"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
"Tetap di sana. Jangan mendekat!" pekik seorang wanita yang kini memegangi gaun pengantinnya erat-erat. Dia berdiri di sudut ruangan, menjauh dari pria yang duduk di atas ranjang."Kenapa? Kamu takut padaku?" Mata tajam Ken memaku pandang ke arah istrinya. Satu sudut bibirnya naik ke atas, merasa tidak asing dengan penolakan yang wanita ini lakukan. Hampir semua wanita yang dijodohkan dengannya melakukan hal yang sama, yakni menolak kehadirannya."Ti-tidak! Bukan begitu. Aku hanya ... " Aira menggeleng tegas, kesulitan mencari kalimat penjelasan kepada suaminya, pria yang ia nikahi beberapa saat lalu."Baguslah. Kalau begitu, kemari dan gantikan pakaianku." Ken mulai melepas tuxedo di tubuhnya.Hal itu membuat tubuh Aira menengang seketika. Ini pertama kalinya dia terlibat dengan seorang pria dan langsung diminta menggantikan pakaiannya."A-aku belum terbiasa. Aku akan minta pelayan membantumu berganti pakai--""Tidak ada pelayan. Mereka sem
WARNING!MATURE CONTENT!NOT FOR CHILD!* * *Tak ingin kehilangan momen berharga, Ken mulai menggunakan jemarinya. Dia merangsang titik sensitif di tubuh istrinya, menggunakan tangannya yang dingin untuk meraba leher mulus Aira. Tangan yang lain memenjara lengan istrinya di atas kepala."Jangan. Aku mohon jangan lakukan itu. Kamu tidak boleh menyentuhku!" Bulir hangat keluar dari ujung mata Aira. Dia merasa tidak nyaman karena Ken mulai menjelajahi tubuhnya."Kenapa tidak boleh? Bukankah ini malam pertama kita?" Ken mulai menurunkan lengan gaun Aira. Bahu putih mulusnya terekspose, membuat Ken tergoda."Tidak. Aku tidak pernah ingin menjadi istrimu!" Aira menggeleng tegas, meminta Ken menghentikan apapun yang tengah dilakukannya."Kita sudah menikah. Kamu istriku dan aku suamimu. Kamu tidak ingin pun tetap harus melakukannya. Kamu istriku!" Tangan kekar Ken mencengkeram dagu Aira, meminta wanita itu memandang ke arahnya.
"Nona, apa yang terjadi? Anda baik-baik saja?"Aira tak merespon, memperhatikan wajah tampan bak malaikat yang tengah menatap matanya. Ada kesan misterius yang tak bisa disangkalnya."Astaga. Kaki Anda terluka."Aira mengikuti arah pandang pria asing yang baru ditemuinya.Telapak kakinya berdarah, akibat berlari tanpa alas kaki. Entah berapa kilometer yang telah ditempuhnya. Satu yang pasti, dia ingin lari sejauh mungkin dari vila terkutuk milik suaminya."Nona, izinkan saya menolong Anda." Pria dengan manik mata hijau menyentuh kening Aira, berusaha memeriksa suhu tubuhnya."Haus," lirih Aira. Tenggorokannya terasa perih, ingin segera dialiri air. Ia terlalu fokus berlari, tidak menyadari bahwa tubuhnya semakinin kehilngan cairan dan harus diisi."Tunggu sebentar." Tangan pria itu sigap membukakan botol air mineral yang diambilnya dari dalam mobil. Tak lupa, dia juga melepas jas yang melekat di tubuh dan memakaikannya pada Aira."Suda
"Apa yang kamu lakukan padaku?" Aira beranjak dari ranjang, berdiri sambil memegangi selimut di tubuhnya erat-erat. Wajahnya terasa memanas dengan air mata yang siap tumpah. Pangkal pahanya terasa sakit, tapi dia tidak mempedulikannya. "Maaf," jawabnya lirih. "Anda yang meminta saya menyentuh Anda." "Bullshit! Itu tidak mungkin!" Aira tidak percaya dengan jawaban pria di hadapannya. Samar-samar dia mengingat pergulatan panas mereka, tapi pikirnya tidak mungkin ia yang meminta lebih dulu. "Jika Anda tidak percaya, Anda bisa melihat ini." Pria shirtless itu mendekat ke arah monitor layar datar dan menyalakannya. Hanya dalam hitungan detik, rekaman kamera pengawas di pojok ruangan sudah menampilakn sosok Aira yang tengah menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Seketika wajah bulat Aira merah merona. Dia tidak tahu kenapa dia bisa bertingkah liar seperti itu. Jangankan menggoda pria dan menariknya ke atas ranjang, dekat dengan pria saja tidak pernah.
Matahari hampir tepat di tengah kepala saat Hirota masuk ke dalam kantor Yamazaki di lantai 32. Dia terus menggamit lengan putrinya, memberikan dorongan agar gadis ini tidak perlu takut lagi pada suaminya."Sayang, semua akan baik-baik saja. Dia tidak seburuk yang orang-orang katakan di luar sana.""Kata siapa? kenapa ayah begitu yakin?" Aira masih tetap meragu. Sifat manjanya muncul jika bersama ayah angkat yang sangat disayanginya itu."Karena ayah seorang pria. Dan Ken juga pria. Kami sama. Bukankah kamu melihat ibumu tersenyum setiap hari. Itu juga yang harus kamu lakukan di depan suamimu."Aira menggeleng tegas. "Aku tidak bisa. Ayah dan Ken jelas dua sosok yang berbeda. Ayah lembut dan penyayang. Sedangkan pria itu?" gumaman Aira masih bisa terdengar oleh Hirota.Angka di atas lift terus bertambah, menandakan mereka akan segera sampai di tempat tujuan. Hal itu membuat Aira semakin erat memeluk lengan ayahnya. Dia benar-benar takut bertemu Ken