Aira masih menunggu kedatangan Kosuke dan dokter yang dihubungi oleh bibi Tsu. Ini pertama kalinya dia melihat Ken sakit. Biasanya, pria itu tampak tegar tak terkalahkan. Namun, hari ini begitu lemah."Piyamanya basah, Bi. Keringatnya banyak sekali." Aira memerhatikan tubuh Ken yang masih menggigil. Demamnya bertambah tinggi, 39 derajat Celcius."Lebih baik ganti pakaiannya dulu, Nona. Takutnya Tuan akan semakin tidak nyaman dengan keadaannya yang sekarang." Bibi Tsu bergegas menuju lemari pakaian, mencari piyama lain untuk Tuannya.Tanpa pikir panjang, Aira mulai melepaskan satu persatu biji kancing pakaian suaminya. Dia tidak berniat apa pun, hanya ingin membuat Ken sedikit lebih baik. Kompres di dahinya jatuh, segera Aira singkirkan dan diganti dengan yang baru.Abaikan jika nanti Ken marah. Sekarang bukan saat yang tepat untuk merasa canggung karena melucuti pakaian pria itu.Namun, gerakan tangan Aira terhenti seketika. Bekas luka bakar merah kehitaman di dada Ken sedikit mengelu
Aira menyiapkan bubur nasi untuk Ken dan meminta bibi Tsu untuk istirahat. Dia merasa bersalah karena tidak memperhatikan keadaan suaminya. Bukankah sudah menjadi tugas seorang istri untuk memastikan sang suami dalam keadaan baik?Namun, demi menuruti ego dan kemarahan yang menjalar di hatinya, dia memilih bersembunyi. Enggan bertemu dengan Ken. Nyatanya, pria itu justru menyalurkan kemarahannya dengan mengabaikan dirinya sendiri."Sayang, apa yang harus ibu lakukan?" Satu tangan Aira mengaduk bubur dalam panci, sedang tangannya yang lain mengelus perut yang masih rata.Rasanya dia tidak sampai hati menuruti permintaan Ken. Bagaimana mungkin anak Hiro diakui sebagai putranya? Mewarisi harta keluarga Yamazaki padahal tidak ada hubungan darah sama sekali.Bagaimana kalau suatu hari nanti Hiro muncul dan membuat kekacauan? Nama baik keluarga Yamazaki akan dipertaruhkan."Bodoh!" Aira meremas gaun tidurnya. Sepintas ingatan untuk melenyapkan calon buah hatinya kembali terlintas, tapi sege
WARNING 18+HANYA BOLEH DILAKUKAN OLEH PASANGAN SUAMI ISTRI!***"Pelan-pelan," pinta Aira sambil menyuapkan bubur nasi. Pria itu tak banyak bicara seperti sebelumnya, menurut saja saat diminta membuka mulut.Ken mencuri pandang ke arah Aira, mengamati wajah cantiknya yang memesona. Pipi chubby yang menggemaskan, berpadu dengan hidung minimalis. Matanya yang sipit seperti orang Jepang kebanyakan, tapi tetap berhasil membuatnya jatuh cinta. Jangan lupakan bibirnya yang tipis. Ah, Ken sungguh merindunya. Bagaimana ini?"Sudah habis. Mau aku ambilkan lagi?" tanya Aira begitu suapan terakhir menghilang dari mulut suaminya. "Masih ada banyak di dapur.""Ambil semangkuk lagi."Eh?Meskipun merasa sedikit heran, Aira menurutinya. Dia kembali beberapa menit setelahnya. Lagi-lagi menempatkan diri di tepi ranjang, di dekat paha Ken yang duduk bersandar di kepala ranjang.Tangan Aira kembali tergerak, bersiap menyuapi Ken seperti sebelumnya."Siapa yang mengatakan kalau makanan itu untukku?""Ha
"Hati-hati di jalan, Tuan, Nona." Bibi Tsu meremas tangannya sembari mengucapkan salam perpisahan dengan pasangan suami istri yang kini duduk di bagian belakang mobil mereka."Terima kasih, Bi. Jaga diri baik-baik." Suara Aira terdengar serak, kembali menundukkan kepala seperti sebelumnya. Sejak terbangun dan mengingat apa yang terjadi semalam, Aira tidak berani beradu muka dengan Ken. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya.Mobil mewah warna hitam itu mulai meninggalkan pelataran rumah. Ken duduk diam di sebelah kanan, Aira di sampingnya. Tidak ada yang bersuara sampai kendaraan roda empat ini membelah jalanan pusat kota.Ken menikmati perjalanan kali ini, merasa semakin dekat dengan tujuan awalnya untuk menikahi Aira. Mendapatkan seorang putra. Sebaliknya, jemari wanita itu semakin erat bertautan. Bayangan Ken dan Hiro datang silih berganti, mengambil alih akal sehatnya. Sepagi ini tiba-tiba dipaksa pergi ke kediaman Kakek Yamazaki, pastilah ada masalah serius yang tidak bisa di
Aira menundukkan badannya, membentuk sudut 90 derajat di depan sembilan orang yang duduk rapi di atas tatami. Zabuton, sebuah bantal persegi menjadi alas duduk masing-masing orang. Meja kecil berkaki pendek teronggok di depan mereka."Salam, Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Kakek, dan semuanya." Ken membuka suara, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Dia harus mempelajari situasi kali ini agar tidak salah langkah. Kakek Subaru ada di tengah. Ayah, Ibu, Paman, dan Bibi Ken ada di sebelah kanan. Kubu keluarga muda, sedangkan keluarga tua ada di sebelah kiri. Keempatnya lelaki, dengan kimono hitam dan katana di tangan. Baru diletakkan setelah Ken mengucapkan salam. Meskipun usianya masih muda, tapi mereka menghormati Ken dan cukup sungkan padanya. Sifat Ken sama persis seperti kakek Subaru. Salah langkah, nyawa taruhannya."Maaf membuat kalian menunggu. Aku membawa istriku kembali. Bukankah ini yang kalian inginkan?" Dengan suara datar, Ken melemparkan tatapan tajam.Aira meremas jemarin
"Ai-chan," panggil Ken sembari menyentuh punggung tangan istrinya yang tampak melamun."Are you okay?" lanjutnya. Dia khawatir melihat wajah Aira yang terus tegang sejak meninggalkan ruang pertemuan dengan para tetua. Pastilah dia tertekan karena tuduhan, juga tuntutan dari mereka."Yamazaki-san, aku ....""Hmm?" Ken menaikkan dagunya, tidak suka dengan panggilan yang Aira ucapkan barusan.Aira menarik diri dari hadapan Ken, membuang muka dan menatap pohon maple yang semakin meranggas daunnya. Separuhnya sudah luruh ke tanah, menandakan musim dingin akan segera datang.Cahaya lampion kuning keemasan menambah keindahan di taman belakang kediaman utama keluarga Yamazaki."Aku takut mereka tahu yang sebenarnya.""Kau lupa perintahku kemarin?" Ken menarik tubuh Aira, memaksanya saling berhadapan. "Berhenti berpikir hal yang membuatmu sakit kepala.""Bagaimana kalau ....""Sstt!" Ken menempatkan jari telunjuknya di depan mulut Aira, meminta wanita itu tidak meneruskan kata apa pun yang aka
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Ken mengangkat wajahnya dari tumpukan dokumen, balik menatap Aira yang sedari tadi terus memaku pandangan ke arahnya. "Apa wajahku begitu tampan sampai membuatmu tak bisa berpaling?"Ken terkekeh mendengar celotehnya sendiri. Dia merasa geli. Aneh rasanya memuji wajahnya yang buruk rupa.Aira tak lantas menjawab, mengembuskan napas berat dari mulutnya."Ada masalah?" Ken tidak bisa tinggal diam, menutup berkas dan memerhatikan Aira sepenuhnya."Sejak dokter membacakan hasilnya, kau tampak tidak puas. Kau curiga aku memalsukan hasilnya?""Kamu bisa melakukan apa saja. Bukan hal yang mustahil jika ....""Aku tidak melakukannya."Aira menahan napas, menunggu penjelasan lain yang lebih masuk akal. Berbagai prasangka seketika memenuhi kepala. Tentang Ken dan Hiro, juga rahasia yang menghubungkan keduanya."Sudah aku katakan, dia putraku. Seharusnya kau percaya. Tidak perlu memikirkan hal lainnya.""Tidak semudah itu. Bagaimanapun juga ....""Aku menipum
"Nona, saya mohon keluarlah. Jika tidak, Tuan Muda akan memenggal kepala saya."Kosuke terpaksa berbohong, membuat Ken membulatkan mata. Dia jelas tidak ada ide sama sekali untuk mengancam Kosuke. Keadaan Aira-lah yang menjadi fokus utamanya saat ini.Dari belakang, muncul Kaori dengan napas terengah-engah. Meskipun dia mengatakan tidak peduli pada Ken, tapi dia ikut mengkhawatirkan Aira juga. Bagaimanapun, kesehatan pasien menjadi tanggung jawabnya."Pergi dari sini," pinta Kaori sambil mengeratkan gigi-giginya. Dia memandang Ken dengan tatapan kesal juga marah."Kaori-chan, aku ....""Pergi atau Aira tidak akan keluar dari sana?! Gunakan akal sehatmu. Dia bisa kedinginan. Kamu mau anak dan istrimu dalam bahaya?" Kaori sampai menaikkan nada bicaranya, mengusir Ken dengan paksa."Kosuke, bawa dia pergi. Sekarang!" Mulai frustrasi, Kaori berteriak sambil menghentakkan kakinya.Mau tak mau Kosuke menyingkir sambil membimbing Ken dari sana. Tentu saja pria itu harus pura-pura duduk di ku