"Kamu tulis apa yang kurang untuk menyimpan dokumen. Sepertinya butuh satu filing cabinet lagi." Devin berkata sambil menyodorkan kertas dan pulpen ke hadapan Kamalia.
"Besok ada pekerja kebun yang akan turun ke kota untuk belanja."
Kamalia menarik kursi di dekatnya, kemudian duduk. Memperhatikan sekeliling lantas mencatat apa yang dibutuhkan.
"Aku akan memberikan uang bulanan buatmu, yang bisa kamu pakai untuk membeli kebutuhan pribadi."
"Bukankah aku kerja di sini untuk membayar hutang?"
"Ada perhitungan untuk itu. Tenang saja Tony akan merinci secara detail. Kamu tidak akan rugi. Jika aku tidak memberimu uang, bagaimana kamu akan membeli kebutuhanmu?"
Kamalia tercenung memandang pria di depannya. Pria ini baik juga, sikapnya tidak seperti pertama kali bertemu. Meski sorot dingin dari tatapan matanya masih sama.
"Catat semua kebutuhan yang harus dibeli untuk membuat ruangan ini menjadi rapi."
Gadis itu mulai fokus meneruskan menulis. Devin memperhatikan, hingga bunyi panggilan masuk dari ponsel atas meja memecah keheningan di antara mereka.
"Assalamualaikum, Ma."
"W*'alaikumsalam, kamu dah benar-benar sehat, 'kan?"
"Iya, Ma. Ada apa?"
"Malam Minggu besok kamu datang ke rumah, kita ketemuan sama keluarga Bu Wini."
Devin menurunkan kaki dan menegakkan duduk. Kaget dengan permintaan mamanya.
"Secepat itu, Ma?"
"Iya, nunggu apa lagi. Mama udah enggak sabar. Pokoknya besok malam kamu harus datang. Biar Ben yang jaga kakak kalian. Ingat, jangan telat. Assalamualaikum."
"W*'alaikumsalam."
Devin meletakkan kembali ponsel di meja. Bersamaan dengan Kamalia yang menyodorkan kertas di hadapannya.
"Ini, sudah aku tulis semua. Aku permisi."
"Bawakan air minum ke sini!"
Kamalia berdiri dan keluar ruangan. Di tengah pintu bersimpangan dengan Ben yang hendak masuk menemui kakaknya.
"Udah di telepon Mama apa belum, Mas?" tanya cowok itu sambil duduk di kursi bekas Kamalia.
Devin mengangguk.
"Mama juga nelepon aku tadi, suruh nungguin Mbak Mita sampai Mas kembali. Usahakan Minggu siang Mas pulang, karena sorenya aku harus balik."
"Hmm."
"Ciye, yang mau dapat jodoh sosialita," goda Ben sambil mencondongkan tubuh ke arah kakaknya.
"Apa yang Mama bilang sama kamu tentang Ninis."
"Mau jodohin gadis itu sama Mas. Memangnya Mas mau sama dia?"
Devin tidak menjawab. Dibukanya laci meja dan mengeluarkan sebungkus rokok berserta korek api. Ben segera berdiri untuk mengambil asbak yang terletak di atas bufet.
Kedua kakak beradik menghisap rokok tanpa percakapan. Terbawa pikiran masing-masing.
Kamalia yang kembali masuk sambil membawa nampan air minum sampai terbatuk-batuk dan sesak napas karena seluruh ruangan kerja Devin penuh asap rokok. Bau aroma therapi pun sudah tidak tercium lagi.
Ben tersenyum melihat Kamalia yang menutup hidung dan tergesa-gesa keluar setelah meletakkan air minum di atas meja.
"Kenapa dia mau saja jadi pembantu. Padahal cantik banget, lho. Pintar lagi."
Devin memandang sekilas sang adik sambil meniup asap rokok hingga meliuk di udara. Ben tersenyum tipis melihat tanggapan kakaknya. Soal asmara dari dulu Devin tetap penuh misteri. Tidak pernah sekali pun ia melihat kakaknya serius berhubungan dengan perempuan, sejak ditolak oleh gadis yang bernama Eva. Tampaknya hati itu benar-benar telah patah.
🌷🌷🌷
Jam sebelas siang Devin pulang dari perkebunan. Entah sudah berapa kali sejak pagi tadi Mamanya menelepon. Untuk mengingatkan kalau ia harus sampai rumah sebelum malam tiba.
"Sumi, di mana Kamalia?" tanya Devin kepada Sumi yang sedang memasak di dapur.
"Ada di atas, Tuan."
Devin bergegas naik ke lantai dua. Pintu kamar terbuka dan seprei kotor teronggok di lantai dekat pintu tembus ruang kerjanya. Kamalia sedang mengganti bed cover.
"Sudah selesai apa belum?" tanya Devin mendekati gadis itu.
Kamalia yang terkejut segera menoleh. "Iya, sudah."
"Ganti bajumu dan ikut aku sekarang."
"Sekarang? Ke mana?"
"Nanti kuberi tahu."
Devin segera melangkah ke kamar mandi. Kamalia pergi ke ruang baju untuk menyiapkan baju ganti.
🌷🌷🌷
Celana jeans warna hitam dan blouse putih bermotif kembang-kembang dengan pita panjang sebagai aksen kerah yang dipilih Kamalia sehabis mandi. Itu baju terbaik yang ia punya. Mas Ragil yang membelikan sebagai hadiah usai wisuda tahun lalu. Walaupun sebagai pembantu, ia tidak ingin terlihat mengenaskan di luar sana.
Wajah halusnya di sapu compact powder yang dibelinya bertahun lalu. Satu-satunya make up yang ia punya. Dipakai jika perlu saja.
Kamalia keluar kamar menemui Sumi yang menyiapkan makan siang di beberapa nampan kayu untuk penghuni paviliun.
"Mau diajak kemana?" tanya Sumi lirih.
"Belum dikasih tahu."
"Aku nitip, ya."
"Nitip apa?"
"Pelembab sama pembalut. Itu jika kamu diajak ke supermarket. Kalau enggak ya enggak usah. Biar aku nitip sama tukang sayur yang suka ngantar belanjaan."
Kamalia mengangguk.
Sumi masuk ke kamarnya yang berseberangan dengan kamar Kamalia. Tidak lama kemudian keluar sambil menyerahkan catatan dan uang pada gadis itu.
"Kamu butuh beli sesuatu, enggak? Aku pinjami uang, nanti gajian bisa kamu ganti," tawar Sumi.
"Enggak. Aku bawa uang kemarin."
Eva memberinya uang dua ratus ribu sebelum Kamalia dijemput orang suruhan Devin. Kebetulan usaha online baju muslim yang ditekuni kakaknya sudah berjalan lancar.
"Ya, sudah. Kalau kamu butuh, jangan sungkan untuk bilang ke aku. Sebentar ya, aku nanyain Mbok Darmi mau nitip apa enggak?"
Sumi melangkah ke dapur menemui Mbok Darmi. Sebentar kemudian kedua orang itu menghampiri Kamalia.
"Mbok nitip bedak aja, Lia. Kemarin pas Pak Karyo keluar si mbok suruh beliin, eh pulangnya kelupaan."
"Bedak apa, Mbok."
"Bedak merk apa aja. Si mbok enggak fanatik mesti pakai merk tertentu." Mbok Darmi merogoh uang lima puluhan dari saku roknya.
"Walaupun sudah tua si Mbok juga mau bedakan seperti kalian," ucap wanita itu terkekeh.
"Dibelikan lipstik sekalian enggak, Mbok," tanya Kamalia.
"Ah, enggak usah. Si mbok bedakan saja sudah cukup."
Suara deheman Devin membuat mereka menoleh. Pria itu terus melangkah ke luar. Kamalia memasukkan uang dan catatan ke dalam tas selempang dan pamitan pada Mbok Darmi dan Sumi.
Next ....
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. 🌷🌷🌷Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini