Jay langsung menurunkan Kaira, setelah Tuan dan Nyonya Alrecha memergokinya tengah memaksa Kaira untuk melakukan hal yang tidak senonoh di meja makan.
Kaira tidak tahu harus bicara apa. Jay yang melihat Kaira seperti takut, menggenggam erat tangan Kaira. Ketegangan dari suasana mulai mencair, saat Nyonya Luna mengusap lembut kepala Kaira.
"Kai, kalau anak ini memaksamu lagi, tendang saja!" ucap Nyonya Luna dengan pedas.
"Anak Mama sebenarnya siapa sih? Aku atau dia?" kesal Jay.
"Kaira itu baik, nurut. Kalau kamu? Buat Mama selalu pusing," jawan Nyonya Luna.
"Kai, sini!" pinta Tuan Alrecha dengan memberikan kode sebuah lambaian tangan.
Kaira menyelinap pergi, mengikuti langkah Tuan Alrecha. Nyonya Luna dan Jay, masih melanjutkan perseteruan mereka.
"Mama, dia itu istriku!" seru Jay saat Nyonya Luna melarangnya untuk memaksa Kaira melakukan hubungan yang sangat intim.
"Kalau bukan karena Mama, kamu pasti menikah dengan siapa itu namanya?" kepikunan Nyonya Luna sudah mulai menjalar.
"Keysana, Mama!" jawab Jay.
"Pokoknya, kamu gak boleh sakiti Menantu Mama!"
"Siapa juga yang mau menyakitinya?"
"Type-type seperti kamu ini, pasti seperti itu!"
"Jangan ngarang!"
***
Tuan Alrecha membawa Kaira untuk duduk di teras rumah, menikmati waktu dan udara segar di saat menjelang subuh.
Setelah menikah, Jay langsung membele rumah yang saat ini di tempatinya sesuai dengan kriteria yang Kaira inginkan. Karena sebelum menikah, Jay melihat seluruh data Kaira tanpa terkecuali.
Waktu yang sangat singkat, membuat Rasya harus memutar kepalanya menjadi kaki, dan kaki menjadi kepala. Mencari rumah yang sesuai dengan kriteria Kaira, dan sebelum pengantin kembali, rumah sudah harus siap.
Meskipun, setelah malam pertama, Jay dinas di luar selama satu minggu. Rasya terus mengantar kemanapun Kaira akan pergi. Komunikasi di antara mereka, belum terjalin dengan baik atau bisa di katakan, sama sekali tidak ada komunikasi.
Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, menemani Kaira di rumah barunya. Hingga hari ke enam, Mertua Kaira ijin untuk pulang ke rumah mereka. Ada sesuatu yang harus mereka kerjakan.
Hari ke 7, Kaira seorang diri. Hari ke 8, Kaira bertemu lagi dengan pria yang menikahinya di dalam kantor, sebagai atasan dan karyawan rendahan.
Selama Jay tidak berada di rumah, Kaira menjalin hubungan sangat baik dengan Tuan dan Nyonya Alrecha, sehingga ketika mendengar sebuah keributan, Nyonya Luna langsung mengkhawatirkan Kaira.
Nyonya Luna menyadari, sebuah pernikahan tanpa sebuah perkenalan, apalagi sebuah cinta, bisa terjadi hal apa saja di dalamnya. Sehingga sebagai orangtua, Nyonya Luna ingin memberikan sebuah wawasan supaya anaknya tidak melakukan keputusan yang sewenang-wenang.
Nyonya Luna bersyukur, melihat Jay dan Kaira akur. Bahkan pondasi cinta d antara mereka sudah mulai terbangun.
"Apa Jay kasar padamu?" tanya Tuan Alrecha dengan ramah.
"Tidak, Pa!" jawab Kaira dengan sopan.
"Jangan sungkan. Kita adalah keluarga. Kalau ada apa-apa, laporkan saja pada Papa ataupun Mama. Coba kamu dengarkan suara Mamamu yang mengoceh tanpa jeda. Itu karena dia mengkhawatirkanmu!" ucap Tuan Alrecha.
"Benar! Mereka sangat baik, tapi... Kebahagiaan ini, apa yang aku nikmati, apa yang aku miliki, Suami, Mertua, semuanya bukan milikku tapi milik Keysana. Bagaimana kalau Keysana tiba-tiba kembali? Sedang aku sudah menikmati dan enggan lepas dari kebahagiaanku saat ini?" batin Kaira.
"Kaira..." panggil Tuan Alrecha.
"I... Iy, Pa!" jawab Kaira dengan gugup. Kaira sedang tenggelam dalam lamunan kekhawatiran.
"Ehemmmm... Jay, urus Istrimu!" ucap Nyonya Luna yang sudah muncul di belakang Tuan Alrecha.
"Mama juga, urus Papa!" balas Jay.
"Apa yang kamu lakukan?" bisik Kaira.
"Memeluk pinggang Istriku. Atau, kau mau yang lebih?" goda Jay.
"Jangan bicara sembarangan!" bisik Kaira.
"Aduhhhhh... Ma, aduhhhhhhh sakit!" teriak Tuan Alrecha ketika telinganya menjadi santapan hangat jari-jari Nyonya Luna. Nyonya Luna menjewer telinga Tuan Alrecha dan membawanya kembali masuk ke dalam kamar.
"Apa kau juga akan melakukan hal itu padaku?" Jay menunjuk pada Orangtuanya.
"Tentu saja!"
"Awwhhhhhhh..." Kaira mencubit pinggang Jay lalu berlari masuk ke dalam kamar.
Jay sedang bertelanjang dada, sehingga angin dan udara yang seharusnya terasa segar, seperti membekukan tubuhnya. Jay menyusul Kaira yang sudah masuk ke dalam selimut. Jay memeluk Kaira tanpa ada rasa canggung, sedangkan Kaira menahan diri karena debaran jantungnya seperti hendak meledak seketika.
"Apa dia akan mendengar suara detak jantungku seperti malam pertama yang kacau itu?" batin Kaira.
Jay menikmati aroma tubuh Kaira yang begitu wangi. Bibirnya sudah mengecup tengkuk Kaira. Kaira memejamkan matanya, menikmati sensasi yang baru saja di rasakannya. Bibirnya mengatup, menaha supaya tidak bersuara. Tangan Kaira mencengkram seprai yang di tidurinya.
Jay tersenyum, saat menyadari respon tubuh Kaira. Tapi Jay bukanlah pria yang tidak mementingkan moral. Jay harus bertanya terlebih dahulu sebelum melakukan apa yang ingin di lakukannya.
"Kaira, berbaliklah menghadapku!" pinta Jay dengan bisikan maut yang langsung meluluhkan Hati Kaira.
Kaira membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Jay. Tangan Jay menyentuh dagu Kaira karena Kaira hanya menundukkan kepalanya.
"Kaira, kau Istriku! Benar?"
"(Mengangguk)"
"Apa yang kau khawatirkan? Bukankah Suami dan Istri harus saling terbuka?"
"Kenapa kau menikahiku?" hal pertama yang Kaira tanyakan pada Jay adalah alasan kenapa Jay menikahi dirinya.
Kaira merasa takut dan ragu untuk membuat hidupnya nyaman setelah menikah dengan Jay, karena Keysana pasti akan kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya.
"Karena sudah jodoh!" jawab Jay.
"Aduhhh Jay, apa kau bodoh? Bukankah tadi kau akan berterus terang kalau kau menikahinya karena tertarik padanya? Kenapa yang terucap beda? Dasar bodoh!" batin Jay, memaki dirinya sendiri.
"Oh!" respon Kaira begitu singkat sehingga Jay mulai bingung untuk mengawali kembali sebuah percakapan.
"Kai..." Kaira kembali tidur membelakangi Jay.
"Ini sudah hampir pagi. Kita harus tidur," jawab Kaira.
Kaira tidak bisa memejamkan matanya, karena Jay terus bolak balik, dari miring kiri, terus miring kanan, Jay terus bergerak-gerak hingga 1 jam lamanya.
Kaira merasa tidak bisa istirahat dengan baik. Telinganya sudah di tutupi dengan bantal, tapi tetap saja tidak bisa tenang. Jay seperti sengaja bergerak untuk membuat Kaira bertanya padanya.
"Aku sudah gerak-gerak dan tidak tidur, tapi dia sama sekali tidak bertanya kenapa. Apa dia bukan seorang wanita? Bukankah biasanya wanita itu begitu peka?" batin Jay menggerutu.
Kaira memeluk Jay sembari tidur dengan sengaja supaya Jay tidak lagi gerak-gerak tidak jelas.
"Kai..."
"Hsssstttttttt... Tidurlah! Apa kalau aku memelukmu seperti ini, kau bisa tidur?"
"Ada yang bangun!" ucap Jay. Kaira diam, tidak memberikan respon sama sekali. Matanya tetap terpenjam.
"Aku tahu kalau kau cuma pura-pura," batin Jay.
"Istriku, aku ingin melakukannya sekarang!"
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber