat mahir dalam memasak, tapi rasa malu membuatnya malas dan ingin segera tidur. Jay berdiri sembari membawa Kaira bersamanya dengan memegang pinggang Kaira.
"Kalau... Kalau begitu, aku tidur lagi saja," ucap Kaira terbata-bata karena menahan malu yang luar biasa di hatinya.
"Ayo!" Jay memanggul Kaira seperti sekarung beras di pundaknya.
"Aduhhhh... Turunkan aku!" Kaira meronta-ronta dan memukul punggung Jay.
"Diam, atau ku lempar ke bawah?" ucap Jay.
"Aku punya sakit lambung. Sudah tahu kalau aku lagi lapar, tapi menggendongku seperti ini. Aku jadi mual," batin Kaira dengan memasang wajah badmood.
Jay menurunkan Kaira di atas kursi setelah sampai dapur. Jay membuka kulkas, tapi tidak ada makanan apapun yang bisa di hangatkan.
"Diam saja dan tetap duduk di sana!" pinta Jay.
"Apa yang mau Pak Bos ini lakukan?" batin Kaira.
Jay mengeluarkan beberapa sayuran dan ayam fillet, juga telur dari dalam kulkas. Jay mulai memakai apron seperti seorang chef. Tangannya mulai mengiris semua bahan dengan lihai seperti seorang chef yang ahli dengan bahan makanan.
"Mau aku bantu?" Kaira menawarkan bantuan.
"Diam saja. Kau hanya perlu menyemangatiku dengan senyum manis, oke!" jawab Jay.
Jay mulai memasukan bawang putih yang sudah di geprek ke dalam teflon yang sudah panas, lalu di susul dengan bahan-bahan lainnya. Aroma masakan Jay yang begitu menggugah selera. Masakan yang Jay masak sudah siap. Jay sudah menyajikan masakannya di atas meja.
"Emmmm? Apa ini?" tanya Kaira.
"Aku tahu kau punya sakit lampung. Jam segini, jangan makan nasi. Jadi aku memasakan tumis sayuran dan daging untukmu. Apa aku sudah seperti seorang Suami super hero?" tanya Jay dengan penuh harap mendapatkan pujian dari Kaira, atau setidaknya ucapan terimakasih.
"Biasa saja!" Kaira menjawabnya begitu cuek.
"Kau ini..."
"Gimana rasanya? Enakkan?" Kaira memasukkan satu sendok sayuran ke dalam mulut Jay, sebelum ucapannya meledak dan menyebar kemana-mana.
"Masakanku memang enak!" Jay mulai menyombongkan bakatnya.
"Biasa saja!" Kaira sangat ingin mengakui kemampuan masakan Jay, tapi melihat Jay mudah menyombongkan diri, Kaira memilih menilainya dengan ucapan biasa saja.
"Apa benar-benar tidak enak?" Jay mengambil sayuran yang menempel di pinggir bibir Kaira dengan bibirnya secara langsung.
"Ha? Ap... Ap... Apa yang kau lakukan?" Kaira menjauhkan wajahnya.
"Mencium Istriku. Kau pikir, apalagi?"
***
"Pa, kenapa Jay dan Kaira begitu berisik?" tanya Nyonya Luna pada Tuan Alrecha.
"Mereka masih pengantin baru, jadi biarkan saja."
"Pa, ayo kita lihat! Sepertinya mereka berada di dapur," ajak Nyonya Luna.
"Ma, kalau kita mengganggu mereka bagaimana? Bisa gagal rencana kita ingin punya cucu," rayu Tuan Alrecha.
"Kalau Papa gak mau, biar Mama lihat sendiri," ucap Nyonya Luna dengan ekspresi wajah kesal.
"Iya! Ayo kita lihat mereka," Tuan Alrecha mengalah dan menuruti keinginan Istrinya.
"Bagaimana kalau anak itu macam-macam dan berbuat hal tidak senonoh di dapur? Pasti anak itu yang memaksa menantu luguku," batin Nyonya Luna, yang mulai geram dengan pikiran-pikiran negatif yang timbul tanpa dasar.
Kaira mendengar langkah kaki dan suara pintu yang terbuka. Jay sudah mengangkat tubuh Kaira untuk duduk di pangkuannya dengan paksa.
"Aku mau turun!" pinta Kaira dengan manja.
"Suapi aku dulu!" Jay membalas sebuah syarat dengan syarat.
"Bagaimana caranya?"
"Caranya seperti ini," Jay membalikkan tubuh Kaira untuk tetap duduk di pangkuannya tapi Kaira menghadap ke arahnya.
"Kalau posisinya begini, apa bisa?" tanya Jay.
"Masih banyak kursi yang lainny!" jawab Kaira dengan wajah memerah karena malu.
Mereka terlihat begitu intim untuk ruangan yang terbuka. Jay benar-benar lupa kalau orangtuanya menginap di rumahnya. Kaira juga tidak ingat, karena Jay terus mengganggu tanpa memberikan jeda untuknya berfikir jernih.
"APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN?" Jay dan Kaira menoleh secara bersamaan ke arah sumber suara yang begitu keras.
"HAAAAAAAA...???"
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber