Bunda tersenyum dengan lembut sambil mengusap airmatanya sendiri. Memang inilah takdir yang harus kujalani sebagai anak gadis satu-satunya milik keluarga ini.
Selama ini aku selalu dimanjakan dengan semua kebutuhan. Memang hidup kami tidak termasuk mewah. Tapi keluarga Sanjaya, tempat papaku bekerja memang selalu memenuhi semua yang kami perlukan.
Uang sekolahku tidak pernah terlambat. Buku sekolah dan tas sekolahku selalu baru setiap tahunnya karena diberikan oleh Emma Sanjaya-Istri majikan, tempat papaku mengabdi.
"Istirahatlah, Nak. Siapkan dirimu! Pernikahan akan dilaksanakan besok!" Perkataan Bunda begitu lembut namun terkesan menyedihkan. Bunda melangkah lesu keluar dari kamarku. Kulihat ia masih mengusap airmatanya. Bila keluarga kita cukup kaya, maka kita tidak akan terhina seperti ini.
Kedua orangtuaku juga bisa melarikan diri, tapi mereka memilih untuk membalas jasa majikannya.
"A-Apa? Besok?" Kepalaku terasa berdengung sejenak. Oh iya ... ya, mayat akan semakin bau bila berlama-lama.
"Oh Shit, menjijikkan sekali!" pekikku di dalam kamarku sendiri. Membayangkan saja aku sudah bergidik.
"Ah, malangnya nasib!" seruku sembari melampiaskan kekesalan pada bantal dan ranjang kembali.
...
Hari masih pukul lima pagi dan pintu kamarku sudah digedor dengan kasar. Aku tahu, pasti papa yang mengedornya. Mengapa ia sangat marah padaku? Aku mencoba duduk di tepi ranjang dengan malas.
"Tunggu, Pa. Biarkan Mama yang memanggilnya." Terdengar perkataan bunda di depan kamar.
Aku masih merasa lelah dan kurang tidur. Butuh waktu yang cukup lama untuk menetralisir keadaan hatiku sampai akhirnya tertidur pukul tiga dini hari semalam.
Terdengar pintu masih diketuk pelan.
"Nak, bangun! Angel!"
Dengan malas aku melangkah dan membuka pintu.
"Nak, kita harus berangkat!" ucap bunda setelah pintu dibuka. Kulihat ada garis hitam di bawah kedua manik hitamnya.
"Dia juga menangis semalaman," gumamku dalam hati.
"Tapi, ini masih pukul lima pagi!" Aku merengut dengan manja, kepalaku terasa pusing dan masih terasa mengantuk sekali.
Bunda tidak memperdulikan ocehanku, malah memasukkan beberapa kotak dan meletakkannya ke ranjangku.
"Apa ini?"
"Pakaian pengantin, mandilah!" seru bunda sembari mendorongku ke kamar mandi.
***
Pakaian pengantin yang polos namun terlihat elegan saat melekat di tubuhku. Aku melihat tampilan di cerminku. Seorang gadis yang cantik dan menjadi primadona di sekolah, aku terlihat cantik sekali dengan gaun yang polos berwarna putih bersih ini.
"Kamu cantik sekali, Nak," ucap bunda dengan matanya yang nanar.
Terlihat sekali ia berusaha tabah atas kejadian yang menimpaku. Aku menjual masa depanku untuk dua milyar dan untuk membalas budi dari keluarga aneh itu.
Apakah masih akan ada pria yang mau menikah denganku apabila mengetahui bahwa aku-wanita yang sudah pernah menikah dengan mayat?
Tak mampu lagi aku bermonolog terlalu banyak saat melihat ayahku sudah berdiri di depan pintu, menatapku dengan sendu namun berpura-pura tegar. Kulihat ayah sudah siap dengan stelan kemeja hitamnya dan memakai dasinya dengan rapi.
Kedua matanya juga sembab, mungkin mereka sama sepertiku, tidak mampu untuk tidur dengan nyenyak.
"Mari kita berangkat," ucapnya singkat.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam sudah menunggu di depan rumah kami. Ayah membukakan pintu mobil. Matanya seolah memerintahkan agar aku tidak banyak bicara dan hanya masuk ke dalam mobil.
Mobil dikemudikan oleh seorang supir yang diam dan serius menatap ke depan. Tidak ada yang berbicara sepanjang perjalanan.
Begitu kaku dan membuatku mengantuk.
Perjalanan rupanya agak jauh, sudah satu jam aku berada di mobil. Aku melirik kaca jendela.
"Mengapa aku melihat gunung?" tanyaku dengan heran.
Ibundaku memberikan isyarat diam dengan meletakkan telunjuknya ke bibirku.
Aku pun terdiam dan melanjutkan tidurku, mudah-mudahan semua ini hanyalah mimpi. Semoga saat bangun nanti. Aku sudah kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Bangun dan kuliah serta bercerita dengan semua anggota sablengku di kampus.
Mobil dihentikan di depan sebuah rumah yang mewah. Aku melihat sekitarku, membaca palang yang berada tidak jauh dari pandangan.
"Perumahan Tandean."
"Wah, ini adalah perumahan paling elit di kota super padat ini!" seruku dengan mata berbinar.
"Turunlah," ucap ayahku sembari membuka pintu.
Aku mengenggam seikat bunga mawar berwarna merah jambu.
Aku sungguh terpesona dengan rumah mewah yang kita masuki sampai langkahku terhenti.
"Oh, tidak," pekikku. Kedua mataku membulat.
Kembali aku tercengang saat melangkah menuju pintu masuk ke lokasi acara, dimana pernikahan akan dilangsungkan. Itu bukan ruang ibadah, juga bukan ruang pesta. Ruangan itu adalah sebuah taman kaca.
Terdapat beberapa kursi disusun dengan rapi menyisakan sebuah tapak sebagai tempat jalan pengantin.
Dekorasi pernikahan semua dominan hitam seperti balai persemayaman jenazah.
"I-Ini adalah acara pemakaman atau pernikahan?" Bathinku mulai kacau dan ragu. Suasana terasa menyeramkan.
Aku digandeng ayahku, melangkah masuk dengan perlahan. Beberapa tamu terlihat berdiri menyambut. Di depan sudah ada peti mati berisi calon suamiku.
Kembali langkahku terhenti, mematung di tempat. Ketakutan teramat besar melandaku sehingga sekujur tubuhku terasa membeku. Kakiku susah sekali digerakkan.
"Ayo-lah, Nak," ucap ayahku. Pria paruh baya itu memandangku, kedua matanya sudah mulai nanar juga.
"Bolehkah aku membatalkannya?" tanyaku pelan setengah berbisik.
"Tidak" jawabnya dengan tegas dan singkat, sambil langsung menarikku melanjutkan langkah perlahan menuju pelaminan.
Begitulah pernikahan terkutuk itu terjadi.
Tanpa ada alunan lagu pernikahan.
Tanpa iringan pengantin kecil yang menari di depan.
Tanpa tepuk tangan tamu yang hadir.
Tanpa senyum yang mengucapkan selamat, melainkan wajah–wajah tamu yang mencibir. Aku percaya, mereka adalah kerabat yang tidak menyetujui pernikahan ini.
"Oohh, aku sungguh pusing, serasa mau pingsan saja," gumamku dalam hati sambil mengatur nafas yang tidak teratur didadaku.
Langkahku tepat berada di samping peti mati di sebelahku. Seorang pria berdiri di depan kami berdua. Pria berusia sekitar setengah abad itu sepertinya adalah penghulu atau pembawa acara.
"Dengan ini, saya mewakili tamu-tamu yang hadir, untuk menjadi saksi atas pernikahan Saudara Zacky Sanjaya dengan Saudari Angel Adhinatha.”
“Berhubung karena pengantin laki-laki sudah meninggal dunia, maka perjanjian pernikahan hanya akan ditandatangani secara sepihak oleh pengantin perempuan tanpa perlu mengucapkan janji pernikahan."
Dengan kedua manik nanar dan tangan gemetar aku tandatangani surat pernikahan itu. Setelahnya, kulirik sekilas pasanganku yang terbujur kaku di dalam peti mati.
"Mayat itu ... ihhh jijik sekali," kubayangkan sambil merinding. "Wajahnya pasti hancur karena itu mereka tutupi dengan kain putih."
Kembali kutundukkan kepalaku, menahan rasa mual dan ingin muntah.
***
Prosesi berakhir, tidak ada acara apapun selain penandatangan yang aneh.
Aku digiring bunda untuk masuk ke kamar pengantin. Sementara di luar mereka melanjutkan acara makan-makan dan ramah tamah keluarga.
Peti mati kayu itu juga diangkat oleh beberapa orang mengikuti langkahku untuk masuk ke dalam kamar pengantin.
Aku tidak diijinkan untuk ikut meramaikan acara ramah tamah tersebut, mungkin mereka takut aku salah ucap sehingga membongkar perjanjian nikah yang tidak masuk akal ini. Padahal aku lapar sekali dan belum makan dari pagi , tapi aku juga sedang tidak berselera.
“Tapi, apa yang harus kulakukan disini?" Aku bergumam sendiri. Berduaan dengan jenazah yang mulai membusuk. Rasanya ingin ke kamar mandi, tapi kutahan. Aku benar – benar ketakutan.
Ceklek!
Terdengar suara kunci pintu dari luar. Aku terkunci di dalam kamar ini. "Bersama dengan mayat!"
Leherku terasa dingin, seperti aku sedang berada di kuburan.
"Mama, papa! Tolong aku! Angel tidak mau berada di sini!"
Aku mengedor pintu dengan sekuat tenaga-juga melakukan beberapa panggilan melalui handphoneku.
Degh! Lampu kamar mati secara tiba-tiba.
Kulirik sekilas jenazah di sampingku dalam kegelapan, sinar rembulan samar-samar masuk dari balik tirai. Pria kaku itu sudah diangkat keluar dari peti mati dan mereka membaringkannya di ranjang. Masih dengan kain putih menutup wajahnya. Ingin rasanya membuka penutup kain putih itu, setidaknya aku bisa melihat wajah suamiku sekali saja. Tapi sungguh aku tidak berani. Dengan takut aku duduk satu ranjang dengan mayat. Kecewa, sungguh kecewa dengan kedua orangtuaku yang meninggalkanku di sini. "Gila, mereka semua kehilangan otaknya," bathinku. "Apa yang mereka harapkan dengan menidurkan mayat di sini?" "J-jangan katakan, mereka benar-benar ingin aku hamil dari mayat ini?" Aku membulatkan mataku dan memandang pria yang terbujur kaku itu dengan bulu kuduk berdiri. Degh! Lampu hidup kembali. Aku bernafas dengan lega. Ac pendingin di kamar yang luas itu malah membuatku berkeringat jagung. Aku pasrah. Harus tahan duduk sampai acara di luar selesai. Baru aku bisa pulang ke rumah. "Ya, h
Aku menghentikan acara makanku. Memberanikan diri untuk bergerak mengecek keadaan. Kulirik jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Jam berapa aku akan pulang ya?" tanyaku dengan kesal kepada diriku sendiri. Tentu saja mayat itu tidak mungkin bisa menjawab pertanyaanku. Sejujurnya, aku sudah merasa sangat kelelahan. Sakit pada kepalaku membuatku ingin muntah. Belum lagi asam lambung yang harus keterima karena tidak mengisi perutku dengan makanan sampai sekarang. Aku menatap pria yang terbujur kaku itu. Tidak ada reaksi. "Huh, dia memang sudah mati kok!" ucapku kembali ke meja kecil di samping kamar yang sudah berisi beberapa makanan dan menghabiskan makananku. Aku tidak takut sama hantu dan segala macam hal gaib. Karena menurutku, dunia memiliki bagiannya masing-masing. Tapi harus menyatukan dua dunia dengan pernikahan seperti ini tentu saja adalah hal yang menyesatkan. Gila dan di luar nalar. Tapi itulah yang terjadi saat ini. "Urrgghhhh." Aku bersendawa de
"Jangan katakan kamu memasang CCTV di kamar mandi juga!" Mama berteriak dengan marah. Telingaku dijewer semakin kuat."Aduh, Ma ... Lepaskan! Ampun!" Teriakanku melengking. Aku sungguh kesakitan. Terasa panas dan sepertinya telingaku sudah merah. Aku tidak suka dijewer, apalagi sudah berumur dua puluh delapan tahun. Ini sungguh menggelikan.Mama melepaskan telingaku tapi, masih menatapku dengan tatapan marah. Ia berkacak pinggang di hadapanku. Aku tahu dia menunggu jawabanku."Iya, nanti kuhapus. Aku hanya mau bermain-main. Bukankah Mama sudah membayar mainan itu seharga dua milyar?" ucapku membela diri."Arrghhh!" Perkataanku membuat mama kembali menjewer telingaku yang satunya lagi."Lepaskan, Ma. Sakit sekali!"Mama melepaskan tangannya, kemudian menghentakkan pantatnya dengan kasar ke tepi ranjang."Gadis polos itu bukan mainan!" ucap mama dengan ketus. Aku mencebik, meremehkan perkataan mamaku."Itu dosa! Kamu tidak boleh melakukan hal seperti itu! Nanti bisa-bisa kau akan dikutu
Sebenarnya aku terbangun karena sesak pipis, pendingin di kamar pengantin ini bekerja terlalu baik. Aku hampir membeku. "Sial, mati lampu lagi!" umpatku dalam hati sambil duduk di ranjang yang empuk. Tiba-tiba, kedua netraku menangkap bayangan yang tidak wajar. Jantungku mulai berpacu dengan kencang. Betapa terkejut diriku saat melihat seseorang sedang berdiri di hadapanku. Pandangan mata yang terbatas karena kegelapan membuatku menyadari sesuatu hal. Saat ini, aku sedang tidur di ranjang di sebelah mayat dan sialnya, mayat itu tidak ada di sebelahku! Bulu kudukku semakin meremang. "Arrghhh! Setan!" teriakku dengan panik. Pria bertopeng itu langsung menyerangku dan menutup mulutku yang sedang berteriak dengan keras. Tentu saja aku memberontak dengan semua usaha dan kekuatan yang ada. Kutendang tubuhnya dengan kakiku, kugigit tangannya dengan geram kemudian kugigit bahunya yang keras sampai gigiku sepertinya mau putus. Pokoknya dimanapun ada kesempatan, aku akan menyepak, mencakar
Zacky tertawa sembari memegang perutnya-pria itu merasa puas sekali melihat gadis mainannya menangis dan terduduk di depan daun pintu."Arrgh, sakit sekali," rintih Zacky. Akibat perkelahian kecil yang dilakukannya dengan Angel semalam, tubuhnya mendapatkan cakaran, serta luka di beberapa tempat. Dilirik tangannya sendiri-pertengahan antara jari jempol dan telunjuk. Bekas gigitan itu masih meninggalkan d*rah kering.Lututnya juga sakit akibat terhantam ke lantai dengan keras saat ingin menangkap gadis kecil itu."Dia lincah sekali seperti ular, liar dan gesit. Dasar gadis barbar!" umpat Zacky sembari bergerak ke kamar mandi.Zacky membuka pakaiannya dan melihat pantulan tubuhnya di cermin. Wajah yang ganteng, rahang yang keras dan tubuh berotot dengan enam kotak teratur di bagian perut yang rata tapi, sekarang ditambahi tiga garis bekas cakaran."Wanita si*lan!" Kembali terdengar umpatan Zacky.Postur pria itu sangat sempurna. Dengan tinggi 180 cm, lengan kekar dan dada bidang serta
Dua orang pelayan masuk dan mengantarkan makanan kepada Zacky. Salah seorangnya adalah kepala pelayan-Martha namanya. Wanita yang berumur lima puluhan dan sudah melayani keluarga Sanjaya selama dua puluh tahun itu melirik layar tv yang berada di meja Zacky. Kemudian melirik sejumlah uang yang sudah disediakan Zacky di meja yang sama."Bukankah dia akan dilepaskan hari ini?" Martha memberanikan diri bertanya.Zacky membalas dengan tatapan dingin.Martha segera mengundurkan diri-keluar dari kamar itu dalam diam. Wanita tua itu tahu, Zacky tidak suka bila kesenangannya terganggu apalagi dikomentari.Zacky melahap sarapan sembari melihat pergerakkan dari Angel-mainan barunya.***Aku buru-buru mundur karena terdengar suara anak kunci yang memutar-pertanda pintu akan dibuka!Dua orang pelayan masuk, membawakan makanan kemudian menyajikannya ke meja kecil di sudut kamar.Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk berlari keluar. Tapi, naas sekali k
"Apakah ini berarti kalian akan melawan hukum?" Zacky memandang kedua orang itu dengan tatapan datar. Aura dingin mulai ditunjukkannya."H-hukum? Hukum apa?" Irsan dan Maya duduk kembali di sofa nan empuk di ruangan tamu itu.Tom-asisten Zacky berdiri di samping Zacky. Pria itu sudah siap dengan dokumen perjanjian di tangannya."Bukankah kamu sudah menandatangani semua perjanjian dan aku membayar dua milyar sesuai harga yang tercatat?"Irsan dan Maya saling memandang, "A-apa yang kita tanda tangani?" ucap Maya, melayangkan pandangan ke arah suaminya dengan bingung.Irsan menaikkan bahunya, sementara sebuah dokumen dilempar ke meja oleh Tom."Bacalah sendiri," ucap Zacky sambil menguap."Pergilah sesudah mengerti, aku mengantuk sekali!" lanjut Zacky kemudian pria itu berdiri, meninggalkan kedua orang tua itu yang sibuk membaca dokumen yang sudah ditandatangani oleh mereka tanpa sadar."Eh, tapi aku hanya tanda tangan
"Apa yang harus kulakukan dengan uang ini," ucap Irsan kepada istrinya. Mereka sudah sampai di rumah kecil yang mereka sewa pertahun.Maya terdiam sembari menatap tas yang terisi penuh itu. Uang asli. Satu-satunya putri yang ia cintai dijualnya tanpa sadar. Airmata menetes dari kedua netranya."Marilah pergi membeli sebuah rumah dan berlayar seperti yang dikatakan Tom," ucap Maya dengan lirih.Mereka hanya bisa mempercayai bahwa Nyonya Emma akan menjaga Angel dengan baik. "Anak gadis pasti akan menikah suatu saat. Sebagai orang tua, kita juga sudah tidak mampu menentang apa pun tanpa kekuasaan," ucap Irsan dengan lirih."Marilah pergi membeli sebuah rumah, kemudian kita berlayar, menikmati masa tua kita," lanjutnya yang kemudian mendapat persetujuan dari istrinya.Kedua pasangan yang sudah berumur itu saling berpelukan dengan sedih. Mereka hanya bisa mendoakan semoga Angel diperlakukan dengan baik.***"Lepaskan aku! Mengapa Mama dan Papa belum juga datang untuk menjemputku?" Isak ta