“Andre ...! Mana anakmu yang bajingan itu!” seru Edi sambil menerobos masuk ke dalam rumah Andre, ayah kandung Nanda sekaligus kolega bisnisnya. Di belakangnya, juga ada beberapa pria berpakaian preman.
“Mas Edi? Ada apa?” Andre langsung menghampiri Edi yang meneriaki dirinya dengan wajah penuh amarah.
“Ada apa, Mas Edi? Kenapa ke sini bawa preman seperti ini?” tanya Nia lembut.
“Mana anak kalian!?” seru Edi tak sabar.
“Nanda lagi keluar, Mas. Duduk dulu!” pinta Nia dengan tubuh gemetaran. Ia terus mencengkeram lengan suaminya saat melihat Edi begitu emosi.
Di saat bersamaan, Nanda melangkah santai memasuki rumahnya sembari memainkan kunci mobil di tangannya.
“Itu Nanda, Mas,” bisik Nia sambil menatap tubuh puteranya.
Edi memutar tubuhnya dan menatap tajam ke arah Nanda. Beberapa orang preman yang ia bawa, langsung menyambar tubuh Nanda.
“Ada apa ini?” seru Nanda, ia berusaha memberontak. Namun, kekuatannya tak mampu menandingi empat preman yang sudah memegang erat tubuhnya.
Edi melangkah menghampiri Nanda dengan tangan mengepal.
BUG!
Satu pukulan tangan Edi mendarat keras di wajah Nanda hingga membuat lapisan kulit di bibir pria muda itu pecah, mengucurkan darah segar di sana.
“Nanda ...!” seru Nia sambil berlari menghampiri puteranya.
“Mas Edi, ini ada apa? Kenapa pukul anak kami? Kami bisa laporkan Anda ke polisi!” seru Andre sambil berusaha melindungi puteranya.
“Pukulan ini belum seberapa jika dibandingkan dengan pukulan untuk keluarga kami!” sahut Edi dengan mata berapi-api.
Nanda balas menatap Edi dengan perasaan campur aduk. Terlebih, sang ibu terisak di hadapannya sembari memeluk kepalanya. Memohon belas kasihan pada orang-orang di sana agar melepaskan puteranya.
“Nak, apa yang sudah kamu perbuat di luar sana?” tanya Nia sambil menatap wajah Nanda dengan derai air mata.
“Aku nggak ngapa-ngapain, Ma,” jawab Nanda lirih.
“DIA MENGHAMILI PUTERIKU!” seru Edi sambil menunjuk wajah Nanda penuh amarah.
DEG!
Nia langsung memutar kepalanya. Ia tidak percaya jika Nanda menghamili puteri dari keluarga bangsawan yang begitu terhormat. Terlebih, mereka sudah memiliki pasangan masing-masing. Puteranya juga akan segera bertunangan dengan kekasihnya.
“Nan, semua ini nggak bener ‘kan?” tanya Nia. “Roro Ayu itu tunangan sahabatmu. Kalian sudah bersahabat sejak lama. Kamu juga akan segera bertunangan dengan Lita. Pasti bukan kamu pelakunya ‘kan?”
Nanda menggelengkan kepala. “Mana mungkin aku menghamili dia. Mungkin, itu anak Sonny.”
“Sonny tidak pernah meniduri puteriku! Aku sudah konfirmasi dengan dia,” sahut Edi.
“Mungkin dari pria lain,” sahut Nanda sambil mengumpulkan keberaniannya. Ia masih tidak percaya jika Ayu mengandung anak darinya. Ada banyak wanita yang ia tiduri selama ini dan tidak ada satu pun yang tidak bisa ia atasi. Puteri keluarga bangsawan ini memang sangat berbahaya dan nyaris menghancurkan kesenangan hidupnya.
“Kalau kamu masih tidak mengakui perbuatanmu, aku akan melaporkanmu ke polisi!” tegas Edi.
Andre tersenyum sambil menghampiri Edi. “Mas Edi, ini bisa kita selesaikan baik-baik. Bisa aja, mereka diam-diam saling suka. Kita bisa menjadi besan. Bagaimana?”
“Aku tidak sudi punya menantu bajingan seperti dia!” seru Edi.
“Tenang dulu, Mas! Bukankah Mas Edi ke sini mau minta pertanggungjawaban? Kalau memang Roro Ayu mengandung anak Nanda, aku akan segera melamar,” tutur Andre.
“Aku bukan sedang meminta pertanggungjawaban! Aku sedang membuat perhitungan dengan kalian!”
“Kita berteman sudah lama. Ini bisa diselesaikan baik-baik, Mas. Anak muda zaman sekarang, sudah umum seperti ini. Bagaimana kalau kita nikahkan saja mereka? Toh, mereka juga belum resmi memiliki pasangan,” tutur Andre.
Sementara itu, Nia masih terus menangkup wajah Nanda sambil terisak. Ia tidak percaya jika puteranya telah menyinggung keluarga bangsawan hingga membuat mereka sangat murka.
“Sonny bersedia bertanggung jawab dan mengakui anak itu sebagai anaknya. Aku tidak sudi punya menantu bajingan dan pecundang seperti ini! Lebih baik, bayi itu tidak pernah mengetahui siapa ayah sebenarnya!” seru Edi.
“Kasih dia pelajaran!” perintah Edi pada anak buahnya.
Satu orang pria langsung menyeret Nia menjauh dari puteranya. “Nanda ...! Mas Andre ...! Tolong lakukan sesuatu! Mas Edi, jangan pukul puteraku lagi!” pintanya terisak dengan perasaan tak karuan.
“Mas Edi, walau bagaimanapun, bayi itu tetap keturunan keluarga kami. Nanda akan bertanggung jawab menikahi Ayu dan merawat anak itu dengan baik,” tutur Andre.
“Aku lebih suka kalau dia tidak bertanggung jawab. Setelah puas menghajarnya, aku akan melaporkan dia ke polisi!” tegas Edi.
“Mas Edi, tolong ampuni Nanda! Jangan sampai dia dipenjara! Apa pun syaratnya, akan kami penuhi,” pinta Nia sambil berlutut dan memeluk kaki Edi.
“Ma ...!?” Nanda langsung dipenuhi amarah ketika melihat mamanya bersujud di kaki orang lain untuk membelanya. “Oom ... aku akan bertanggung jawab menikahi Ayu!”
Edi tersenyum sinis menatap Nanda. “Apa itu artinya kamu sudah mengakui kalau kamu meniduri puteriku? Lebih tepatnya, memperkosa dia!?”
Nanda menelan saliva mendengar pertanyaan Edi. Kemudian, mengangguk kecil.
“Menikah atau tidak, semua keputusan ada di tangan puteriku. Aku tidak akan membiarkan dia menikah dengan pria yang tidak mencintai dia! Soal bayi dalam perutnya, aku bisa menghidupi dan merawat dia meski tanpa seorang ayah! Aku anggap, ayah dari bayi itu sudah mati!” tutur Edi sambil menatap wajah Nanda.
Edi melirik Andre yang berdiri di belakangnya. “Aku mau lihat ketulusanmu dalam meminta maaf dan menyayangi puteriku! Jika tidak bisa, ke penjara sajalah!” ucapnya sambil bergegas pergi meninggalkan kediaman keluarga tersebut.
((Bersambung...))
MuchLove,
@vellanine.tjahjadi
“Ay, aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin. “Dia ... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu. Ayu tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku anggap, ayahnya sudah mati.” Nanda menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan dengannya, bergelayut di pelupuk mata. Ayu menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana. “Kita menikah saja.” “Sejak dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih. “Mamaku tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan berikan apa saja
Nanda menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar bibir wanita itu dengan kasar. “Mmh ... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak. Nanda terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya. Bodohnya, Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru membalas sentuhan itu tanpa sadar. Nanda tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay. Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku saja,” bisiknya. Ay melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur. “Kita menikah saja, oke? Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan. Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil
“Roro Ayu, layani suamimu dengan baik!” perintah Bunda Rindu saat mereka berada di meja makan untuk menikmati sarapan pertama kalinya. Ayu langsung menarik piring dari atas meja dengan kasar dan mengambilkan nasi dan lauk untuk Nanda. Wajahnya, tetap saja tak mau bersahabat dengan suaminya itu. “Kamu sudah memutuskan menerima lamaran keluarga Nanda. Bersikap baiklah pada suamimu!” perintah Edi. “Ayah, ayah tahu kalau aku nggak mau menikah. Bukankah ayah sendiri yang bilang kalau aku bisa membesarkan anak ini tanpa ayahnya. Aku rela menanggung malu seumur hidupku daripada harus berumah tangga dengan orang yang tidak mencintaiku seumur hidupnya,” tutur Ayu sambil menahan kesal. “Roro Ayu, nggak baik bicara seperti itu! Nanda sudah jadi suamimu. Sebagai seorang istri, kamu harus tetap berbakti dan menurut pada suamimu.” Ayu menghela napas dan mengangguk terpaksa. Ia meraih susu hangat yang disiapkan oleh pelayan rumahnya d
“Baguslah.” Nanda langsung menepikan mobilnya dan membuka laci dashboard. Ia mengeluarkan beberapa brosur dari sana dan menyodorkan ke hadapan Ayu. “Pilih rumah mana yang kamu suka! Aku akan membelikannya untukmu dan kita keluar dari rumah keluarga. Kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa intervensi mereka,” pinta Nanda. “Biar kamu juga bisa bebas ketemu Arlita?” “Kamu tahu kalau dia pacarku. Nggak perlu ditanya lagi.” “Kita sudah menikah. Kamu nggak putusin dia?” “Ini sudah zaman apa, Ay? Punya istri dan pacar sekaligus, sudah jadi hal biasa,” jawab Nanda santai. Ayu menarik napas perlahan sambil memejamkan matanya. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi hatinya tetap saja tidak rela jika Nanda memperlakukannya seperti ini. Menduakan ia secara terang-terangan. “Aku juga tidak akan melarangmu berpacaran dengan Sonny. Kalian masih bisa seperti dulu. Status pernikahan kita itu cum
“Ayah, Bunda ... mmh, Roro Ayu sudah menjadi istriku. Bisakah kami tinggal di rumah sendiri? Aku sudah menyiapkan rumah untuk keluarga kecil kami dan hidup mandiri,” tutur Nanda saat makan malam bersama dengan keluarga Ayu.Bunda Rindu dan Ayah Edi saling pandang selama beberapa saat.“Kalian sudah berdiskusi? Bunda tidak bisa melarang kalau memang ini keinginan kalian,” tutur Bunda Rindu. “Asalkan kalian punya waktu untuk mengunjungi kami.”Nanda mengangguk. Ia tersenyum sambil menggenggam tangan Ayu. “Bunda tenang saja! Kami akan sering berkunjung ke sini. Rumah kami tidak terlalu jauh. Kami bisa mengunjungi kalian sesering mungkin.Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan suaminya itu. Walau bagaimana pun, dia adalah seorang istri dan sudah selayaknya berbakti. Cepat atau lambat, seorang wanita memang akan diboyong pergi saat mereka sudah berkeluarga. Bersyuk
Beberapa menit kemudian, Nanda turun dari kamar dengan pakaian jas rapi. Ia menghentikan langkahnya saat melihat Ayu sedang menyiapkan makanan di atas meja makan. “Yu, kamu masak?”“Iya. Sorry, aku kesiangan. Jadi, aku masak apa adanya aja untuk kamu. Makanlah!” pinta Ayu sambil tersenyum manis.Nanda tersenyum miring sambil memperhatikan sepiring nasi goreng yang disiapkan oleh Ayu untuknya. “Aku udah bilang nggak usah masak. Aku mau makan di luar.” Ia langsung melangkah begitu saja.“Tapi ...”“Ayu, aku nggak suka diatur, ya! Aku sudah bertanggung jawab menikahimu. Apa pun yang akan aku lakukan, kamu nggak perlu ikut campur!” sahut Nanda.Ayu menghela napas melihat sikap Nanda. “Kamu ngajak tinggal di rumah sendiri supaya bisa semena-mena sama aku, Nan?”Nanda menghentikan langkahnya sejenak. “Nah, itu tahu. Kalau aku nggak meminta kamu melakukan sesuatu, maka ka
Ayu mondar-mandir di ruang tamunya dengan gelisah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan di rumahnya seorang diri. Rumah ini belum banyak furniture dan ia tidak tahu harus melakukan apa di rumah itu. Sudah seharian bersantai-santai dan ia merasa sangat bosan. Biasanya, dia selalu pergi bekerja. Hari ini barulah terasa dan menyesal telah melepaskan karirnya demi berbakti pada suami.“Lebih baik aku ke pasar aja, deh. Cari bahan masakan untuk makan malam. Mungkin, Nanda mau menemaniku makan malam.” Ayu tersenyum lebar. Ia segera melangkah ke kamar untuk mengambil dompet dan melangkahkan kaki keluar dari rumah itu.Pasar sayuran terletak tak jauh dari komplek perumahan tersebut. Ia memilih untuk berjalan kaki. Ia bisa menikmati suasana dengan santai dan mengulur waktunya di luar rumah. Rumah yang besar dan sepi itu terasa sangat membosankan untuknya.Suasana di pasar tetap saja ramai meski sudah sore. Ayu memilih beberapa sayuran, buah dan daging untu
“Nan, kamu nyuruh aku pulang naik taksi? Bukannya kamu sudah sepakat mau nginap di tempatku dan kita makan malam bareng?” tanya Arlita sambil melirik Ayu yang sudah berada di dalam mobil Nanda.“Makan malam bisa lain kali. Ini urusan rumah tanggaku. Kamu pulang naik taksi aja, ya! Pesan makanan yang enak atau buat party sama teman-temanmu supaya kamu nggak bosan. Nanti aku transfer uang untuk party kamu,” jawab Nanda.“Serius!?” tanya Arlita sambil tersenyum lebar.Nanda mengangguk. “Bersenang-senanglah! Aku selesaikan urusan rumah tanggaku dulu!” Ia langsung melangkah ke sisi lain dan masuk ke dalam mobil. Kemudian, ia bergegas membawa mobilnya itu pergi dari sana.“Nan, kamu nggak putusin Lita?” tanya Ayu. Ia akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama tertahan di dalam hatinya.“Nggak. Dia bisa menjadi h