Devin sudah masuk ke mobil Hilux. Kamalia membuka pintu belakang dan duduk tepat di belakang pria itu.
Mobil meluncur, menuruni jalan berkelok yang kanan kirinya tanaman teh. Di kejauhan para pemetik teh memperhatikan kendaraan sang majikan.
Dari spion tengah Devin memperhatikan Kamalia yang menatap samping jalan. Wajah itu ... ah, sudahlah!
Kendaraan telah keluar dari perkebunan. Kemudian melewati jalan menanjak di tengah hutan pinus. Tampak ada beberapa orang sedang menoreh. Konon getah pinus itu untuk campuran bahan sabun mandi.
Jalanan kembali menurun dan memasuki kampung penduduk. Kamalia ingat pulang. Pulang di bangunan kecil samping rumah sang paman, yang disediakan untuk tempat tinggalnya dan Eva. Pasti ruangan itu kosong sekarang.
Devin menepikan mobilnya di depan sebuah warung berdinding bambu khas pedesaan. Namun terlihat klasik dan nyaman.
"Kita makan siang dulu," ajaknya pada Kamalia.
Gadis itu segera turun dan mengikuti Devin masuk warung. Mereka mengambil tempat duduk paling tepi dan dekat jendela. Jauh di sana terlihat petani sedang membajak sawah menggunakan tenaga dua ekor kerbau.
"Kamu mau makan apa?" tanya Devin sambil menyodorkan daftar menu makanan yang dibawa seorang gadis belia, pelayan warung.
"Bakso saja sama teh hangat."
"Sayur asem, pepes tahu, dan teh hangat."
Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanan.
Kamalia kembali melihat keluar jendela. Menikmati perbukitan membiru di kejauhan. Namun dalam benak penuh pertanyaan. Hendak diajak ke mana dirinya? Sementara Devin sibuk mengetik pada ponselnya.
"Pekerjaan apa yang kamu inginkan selesai kuliah? Sebelum terjebak untuk membayar hutang." Devin membuka percakapan.
"Berkarir sesuai ijazahku."
"Kerja kantoran, 'kan pastinya?"
Kamalia mengangguk.
"Kamu akan mendapatkan itu lebih cepat dari waktu yang kubilang kemarin. Dua tahun saja kamu kerja denganku, setelah itu kamu bebas."
Ada bahagia juga rasa heran terbesit di hati Kamalia, tapi kenapa tiba-tiba Devin berubah pikiran. Padahal ia tahu kalau hutang pamannya mencecah ratusan juta. Waktu dua tahun tentu belum cukup untuk membayarnya.
"Tapi dengan satu syarat."
Ah, benar kan? Tidak mungkin semua gratis begitu saja.
"Apa syaratnya?"
"Menikah denganku."
"Apa!"
Untungnya warung dalam kondisi sepi. Jadi suara kaget Kamalia tidak menjadi pusat perhatian. Pelayan yang mengantar pesanan juga tidak mempedulikan.
"Hanya dua tahun saja. Sampai kutemukan alasan untuk kita berpisah dan hutang pamanmu lunas."
Devin memperhatikan wajah kaget Kamalia.
"Kita akan menjalani kehidupan seperti suami istri pada umumnya. Akan kupenuhi kebutuhanmu. Tapi tidak usah khawatir, aku tidak akan menyentuhmu. Percayai itu."
"Apa jaminan kamu tidak akan menyentuhku?"
"Tidak usah kujelaskan. Tapi aku tidak akan melakukan itu."
"Aku tak percaya," ucap Kamalia sambil membuang pandang pada luar jendela.
"Bukankah dari awal aku sudah bilang tidak tertarik denganmu. Pernikahan ini hanya untuk menyenangkan hati mamaku dan menghindarkan aku dari perjodohan. Kamu juga bisa secepatnya melunasi hutang pamanmu."
Kamalia tersenyum sinis.
"Pria tanpa cinta bisa saja menggauli wanita."
"Aku tidak akan melakukannya."
"Aku tidak percaya."
Devin menghela napas panjang. Sepertinya Kamalia susah di ajak kompromi. Pria itu berpikir keras, mencari alasan yang tepat agar Kamalia mau menyetujui tawarannya. Sebab dirinya tidak ingin menikahi gadis pilihan sang mama.
"Aku bukan pria sempurna. Jadi kamu tetap aman sebagai perawan."
Kamalia lebih terkejut daripada tadi. Mata beningnya menentang tatapan tajam Devin.
"Jangan bercanda! Kamu suka sesama?"
"Tidak, aku masih tertarik dengan wanita."
"Terus maksudnya apa?"
"Pikir sendiri"
Kamalia berpikir keras. Hingga ia memiliki kesimpulannya sendiri.
"Apa kamu perlu buktinya?"
"Ish." Kamalia berpaling.
"Kuberi waktu memutuskan sampai kita selesai makan. Karena sekarang ini aku akan mengajakmu bertemu Mama."
Mendadak kepala Kamalia seperti terhantam batu besar. Dadanya sesak memikirkan tawaran konyol Devin.
"Makanlah dulu. Katanya bakso kalau sudah dingin tidak enak."
Kamalia susah menelan makanan kegemarannya. Disatu sisi ia ingin segera terbebas dari tanggungan itu, tapi di sisi lain sungguh berat syarat yang harus di lalui. Meskipun perawan tetap saja statusnya janda. Apa nantinya tidak menyusahkan untuk melamar kerja.
Pria itu juga memberikan waktu berpikir secepat kilat.
"Bagaimana keputusanmu?" tanya Devin sesaat setelah makan.
"Apakah kita akan tidur sekamar?"
"Kamu bisa tidur di kamar kecil itu selagi tidak ada Mamaku atau Ben. Soal Mbok Darmi dan Sumi bisa diatur."
Kamalia terdiam.
"Kalau kamu keberatan tidak masalah. Tapi bayar hutang sampai lunas. Dua ratus tiga puluh juta hutang Pak Dandi padaku."
Kamalia kaget. Sebanyak itu? Gila. Kenapa Devin percaya saja meminjami uang sebesar itu, hanya dengan jaminan sepetak kebun di belakang rumah.
Sebenarnya Eva sudah memberitahu kalau hutang pamannya lebih dari seratus juta, tapi tidak menyangka ternyata sebanyak itu. Memang benar dia akan menua sia-sia demi melunasi hutang.
"Baiklah, aku setuju. Dua tahun saja, 'kan? Aku percaya kalau kamu tidak akan menyentuhku."
"Oke, deal. Kita pergi sekarang. Kita akan bertemu Mamaku sebagai pasangan yang akan menikah."
Devin membayar makanan. Kemudian menyusul Kamalia yang sudah berada di dekat mobil.
"Duduk di depan. Biar mamaku tidak curiga." Perintah Devin saat Kamalia hendak membuka pintu belakang.
Mereka duduk berdampingan dan saling diam.
'Konyol, benar-benar konyol, entah jalan hidup seperti apa yang mulai kujalani sekarang ini.' Rutuk Kamalia dalam hati.
Setelah satu jam dalam perjalanan, mobil memasuki jalanan kota. Kamalia memperhatikan tatanan kota yang banyak berubah setelah dia kembali ke desa.
Mobil berbelok ke salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Devin masuk ke dalam bangunan tempat parkir. Setelah memutar dua kali, mobil berhenti di dekat pintu lift untuk masuk mall.
"Kenapa kita mampir ke sini?"
"Cari baju buatmu."
"Bajuku sudah cukup sopan." Bela Kamalia.
"Ikut saja. Malam nanti ada pertemuan yang harus kita hadiri. Jangan pakai baju itu."
Akhirnya Kamalia mengikuti kemauan Devin. Turun dari mobil, naik lift, dan masuk ke sebuah butik ternama di sana.
Seorang pramuniaga melayani Kamalia memilih beberapa baju. Harga cukup mahal tertera di bandrolnya.
"Tidak usah dipikirkan berapa harganya. Aku yang membayar tanpa memotong gajimu," bisik Devin.
Usai membayar baju, Devin mengajak Kamalia ke toko sepatu dan tas.
"Aku tidak biasa pakai stiletto."
"Belajar, nanti biasa."
Kamalia memilih dua stiletto warna hitam dan putih, juga sebuah tas tangan bermerk. Entah berapa uang yang dikeluarkan Devin untuk membayar outfitnya hari itu.
"Boleh aku izin sebentar untuk membelikan titipan Mbok Darmi dan Sumi," kata Kamalia usai belanja.
"Titipan apa?"
"Beberapa keperluan wanita."
"Baiklah, aku tunggu di sini."
Devin menunggu di depan minimarket yang masih satu lantai dengan butik tempat mereka belanja.
🌷🌷🌷
Detak jantung Kamalia bagai genderang mau perang ketika mobil memasuki rumah dua lantai dengan halaman luas dan asri.
Devin langsung memasukkan mobil ke garasi besar samping rumah. Mobil mamanya tidak ada di sana.
"Ayo, turun!"
Kamalia masih diam mematung.
"Kamalia."
"Iya."
Kamalia membuka pintu mobil bersamaan dengan Devin. Pria itu mengajak Kamalia masuk rumah lewat pintu samping.
"Eh, Mas Devin. Udah lama baru sambang lagi." Sambut Mbok Tini. Wanita seumuran Mbok Darmi yang menjadi asisten rumah tangga Bu Rahma.
Devin dan Kamalia menyalami wanita itu.
"Pacarnya, ya, Mas?"
Devin tersenyum. "Mama ke mana, Mbok?"
"Baru saja keluar sama Pak Gino. Mau nyari oleh-oleh katanya. Silakan duduk Mbak, biar saya buatkan minum."
Kamalia duduk di sofa ruang tengah. Di dinding hadapan ada televisi besar dan beberapa piala yang terletak di bupet kaca. Foto keluarga lengkap dalam bingkai keemasan tergantung di tembok sebelah kiri.
Devin duduk bersandar di sofa lain sambil memejamkan mata. Lelah.
Mbok Tini datang sambil membawakan dua gelas teh hangat.
"Mari di minum, Mbak?"
Kamalia menjawab dengan anggukan kepala. Mbok Tini kembali ke dalam.
Sepuluh menit kemudian terdengar suara mobil memasuki garasi. Kamalia makin gelisah. Seumur hidup baru kali ini ia bertamu di rumah orang dan dikenalkan sebagai kekasih.
Apakah Kamalia tidak pernah dekat dengan seorang pemuda? Pernah.
Bagi Kamalia, suara high heels di teras samping terdengar bagai hitungan bom waktu. Namun Devin bersikap tenang menunggu sang mama datang.
Next ....
Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman
Nostalgia (Ending)Susana Bougenvilla sangat meriah dengan kehadiran kerabat dekat Bu Rahma. Dev mengadakan acara aqiqah untuk anak ketiganya.Teman-teman Dev dari kota juga datang bersama istri dan anak-anaknya. Kerabat dari Kamalia juga datang.Suara anak-anak riang berlarian di halaman vila. Cuaca tidak mendung juga tidak panas. Hawa tetap sejuk dan membuat nyaman.Mbak Mita yang menyukai anak-anak lebih telaten menjaga para keponakannya. Terlebih anaknya Ben yang usianya paling kecil, sering ketinggalan kedua sepupunya yang berlarian di taman yang penuh bunga bugenvil yang beraneka warna."Mas, udah punya dua anak cowok, ceweknya masih satu. Mau nambah lagi, nggak?" tanya Era. "Cukup tiga saja. Kasihan Kamalia," jawab Dev sambil tersenyum."Tapi sebenarnya masih mau lagi, kan?" goda Yaksa."Anak kan rezeki. Kalau di kasih lagi ya mau.""Awas aja kalau masih mau tapi bikinnya sama yang lain. Kan katanya kasihan sama Kamalia. Terus nanti bikin pula sama yang lain," seloroh Adi. Memb
Menikahi Pria tak SempurnaSunshine Malam itu Dev dan Kamalia duduk di balkon kamar. Gaffi tidur ikut Mbak Mita dan suaminya, sementara Tisha sudah tidur pulas di ranjang mereka. Gadis kecil itu kelelahan setelah seharian bermain di pantai bersama kakak dan sepupunya."Kenapa tidak bilang sejak kemarin kalau kamu sedang hamil?" tanya Dev sambil merangkul pundak istrinya."Aku juga nggak tahu kalau hamil, Mas. Kemarin aku baru ingat kalau telat datang bulan. Waktu aku cek sudah tampak jelas garis duanya.""Mas bahagia, hanya saja cemas juga tiap kali menjelang persalinan anak-anak kita."Kamalia tersenyum sambil melingkarkan lengan di pinggang suaminya. Di sandarkan kepala di dada bidang Dev. "Yang penting Mas nemani waktu aku lahiran, itu saja sudah jadi mood booster buatku."Dev mengecup kening istrinya. Keduanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Di kejauhan terdengar debur ombak pantai yang menghantam batu-batu karang. 🌷🌷🌷Kamalia terbangun tepat jam empat pagi. Yang
"Mas," panggil Amara lirih sambil menggoyangkan tubuh Ben tengah malam itu.Ben menggeliat sejenak sebelum membuka mata dan duduk. "Ya, ada apa.""Perutku tiba-tiba mulas. Di celana dalamku ada sedikit darah."Netra Ben langsung terbuka sempurna, kantuknya seketika hilang. Ia melihat kening Amara yang berpeluh."Tunggu, ya. Aku panggil Mama."Ben melompat dari atas tempat tidur. Ia bergegas untuk membangunkan mamanya.Sejenak kemudian Bu Rahma masuk ke kamar putranya. Sedangkan Ben bersiap mengganti baju dan mengambil tas berisi perlengkapan untuk dibawa ke rumah sakit."Sejak kapan Mara mulai mulas?" tanya Bu Rahma sambil mengusap perut menantunya."Baru saja, Ma.""Ya sudah, jangan panik. Kita ke rumah sakit sekarang. Mama ganti baju dulu. Ben, kamu hubungi Dokter Keni, kalau beliau ada di klinik kita ke klinik saja.""Ya, Ma."Kendaraan sepi di jam satu malam itu. Perjalanan ke rumah sakit jadi cepat dan lancar.Sesampainya di depan ICU, mereka sudah ditunggu dua orang perawat lak
"Ben, makin hari tambah bulat aja," seloroh Kamalia saat melihat adik iparnya masuk ke dapur di rumah mamanya pagi itu.Ben yang baru datang dari rumah mertuanya tersenyum sambil mengusap perutnya yang berisi. "Jadi keenakan makan ngikutin selera makan Amara. Nantilah, sebulan lagi auto diet ketat. Oh, ya, kapan sampai?""Tadi malam jam sepuluh. Habisnya Mas Dev ngajak berangkat udah jam tujuh malam. Kata Mama, kamu dan Amara nginap di rumah mertua.""Iya, Bapak lagi sakit, makanya kami tidur di sana. Tapi sekarang sudah agak baikan. Cuman demam biasa.""Oh, Alhamdulilah.""Kenapa datang dadakan?""Kami dapat undangan pernikahan Imelda. Undangannya pun dadakan, karena mereka juga enggak ngadain pesta. Cuma ijab qobul aja.""Hmm, baguslah. Akhirnya nikah juga. Gaffi dan Thisa mana?""Habis sarapan kembali main di kamar sama papanya. Kalau Mama lagi belanja."Ben mengambil air minum di dispenser, kemudian duduk dan menghabiskan segelas air putih."Mau sarapan, enggak? Tadi Mbok Tini bik
Kehamilan Amara disambut bahagia dua keluarga besar mereka. Nasehat demi nasehat diberikan kepada calon ibu muda itu.Amara sendiri masih tetap kuliah. Tapi dia sudah membatasi diri dengan kegiatan-kegiatan kampus di luar jam kuliah.Kebahagiaan Ben-Amara membuat iri sebagian mahasiswa. Apalagi untuk beberapa mahasiswi yang pernah mengidolakan Ben. "Katanya dulu kamu minum pil, Ra. Kenapa bisa hamil?" tanya Rensi saat mereka duduk di kantin."Iya. Cuman aku minumnya enggak teratur. Soalnya selalu pusing setelah minum pil itu.""Apa enggak kepikiran mau ganti pakai yang lain?""Rencananya mau ganti. Kutunda-tunda akhirnya keburu hamil.""Ya itu rezeki, Ra. Pak Dosen kelihatan bahagia banget gitu."Amara tersenyum sambil mengusap perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. Ben memang sebahagia itu, kalau di rumah tak henti-hentinya dia menciumi calon buah hatinya yang masih ada di perut."Setelah kandunganku delapan bulan, aku akan ngambil cuti kuliah, Ren. Sementara aku ngambil cuti satu
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini