“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu .
Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu .
DEG!
Jantung Ayu berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya.
Ayu kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut.
“Ay, kamu kenapa?” tanya Tante Nia sambil menatap Ayu yang melangkah perlahan sambil menitikan air mata. “Nanda menyinggung kamu?”
“Eh!?” Ayu buru-buru mengusap air matanya. “Nggak papa, Tante. Ayu pamit pulang dulu!” Ia langsung berlari keluar dari dalam rumah tersebut dan masuk ke mobilnya.
Ayu menggenggam setir dan menjatuhkan kepalanya, kemudian terisak kembali karena Nanda tidak mau mengakui jika bayi yang ada di dalam perutnya adalah darah dagingnya. “Aku harus gimana?”
“Ayu , kamu kuat! Kamu kuat! Kalau Nanda nggak mau bertanggung jawab, nggak papa. Kamu punya pekerjaan, kamu nggak akan kesulitan menghidupi anakmu,” tutur Ayu mencoba menyemangati dirinya sendiri.
“Tapi gimana dengan keluargaku? Gimana kalau bunda dan ayah tahu kalau aku hamil? Aku harus gimana menghadapinya? Aku nggak mungkin bisa menyembunyikan kehamilanku ini terus-menerus,” gumam Ayu . Haruskah ia menggugurkan kandungannya sendiri?
Ayu menarik napas dalam-dalam dan menjalankan mobilnya perlahan tanpa arah hingga larut malam. Ia benar-benar menyesal telah pergi ke pesta ulang tahun Nanda malam itu. Jika waktu bisa diputar, ia ingin berdiam diri di rumah. Menghabiskan waktu untuk bercerita bersama Sonny meski hanya lewat panggilan video.
***
Satu minggu setelahnya ...
“Roro, bunda pinjam pemotong kuku kamu. Bunda lupa taruh punya bunda di mana.” Bunda Rindu masuk ke dalam kamar Ayu.
“Ambil aja di laci nakas!” sahut Ayu yang sedang bercermin sambil menyisir rambutnya.
Bunda Rindu langsung melangkah menghampiri meja nakas dan menarik laci tersebut. Ia mencari pemotong kuku di dalamnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada pregnancy test strips bergaris dua merah di sana. Ia meraih benda kecil itu dengan tangan gemetar.
Ayu melebarkan kelopak matanya saat ia teringat kalau ia juga meletakkan testpack ke dalam laci nakas. Ia buru-buru memutar tubuhnya dan berlari menuju ke sana untuk mencegah bundanya mendapatkan benda paling keramat yang ada di kamarnya saat ini.
DEG!
Terlambat. Bunda Rindu sudah memegang testpack itu di tangannya dengan tangan gemetar seperti terserang tremor.
“Bunda, aku ...”
“Kamu hamil?” tanya Bunda Rindu lirih.
“Bunda, aku bisa jelasin semuanya. Aku ...”
“KAMU HAMIL!?” Nada suara Bunda Rindu meninggi karena Ayu berusaha untuk berdalih dan tidak menjawab pertanyaannya.
Ayu terdiam dan menundukkan kepala. Ia meremas jemari tangannya sambil mengangguk kecil.
“Anak siapa? Sonny?” tanya Bunda Rindu.
Ayu tidak menjawab pertanyaan bundanya.
“Jawab, Ro! Kenapa kamu menyembunyikan kehamilan kamu? Kamu dan Sonny sudah bertunangan. Bukannya kalian sendiri yang sepakat untuk tidak menikah sebelum Sonny menyelesaikan koasnya?”
Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Ia tidak sanggup mengungkapkan kebenaran di hadapan orang tuanya sendiri.
“Sonny tahu soal ini?”
Ayu menggeleng.
“Biar bunda yang ngomong langsung sama Sonny. Kalian harus menikah secepatnya!” tutur Bunda Rindu sambil melangkah keluar dari kamar Roro Ayu .
Ayu buru-buru mengejar langkah bundanya. Ia tidak ingin kalau bundanya meminta pertanggungjawaban pada Sonny dan membuat pria itu membencinya. “Bunda, tunggu ...!”
“Bunda, bunda ...! Dengerin Roro dulu! Ini bukan anaknya Sonny.”
“APA!?” Bunda Rindu menghentikan langkahnya. Tubuhnya seakan tersambar petir ribuan volt saat mendengar kalau bayi yang dikandung oleh Roro Ayu bukanlah anak dari tunangannya. Ia selalu berusaha menjadi orang tua yang baik untuk puterinya. Ia benar-benar merasa gagal saat mengetahui kalau puteri kebanggaannya telah melakukan perbuatan yang begitu hina. Sudah bertunangan, tapi malah hamil dengan pria lain.
“BUNDA ...!” seru Ayu saat tubuh Bunda Rindu tiba-tiba merosot ke lantai. Ia langsung menangkap tubuh bundanya sambil menangis. “Maafin Ay, Bunda ...!” bisiknya lirih sambil menitikan air mata.
“Tell me ...! Siapa ayah dari anak ini?” tanya Bunda Rindu di sisa-sisa tenaganya yang nyaris sirna karena pukulan yang begitu besar dari puteri semata wayangnya.
Ayu terisak sambil memeluk tubuh bundanya. Ia tidak sanggup mengatakan siapa ayah dari bayi yang sedang ia kandung saat ini karena Nanda pun sudah menolak kehadirannya. “Aku nggak tahu, Bunda ...!” lirihnya penuh luka.
“Rindu, kamu kenapa?” tanya Edi begitu melihat istrinya terbaring di sofa ruang tamu. Ia terpaksa pulang ke rumah setelah mengetahui kalau istrinya jatuh pingsan di rumahnya. Rindu hanya mengerdip sekilas. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu. “Bundamu kenapa, Yu?” tanya Edi. Ayu hanya menutup wajahnya sambil sesenggukkan. “Kita ke rumah sakit, sekarang!” ajak Edi sambil mengangkat kepala Rindu. Rindu menggelengkan kepala perlahan. “Nggak usah! Aku cuma perlu istirahat sebentar aja.” “Kamu ini kenapa? Ada pikiran yang mengganggumu?” tanya Edi. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu pembantu dan supir di rumahnya. “Ibu kenapa?” Dua orang pekerja di rumah keluarga itu tidak berani menjawab pertanyaan dari tuan rumahnya itu. Mereka hanya melirik ke arah Roro Ayu yang terduduk di lantai, tepat di bawah kaki ibunya. “Mas, tolong telepon si Sonny!” pinta Rindu lirih. Edi mengangguk.
“Iya. Apa kamu sebagai tunangannya Ayu, tidak mau bertanggung jawab?” tanya Edi. Hening. “Sonny Pratama ...! Apa kamu dengar Papa?” “Eh!? Dengar, Pa. Aku akan pulang ke Surabaya sore ini.” “Baguslah.” Edi langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia segera masuk kembali ke ruang tamu untuk menghampiri Rindu dan puterinya. “Sonny akan segera pulang sore ini juga. Begitu dia sampai, langsung menikah saja! Papa akan persiapkan semuanya!” tutur Edi sambil menatap wajah Ayu. Ayu masih terisak di tempatnya. Ia semakin merasa bersalah karena anak yang ia kandung bukanlah anak dari Sonny. Akankan Sonny menerima anak ini begitu saja? Ia sudah menghancurkan kesucian cinta yang selama ini mereka jaga. Ia tidak punya muka untuk bertemu dengan tunangannya itu. “Pa, aku tidak mau menikah dengan Sonny,” tutur Ayu lirih. Edi yang sedang menghubungi beberapa orang untuk membantu menikahkan puterinya, langsung memutar
“Andre ...! Mana anakmu yang bajingan itu!” seru Edi sambil menerobos masuk ke dalam rumah Andre, ayah kandung Nanda sekaligus kolega bisnisnya. Di belakangnya, juga ada beberapa pria berpakaian preman. “Mas Edi? Ada apa?” Andre langsung menghampiri Edi yang meneriaki dirinya dengan wajah penuh amarah. “Ada apa, Mas Edi? Kenapa ke sini bawa preman seperti ini?” tanya Nia lembut. “Mana anak kalian!?” seru Edi tak sabar. “Nanda lagi keluar, Mas. Duduk dulu!” pinta Nia dengan tubuh gemetaran. Ia terus mencengkeram lengan suaminya saat melihat Edi begitu emosi. Di saat bersamaan, Nanda melangkah santai memasuki rumahnya sembari memainkan kunci mobil di tangannya. “Itu Nanda, Mas,” bisik Nia sambil menatap tubuh puteranya. Edi memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah Nanda. Beberapa orang preman yang ia bawa, langsung menyambar tubuh Nanda. “Ada apa ini?” seru Nanda, ia berusaha memberontak. Namun, kekuatannya tak ma
“Ay, aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin. “Dia ... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu. Ayu tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku anggap, ayahnya sudah mati.” Nanda menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan dengannya, bergelayut di pelupuk mata. Ayu menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana. “Kita menikah saja.” “Sejak dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih. “Mamaku tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan berikan apa saja
Nanda menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar bibir wanita itu dengan kasar. “Mmh ... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak. Nanda terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya. Bodohnya, Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru membalas sentuhan itu tanpa sadar. Nanda tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay. Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku saja,” bisiknya. Ay melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur. “Kita menikah saja, oke? Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan. Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil
“Roro Ayu, layani suamimu dengan baik!” perintah Bunda Rindu saat mereka berada di meja makan untuk menikmati sarapan pertama kalinya. Ayu langsung menarik piring dari atas meja dengan kasar dan mengambilkan nasi dan lauk untuk Nanda. Wajahnya, tetap saja tak mau bersahabat dengan suaminya itu. “Kamu sudah memutuskan menerima lamaran keluarga Nanda. Bersikap baiklah pada suamimu!” perintah Edi. “Ayah, ayah tahu kalau aku nggak mau menikah. Bukankah ayah sendiri yang bilang kalau aku bisa membesarkan anak ini tanpa ayahnya. Aku rela menanggung malu seumur hidupku daripada harus berumah tangga dengan orang yang tidak mencintaiku seumur hidupnya,” tutur Ayu sambil menahan kesal. “Roro Ayu, nggak baik bicara seperti itu! Nanda sudah jadi suamimu. Sebagai seorang istri, kamu harus tetap berbakti dan menurut pada suamimu.” Ayu menghela napas dan mengangguk terpaksa. Ia meraih susu hangat yang disiapkan oleh pelayan rumahnya d
“Baguslah.” Nanda langsung menepikan mobilnya dan membuka laci dashboard. Ia mengeluarkan beberapa brosur dari sana dan menyodorkan ke hadapan Ayu. “Pilih rumah mana yang kamu suka! Aku akan membelikannya untukmu dan kita keluar dari rumah keluarga. Kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa intervensi mereka,” pinta Nanda. “Biar kamu juga bisa bebas ketemu Arlita?” “Kamu tahu kalau dia pacarku. Nggak perlu ditanya lagi.” “Kita sudah menikah. Kamu nggak putusin dia?” “Ini sudah zaman apa, Ay? Punya istri dan pacar sekaligus, sudah jadi hal biasa,” jawab Nanda santai. Ayu menarik napas perlahan sambil memejamkan matanya. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi hatinya tetap saja tidak rela jika Nanda memperlakukannya seperti ini. Menduakan ia secara terang-terangan. “Aku juga tidak akan melarangmu berpacaran dengan Sonny. Kalian masih bisa seperti dulu. Status pernikahan kita itu cum
“Ayah, Bunda ... mmh, Roro Ayu sudah menjadi istriku. Bisakah kami tinggal di rumah sendiri? Aku sudah menyiapkan rumah untuk keluarga kecil kami dan hidup mandiri,” tutur Nanda saat makan malam bersama dengan keluarga Ayu.Bunda Rindu dan Ayah Edi saling pandang selama beberapa saat.“Kalian sudah berdiskusi? Bunda tidak bisa melarang kalau memang ini keinginan kalian,” tutur Bunda Rindu. “Asalkan kalian punya waktu untuk mengunjungi kami.”Nanda mengangguk. Ia tersenyum sambil menggenggam tangan Ayu. “Bunda tenang saja! Kami akan sering berkunjung ke sini. Rumah kami tidak terlalu jauh. Kami bisa mengunjungi kalian sesering mungkin.Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan suaminya itu. Walau bagaimana pun, dia adalah seorang istri dan sudah selayaknya berbakti. Cepat atau lambat, seorang wanita memang akan diboyong pergi saat mereka sudah berkeluarga. Bersyuk