Aira mengerjap dua kali, mendapatkan kembali kesadarannya setelah tidur lelap selama delapan jam. Sesekali mulutnya menguap, merasa kantuk masih mendera. Tubuhnya butuh istirahat lebih lama, belum sepenuhnya sehat seperti sedia kala, tapi logikanya berkata cukup."Jam berapa ini?" tukas Aira lirih, meraih jam di samping kiri tubuhnya."Jam empat? Masih terlalu pagi untuk bangun."Detik berikutnya Aira kembali ke posisinya, memejamkan mata dan memeluk bantal hangat yang entah sejak kapan terasa begitu nyaman.Namun, hati kecilnya merasakan ada sesuatu yang lain. Situasi janggal yang tidak seharusnya."Bantal guling ini terasa aneh sekali? Kenapa bentuknya tidak bulat? Aroma pengharum yang melekat di kain pembungkusnya juga berbeda? Bukankah aku ada di kamarku sendiri, tapi rasanya asing sekali." Aira bergumam lirih, meraba bantal berbentuk manusia yang menjadi sandaran kepalanya. Keningnya kembali berkerut, masih dengan mata yang terpejam.Belum habis pertanyaan di dalam kepala terucap
Aira keluar dari kamar mandi sambil mengendap-endap, meminimalkan suara yang ditimbulkan dari langkah kakinya. Dengan hati-hati, Aira menghidupkan lampu yang ada dan mengamati wajah Ken. Tampak pria itu masih terlelap di posisinya, tak berubah sama sekali sejak dia tinggalkan."Semoga saja dia tidak bangun," ucap Aira sambil mendorong kursi roda Ken menjauh. Menempatkannya di samping pintu, terpisah empat meter dari ranjang. Jarak yang bisa Aira gunakan untuk menguji kemampuan suaminya. Dia tidak bisa percaya ucapan Kosuke sebelum melihat bukti dengan mata kepalanya sendiri."Aku akan setia menunggu." Aira keluar dari kamarnya dan stand by di depan pintu, menyisakan ruang kecil yang digunakan untuk mengintai. Sesekali atensinya berkeliling, memeriksa adakah penghuni lain rumahnya yang terjaga. Suasana hening menandakan kalau ayah, ibu, dan Sakura kemungkinan besar masih terlelap di tempatnya masing-masing.Tanpa Aira ketahui, Ken membuka matanya perlahan. Pria itu mengintai tingkah ist
“Pergi!” Untuk ke sekian kali Ken mengusir Aira. Namun, wanita itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dia justru memeluk Ken sekuat tenaga, seperti seorang ibu yang berusaha melindungi putranya.“Maaf, tapi aku tidak akan pergi.”Ken berhenti meronta, mulai mendengarkan detak jantung Aira dengan telinga kanan yang menempel ke dada wanita itu. Aira bersimpuh menggunakan lutut, sedang Ken duduk di lantai karena gagal berdiri untuk ke sekian kali.“Aku mengaku salah. Aku benar-benar minta maaf, Yamazaki-san.” Suara Aira kembali terdengar, bahkan kali ini agak sedikit bergetar. Rasa bersalahnya semakin menjadi, tidak bisa disembunyikan lagi.“Aku tidak bisa memercayaimu, berpikir kalau mungkin saja kamu membohongiku.”Demi memuluskan drama yang dimainkannya, Ken mendorong tubuh Aira dan berbalik badan setelahnya.“Pergi. Tinggalkan aku sendiri,” pintanya lirih, tak lagi dikuasai emosi seperti sebelumnya. “Aku tidak butuh belas kasihan darimu!” tegasnya sambil mengepalkan tangan.A
Aira terdiam di posisinya, menatap ponsel yang sudah redup layarnya. Ingatannya kembali pada setiap penjelasan yang disampaikan oleh Kosuke yang memberikan alasan logis kenapa Ken bisa berubah demikian.“Meskipun selama ini Tuan Muda terlihat seolah begitu berkuasa, tetap saja Tuan Besar masih berdiri menjadi bayang-bayang di belakangnya. Beliau tidak akan tinggal diam jika keadaan perusahaan belum stabil. Bahkan jika ada investor nakal, beliau juga akan turun tangan meskipun Tuan Muda tidak meminta bantuan.”Aira meneguk ludahnya dengan paksa, membasahi kerongkongannya yang terasa kering seketika. Dia pikir Ken memiliki otoritas sendiri atas perusahaan yang dia pimpin. Ternyata, hidupnya saja masih diatur oleh kakek Subaru. Ini fakta mengejutkan yang baru diketahui olehnya.“Sepuluh tahun lalu, hubungan nona Erina dan Tuan Muda baik-baik saja. Sama seperti muda mudi lain yang kasmaran. Namun, saat kondisi fisik Tuan Muda jadi seperti itu, nona Erina mulai menjauh. Sebenarnya, itu ju
Aira bergegas keluar dari kamarnya sambil menutup mulut. Wanita itu berlari begitu saja, menghindari Ken yang hampir melewati batasannya.“Mana boleh seperti ini!” Aira menggeleng tegas, mengenyahkan bayangan saat Ken mulai menekuri lehernya. “Aku tidak boleh mengkhianati Hiro,” lanjutnya sambil memegangi perut, merasa bersalah pada pria yang telah menanam benih di dalam rahimnya. Satu tangan yang lain mencengekeram liontin kalung yang tertaut di leher.“Maafkan aku, Hiro-kun,” ucapnya lirih sambil bersandar pada kepala ranjang.Di saat yang sama, Hiro tidur terlentang di atas ranjang dengan selimut berantakan di belakang tubuhnya. Pria itu tekekeh tanpa suara, menyembunyikan tawa bahagia yang seolah ingin meledak.“Menggemaskan sekali,” ujarnya sambil mengingat wajah Aira yang memerah saat diberikan rangsangan di titik sensitif tubuhnya. Jelas sekali wanita itu menikmati permainan mereka. Sayang sekali, logikanya kembali saat Ken memanggil wanita itu dengan sebutan Ai-chan dan mening
"Selamat datang, Nona."Tampak Kosuke tergesa, menyambut Aira yang kini sampai di depan pintu. Ekor matanya menangkap sosok Erina yang baru keluar dari dalam lift, berjarak beberapa meter darinya.Wajah Kosuke menegang, kehabisan kata untuk menghadapi dua wanita di poros yang berbeda itu. Tentu saja dia lebih condong di pihak Aira. Selain karena dia wanita pendamping tuannya yang resmi, juga karena sifat dan tabiat wanita ini yang jauh lebih baik dibanding nona Sawaguchi."Nona, Anda ....""Aku sudah tahu siapa dia." Aira lebih dulu bersuara, berbisik seperti yang Kosuke lakukan barusan. Dia bisa menangkap pertanyaan yang akan diucapkan oleh asisten suaminya."Apa dia tidak tahu tentang pernikahan kami?" To the point Aira bertanya. Tidak ada kesempatan untuk berbasa-basi. Waktu mereka terbatas sebelum Erina sampai di dekat mereka. Lima detik yang sangat berharga."Tidak tahu, Nona. Dia baru kembali beberapa hari yang lalu. Tuan Besar juga menyembunyikan identitas Anda.""Syukurlah. Ja
"Kamu yakin dia suka pakaian seperti ini?" Erina mengerutkan kening, merasa sangsi dengan saran yang diberikan Aira. Selama ini, dia tahu kalau Ken jijik dengan gadis yang memakai pakaian warna-warna mencolok dengan riasan wajah yang tebal. Namun, Aira justru memberikan saran tidak masuk akal."Benar. Kalau Nona tidak percaya, tanyakan saja pada Kosuke. Dia yang lihat sendiri pakaian seperti apa yang dikenakan dan make up tebal nyonya muda Yamazaki." "Jangan mengada-ada. Kenapa aku pikir kamu seperti sengaja menyesatkanku?"Aira segera menggeleng tegas, menyilangkan tangan di depan dada. "Mana mungkin saya berani!"Atensi Aira beralih pada Kosuke."Kosuke, aku tidak berbohong, kan? Kamu memang lihat penampilan istri Ken waktu itu? Lipstiknya merah merona seperti darah." Aira berapi-api membicarakan dirinya sendiri, melirik asisten pribadi suaminya yang seketika membola matanya."Kamu memanggil Ken dan Kosuke dengan nama mereka? Kalian sedekat itu?" Erina gagal fokus, mengerutkan kenin
"Kenapa aku harus menjawab?" tanya Kaori, menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Erina. "Kamu bukan pasienku. Dan lagi, pertanyaanmu tidak tergolong konsultasi kesehatan. Buang-buang waktu saja. Keluar sana."Kaori menunjuk pintu keluar, meminta gadis dengan parfum menyengat ini untuk menghilang dari pandangannya. Namun bukan Erina namanya kalau tidak keras kepala."Aku juga membayarmu, sama seperti pasien yang lain. Kamu harus menjawab pertanyaanku.""Gila!" Kaori melepas kacamata dan meletakkannya di meja. "Aku bukan konsultan cinta. Bagaimana mungkin aku bisa memberikan saran untukmu? Kalau Ken menolak kehadiranmu, ya sudah biarkan saja. Jangan mengganggunya. Dia sudah bahagia dengan istrinya!""Tidak mungkin!" Erina masih tidak percaya. "Kami sudah berjanji akan menikah. Dia tidak mungkin mencari wanita lain.""Kenapa tidak mungkin? Dia bisa mendapatkan wanitanya mana pun yang dia inginkan. Dan asal ku tahu saja, istri Ken berbeda jauh denganmu. Sebaiknya kamu tidak perlu mencar