Share

Bab 5 - Bukan Anak Tunangan

“Rindu, kamu kenapa?” tanya Edi begitu melihat istrinya terbaring di sofa ruang tamu. Ia terpaksa pulang ke rumah setelah mengetahui kalau istrinya jatuh pingsan di rumahnya.

Rindu hanya mengerdip sekilas. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu.

“Bundamu kenapa, Yu?” tanya Edi.

Ayu hanya menutup wajahnya sambil sesenggukkan.

“Kita ke rumah sakit, sekarang!” ajak Edi sambil mengangkat kepala Rindu.

Rindu menggelengkan kepala perlahan. “Nggak usah! Aku cuma perlu istirahat sebentar aja.”

“Kamu ini kenapa? Ada pikiran yang mengganggumu?” tanya Edi. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu pembantu dan supir di rumahnya. “Ibu kenapa?”

Dua orang pekerja di rumah keluarga itu tidak berani menjawab pertanyaan dari tuan rumahnya itu. Mereka hanya melirik ke arah Roro Ayu yang terduduk di lantai, tepat di bawah kaki ibunya.

“Mas, tolong telepon si Sonny!” pinta Rindu lirih.

Edi mengangguk. Ia segera merogoh ponsel di saku jasnya dan mencari nomor telepon Sonny yang ada di ponselnya.

“Ayah, jangan! Jangan telepon Sonny!” pinta Ayu sambil meraih tangan ayahnya. Mencegahnya untuk menelepon Sonny. “Jangan, Yah! Aku mohon ...!”

“Sonny itu tunanganmu. Dia harus tahu, Ay!” sahut Rindu sambil berusaha mengumpulkan kekuatannya kembali.

“Ini ada apa?” tanya Edi kebingungan.

“Katakan pada ayahmu, Ayu!” pinta Rindu lirih.

Edi langsung menatap tajam ke arah puterinya yang tiba-tiba terisak begitu saja.

“Ada apa, Ay?” tanya Edi.

“Hiks ... hiks ... hiks ...” Ayu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa mengatakan apa pun di depan ayah yang begitu menyayangi dan mencintainya. Selalu mendidiknya menjadi wanita yang baik dan begitu melindunginya.

“Ayu, katakan! Apa yang sudah kamu perbuat sampai bikin bundamu seperti ini?” tanya Edi meninggikan nada suaranya.

Ayu terisak mendengar suara ayahnya yang semakin meninggi.

“Cepat katakan, ini ada apa!?” seru Edi semakin tak sabar.

“Ayu hamil, Yah,” jawab Ayu lirih. Nyaris tak terdengar oleh suara orang-orang yang ada di sana.

“Apa!?” Edi menatap wajah Ayu yang masih terisak di bawahnya.

“Ayu hamil,” jawab Ayu sambil sesenggukan.

DEG!

Edi terpaku di tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa sangat sakit. Ia merasa, mendapat pukulan begitu besar dari puterinya sendiri.

Edi langsung menatap layar ponselnya dan segera menyambungkan   ke nomor telepon Sonny.

“Ayah, tolong jangan bilang ke Sonny!” pinta Ayu.

“Dia harus bertanggung jawab!” sahut Edi penuh amarah dan segera melangkah pergi, menjauh dari puterinya agar ia bisa bicara pada Sonny dengan leluasa.

“Halo ...!” sapa Sonny begitu panggilan telepon dari Edi tersambung.

“Kamu bisa pulang ke Surabaya?” tanya Edi pelan.

“Masih banyak pekerjaan, Pa. Minggu depan baru bisa pulang ke Surabaya. Ada apa?” tanya Sonny.

“Papa mau, pernikahan kalian dipercepat. Minggu ini!” pinta Edi.

“Bukankah kita sudah sepakat untuk menikah dua tahun lagi? Aku masih belum menyelesaikan praktik dokter pertamaku, Pa. Masih harus ...”

“Nikah siri pun tidak apa-apa kalau memang status pernikahan akan menghalangi karirmu!” pinta Edi. Ia mencoba untuk tetap tenang meski dalam hatinya berkecamuk.

“Kenapa harus terburu-buru, Pa? Saya ...”

“Gimana nggak keburu-buru kalau kalian berdua saja sudah tidak bisa menahan diri?” sambar Edi.

“Maksud Papa?”

“Ayu hamil. Percepat pernikahan kalian! Papa tunggu kamu dua hari lagi. Papa akan siapkan semuanya di sini. Nggak bisa ditunda, Son. Perut Ayu lama-lama akan membesar," jawab Edi.

“Ha-hamil!?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status