Hati Farhan berdesir. Benar dugaannya, penjahat itu kini mengincar Kalila. Pria itu berdiri lalu mendekati jendela. Dilihatnya langit biru di kejauhan. Dadanya dipenuhi gumpalan khawatir sekaligus amarah. Kenapa harus menyeret Kalila? Kenapa tidak dirinya saja menjadi sasaran. Ia rela kalau harus mati sekarang. Namun, Kalila? Hati Farhan nyeri membayangkan Kalila yang tidak tahu masalahnya harus meregang nyawa. Ponsel Farhan bergetar. Ia mengalihkan pandangan dari halaman fakultas ke ponselnya. Sebuah video kembali masuk ke ponsel Farhan, dikirim dari nomor berbeda. Video itu memperlihatkan pertemuan warga dengan perusahaan perencana dan konstruksi dengan warga lereng bukit Wadas. Mereka juga memberikan pernyataan lisan kalau sudah menerima ganti rugi layak dan tidak akan menuntut perusahaan. Lalu, sebuah panggilan kembali masuk. Dari nomor tak dikenal dan berbeda dengan nomor pertama. “Jangan coba-coba mengganggu kami kalau Anda ingin calon istri Anda, juga diri dan karir Anda sel
"Sorry kalau aku ganggu." Kalila masih mematung, tidak percaya dengan penglihatannya. Dia pikir Haiyan sudah tidak akan pernah lagi menampakkan batang hidungnya kecuali pria itu ada urusan dengan Wisnu. "Aku hanya ingin bicara sebentar. Untuk terakhir kalinya." "Silakan duduk, Mas." Kalila menunjuk kursi di teras. Dadanya berdebar. Bukan karena masih menyimpan rasa, melainkan karena takut ada sisa masalah yang belum selesai. Atau Mas Haiyan berubah pikiran? Sepertinya tidak mungkin. Haiyan mendekati kursi. Ia duduk dengan jengah seperti ada segerombolan semut menggigit-gigit pantatnya. Sementara di seberang meja, Kalila menuggu dengan jemari sibuk meremas tepi rok. Sekian detik keduanya terperangkap dalam jenak pikiran masing-masing ditingkahi desau angin yang menggerakkan dedaunan pohon mangga dan kelengkeng. Haiyan menghela napas dalam-dalam. Mendadak dada dan hidungnya seperti disesakipenuhii debu hingga terasa sakit saat menghirup oksigen. Seharusnya semua sudah berakhir,
Segera setelah dr. Haryo menelepon rumah sakit dan membuat surat pengantar, Kalila mengikuti ambulans yang membawa Wisnu ke Sardjito. Ambulans berhenti di depan IGD dan segera disambut dua perawat. Sementara Wisnu ditangani dokter, Kalila mengurus administrasi. Beruntung dr. Haryo sudah memesankan kamar sehingga Wisnu bisa segera dirawat di bangsal perawatan. “Kenapa bisa kayak gini, La? Kok, bisa Om Wisnu tiba-tiba drop?” Miranti mengulurkan cup berisi teh hangat pada Kalila. Mereka duduk di sofa, menatap Wisnu yang terbaring dengan wajah mengapas. “Thanks, Mir.” Kalila menyedot teh hangat. Sesaat ia tertegun. “Aku juga nggak tahu, Mir. Tadi pagi juga nggak kenapa-kenapa, kok.” Kalau salah makan, sejak dulu Wisnu tidak pernah makan aneh-aneh. Ia juga tidak pernah memasak menu yang memicu asam lambung. Selain itu, Wisnu juga penggemar masakan rumahan. Dia lebih suka makan di rumah ketimbang jajan di luar. Bahkan sejak dulu sampai sekarang, Wisnu selalu membawa bekal makan siang da
"Dugaanmu benar. Prof. Wisnu diracun." Farhan berkata dengan lesu ketika berkunjung kembali ke rumah Eda."Sekarang kita susun dulu teorinya. Kamu dan Prof. Wisnu menghalangi pembangunan PLTA yang ditangani Mahesa Group sehingga mereka ingin menghabisi kalian." Andromeda mengambil notes kecil dan menuliskan teorinya. Farhan menyugar rambut lalu mengetuk-ngetuk dinding gelas berisi kopi dengan ujung telunjuk hingga menimbulkan bunyi berdentimg yang samar. Namun, karena Farhan mengetuk ketika ia dan Eda terperangkap sunyi, bunyi ketukan itu jadi lebih jelas. "Di mana Prof. Wisnu dirawat?" Farhan menyebut bangsal dan rumah sakit lengkap dengan kronologi dirawatnya Wisnu di Sardjito."Rumah dia di mana?" Farhan menjelaskan alamat dan jarak tempuh dari rumah Wisnu ke klinik dr. Haryo dan dari dr. Haryo ke Sardjito. Ia pernah ikut Andromeda melakukan investigasi sehingga cukup mengerti dengan maksud pertanyaan pria itu. "Siapa yang berhubungan dengannya akhir-akhir ini? Yah, tiga bulan
"Kamu jadi OB di kantorku?" sembur Farhan tidak lama setelah duduk di kursi makan. Di hadapannya tersaji sepiring nasi goreng ampela dan segelas air putih dan sepiring kecil berisi irisan timun, tomat, dan kol. Farhan menatap malas potongan petai menyelinap di antara tumpukan nasi. Di mata Farhan, potongan-potongan petai itu seperti mata-mata yang mengawasinya. "Sejak kapan? Bagaimana kamu bisa diterima? Kantorku hanya bekerja sama dengan perusahaan outsourcing dan kamu tiba-tiba ada di sana?"Eda belum membuka mulut. Ia menyibukkan diri dengan memotong seledri dan menaburkannya bersama bawang goreng di atas nasi. Farhan hanya bisa menahan rasa ingin tahu yang tidak jauh beda dengan menahan bisul yang nyaris pecah. "Aku tidak suka petai." Farhan mengubah topik pembicaraan. "Aku sengaja." Eda berujar santai. Ia mulai menyendokkan nasi ke mulut. "Kamu bisa menambahkan sambal. Jadi petainya tidak terlalu terasa." "Aku tidak akan memakannya." Farhan mengambil irisan petai dan menyisi
Farhan duduk di tepi jendela lantai dua Cirius. Sudah lewat tengah malam dan ia masih terjaga. Di sampingnya, cangkir bekas black coffee sudah kosong. Cangkir kedua malam itu. Permintaan Eda agar mempercepat pernikahan membuat matanya enggan terpejam. Ia sibuk menimbang, bukan soal biaya, melainkan kesiapan Kalila. "Paman tidak masalah kapan pun kamu nikah, Farhan. Justru Paman lega kamu segera menikah. Sering hati Paman dan Bibi was-was kalau kamu menemani Kalila. Walaupun kamu bilang tidak pacaran, tetap saja Paman ketar-ketir. Kalian dua manusia dewasa, tidak baik terlalu sering berdua." Jawaban bijak sang paman ketika Farhan menelepon terngiang di telinga. Dengan kepala penuh pikiran, mata Farhan tertuju ke jalan raya yang lengang. Dari tempatnya duduk, lampu-lampu kendaraan bermotor seperti kunang-kunang yang terbang cepat melintasi udara. Sejak peristiwa pelemparan batu, Farhan lebih sering menginap di kafe ketimbang di rumah. "Aku sudah siapkan skenarionya. Kamu, Kalila,
Farhan duduk di tepi jendela lantai dua Cirius. Sudah lewat tengah malam dan ia masih terjaga. Di sampingnya, cangkir bekas black coffee sudah kosong. Cangkir kedua malam itu. Permintaan Eda agar mempercepat pernikahan membuat matanya enggan terpejam. Ia sibuk menimbang, bukan soal biaya, melainkan kesiapan Kalila. "Paman tidak masalah kapan pun kamu nikah, Farhan. Justru Paman lega kamu segera menikah. Sering hati Paman dan Bibi was-was kalau kamu menemani Kalila. Walaupun kamu bilang tidak pacaran, tetap saja Paman ketar-ketir. Kalian dua manusia dewasa, tidak baik terlalu sering berdua." Jawaban bijak sang paman ketika Farhan menelepon terngiang di telinga. Dengan kepala penuh pikiran, mata Farhan tertuju ke jalan raya yang lengang. Dari tempatnya duduk, lampu-lampu kendaraan bermotor seperti kunang-kunang yang terbang cepat melintasi udara. Sejak peristiwa pelemparan batu, Farhan lebih sering menginap di kafe ketimbang di rumah. "Aku sudah siapkan skenarionya. Kamu, Kalila,
Akad dan resepsi selesai sebelum Zuhur. Dokter Haryo yang menyarankan. Demi kesehatan Wisnu. Selain itu juga, supaya tidak menabrak waktu salat Zuhur. Sahabat Wisnu itu bahkan menyiapkan ambulans beserta dokter dan perawat untuk berjaga jika terjadi sesuatu dengan Wisnu. Andromeda membatasi tamu undangan dan melakukan pemeriksaan berlapis pada semua yang hadir. Ia mengirim dua polisi untuk mengawasi dapur hotel yang menyiapkan hidangan. Sebelum acara dimulai, Andromeda menurunkan kesatuannya untuk mengelap kursi dan meja yang akan diduduki Wisnu dan keluarganya. Ditutupnya semua celah dan kemungkinan paparan racun pada tubuh Wisnu. “Semua aman, Ndan,” lapor anggotanya. “Sempat ada pengunjung yang mencurigakan, tetapi sudah kami amankan.” Andromeda mengangguk puas, lalu kembali bersikap siaga, mengawasi Wisnu dan sesekali melihat ke pelaminan. Sebenarnya, pelaminan adalah tempat yang tidak ingin dilihat Andromeda. Sikap Farhan membuat perutnya mual dan ingin mengumpat sahabatnya it