Denting bell pengumuman berbunyi beberapa kali, seluruh mahasiswa yang sedang berjalan ataupun melakukan kegiatan segera menghentikan aktivitas mereka. Begitu pula dengan Ulfia, Reina, dan Keona yang sedang berjalan ke arah kelas. Tatapan tanya terpancar dari mata Reina ke arah Ulfia, wanita itu terlihat mengedikkan bahu tanda tidak tahu apa isi dari pengumuman tersebut. Sedangkan Keona menatap layar ponselnya untuk menghubungi Erick.
"Mahasiswi bernama Keona Dee harap segera menuju ke gedung fakultas."Pengumuman terulang hingga tiga kali, namun Keona masih tidak menyadarinya. Keona memiliki janji pemotretan hari ini, namun Erick masih tidak dapat di hubungi sedangkan di waktu malam hari Keona harus menemani Bready untuk meninjau resort milik Brealdy. Terkadang Erick sungguh sialan dengan segala tingkah lakunya yang menyulitkan Keona.Beberapa pasang mata menatap ke arah Keona, Reina menyadarinya sedangkan Keona tentu saja tidak. Akhirnya Reina menyentKeona menatap wajah Alvin yang tampak tenang dalam tidurnya. Seperti dirinya, pria itu terlihat kehilangan beberapa kilogram berat badan dari terakhir mereka bertemu. Wajahnya pucat, lingkaran hitam menggelayuti mata, dan bekas lebam berbentuk jari hasil dari kekerasan Bready masih nyata terlihat. Air mata kembali menggenang di pelupuk Keona. Ia duduk perlahan, mendekat untuk mengamati wajah Alvin lebih jelas, seolah ingin mempelajari jejak penderitaan yang tertinggal di sana. “Sorry for causing a commotion,” bisiknya pelan. Entah mengapa, ia yakin Alvin dapat mendengar suaranya meski tengah tertidur. “You can hear me, right?” Ia menekan tombol untuk menurunkan pembatas ranjang, lalu melipat kedua tangan dan menyandarkan kepala di atas tempat tidur Alvin. “I’m sorry for putting you in this situation. I never expected something bad would happen that night. I felt two conflicting emotions at once, happy because someone saved me, but also sad, because someone got hu
Keringat mengucur deras bersamaan dengan napas yang memburu, rambut cokelat bergerak seirama dengan tubuhnya yang semakin bergerak cepat. Air conditioner yang menyala tidak dapat membendung keringat yang keluar dari pori-pori. Detak jantung yang semakin memburu tidak menyurutkan keinginannya untuk berhenti. Terik matahari yang terlihat dari dinding kaca menjadi salah satu faktor keringat tak kian terbendung. Ia terus mencoba hingga tubuhnya berada di ambang batas kesanggupan, dua jam berlalu namun tubuh ini masih dapat bertahan. Penyiksaan harus dilakukan dengan maksimal hingga rasa bersalahnya menguap tak tersisa. Pandangan dari mata hijau itu sekarang terasa berbeda, matahari yang terlihat terik serta langit yang biru perlahan terlihat bagai gambar usang berwarna hitam dan putih. Semua perlahan terlihat sedikit menggelap dan warna cerah berubah menjadi beberapa warna aneh yang membuat tubuhnhya tidak nyaman. Seorang pria yang baru saja keluar dari sebuah pin
Keona menarik paksa lengan Noah yang berlapiskan kemeja putih, matanya masih menangkap Bready berdiri tegak bersama para pengawal di belakangnya. Ohhh sungguh, Keona muak melihat Bready mulai beberapa waktu lalu dan mungkin hingga seumur hidupnya. Langkah kecilnya bergegas menuju mobil hitam milik Noah yang terparkir. Di sampingnya Noah hanya melangkah pasrah mengikuti langkah Keona, dirinya tidak tahu apa rencana yang akan dibuat oleh Keona. Ia hanya berharap semoga wanita dengan mata sembab ini tidak membuat masalah yang akan membangkitkan iblis di dalam diri Bready. Kali ini, Noah pasti akan turut menanggung akibatnya. Dentuman suara pintu mobil terdengar keras, Keona melihat Noah memejamkan mata dengan kedua tangan berada di pinggang. Bready masih menatap tajam ke arah mereka seakan ingin menghancurkan mobil tersebut melalui tatapan matanya. Pintu mobil kembali terbuka karena Noah masih berdiri di luar sana. "Bergegaslah sialan!" Teriakan Keona dan dentuman pintu untuk
Hembusan napas terdengar, Jake memperhatikan layar monitor lima parameter yang menampilkan Heart Rate, Blood Pressure, Oxygen Saturation, Respiratory Rate, dan garis EKG. Sejak meninggalkan apartemen Alvin, Jake merasa gelisah. Ia kembali ke rumah sakit namun dengan pikiran dan kemungkinan yang memenuhi kepalanya. Jake sempat menghubungi Justine, musuh sekaligus sahabat dari Alvin Maldiery, dirinya menceritakan detail kejadian pria itu akan berhadapan dengan seorang Bready. Justine mengatakan tidak perlu khawatir dan akan meminta orang-orang miliknya untuk mengawasi. Bahkan sebelum kedatangan Bready, Justine telah mempersiapkan ambulance di halaman apartemen lengkap dengan peralatan, dokter serta perawat di dalamnya. Tepat setelah Bready meninggalkan apartemen dengan para pengawal serta wanita cantik yang terlihat meronta, pesuruh Justine segera melihat keadaan Alvin. Pria tersebut hampir kehilangan nyawa jika tidak segera tertolong, detak jantungnya melemah,
Alvin menatap Keona yang masih saja tidak sadarkan diri. Setelah Jake memeriksakan keadaannya dan memberikan beberapa salep untuk memar di tubuh Keona, wanita ini masih tetap tertidur. Tiga jam berlalu, ia pikir Bready Alan Daguen akan segera mendatanginya. Namun ternyata tidak, Lucifer itu masih tidak menghampirinya. Ia kembali memperhatikan Keona, segala perhiasan gaun serta sepatu wanita ini telah Alvin lenyapkan. Sejak dirinya kembali ke apartemen, Alvin meminta mata-matanya untuk memusnahkan semua barang milik Keona tanpa terkecuali. Untuk menghindari GPS yang melekat di sana. Ucapan Jake kembali terngiang, apakah mungkin Bready memasang GPS di tubuh Keona tanpa wanita itu sadari? Jika ya, maka Bready adalah manusia yang sangat gila. Jake telah meninggalkan apartemen bersama dengan seorang perawat yang tadi datang bersamanya. Pria itu mengatakan tidak ingin ikut ke neraka bersama Alvin malam ini. Sungguh teman yang tidak setia, seharusnya Jake membantu bagaimanapun keadaannya.
Rahang mengeras, napas yang memburu mengisi setiap langkahnya saat menuruni tangga. Ia melihat dengan mata kepala, wanitanya di siksa dan di lecehkan oleh seorang pria. Dengan keras ia menghantam kepala pria yang sedang menatap Keona dengan bergairah. Pria itu terjatuh ke arah tangga, akibat kepalan tangan yang baru saja ia berikan. Ia kembali memburu pria yang kini terlihat sedang berusaha untuk berdiri. Ya, pria blonde ini harus mati karena telah menyakiti miliknya. Dengan cepat ia kembali menyerang Ferdio dengan pukulan bertubi-tubi. "Kau harus mati, sialan!" ucapnya. Ia kembali menyerang wajah Ferdio yang berusaha dilindungi pria itu dengan kedua tangannya. "What are you doing, hentikan bajingan! Kita bisa menikmatinya bersama!" Teriak Ferdio, ia berusaha mendorong pria dengan setelan jas hitam di tubuhnya. Pria ini sangat kuat hingga ia kembali terjatuh merasakan dinginnya lantai penghubung. Mendengar ucapan dari Ferdio, ia semakin berang pan