Share

Bab 5

Lian menghentikan laju motor vespanya di depan klinik. Belum juga sempat menata motor ke tempat parkir, dia kaget melihat Cantika duduk di atas kap mobil warna lime-nya yang terparkir di tepi jalan depan klinik. Lian turun dari motor.

“Masih pagi udah ke sini aja, Mbak?” sapa Lian setelah membuka kaca helmnya. “Kayaknya aku bakal sial sampe matahari tenggelam.”

Cantika menghampiri Lian lalu menarik resleting jaket Lian sampai separo dan terlihat seragam klinik yang cowok itu kenakan. “Aku udah ngira kamu bakal tetep mau praktik.” Dia naikkan lagi resleting jaket bomber butut itu. “Gak! Pokoknya aku gak ijinin!”

Lian melepas helm lalu dia taruh di spion motor. “Nggak bisa gitu dong, Can. Aku mau tetep praktik karena aku butuh duit.”

“Dasar matre!” ketus Cantika, kesal.

Lian buang muka sambil nyengir menyindir ejekan Cantika. Dia tidak memedulikan cewek itu dan malah menuntun vespanya sampai di parkiran klinik. “Bodo amat mau aku dikatain matre kek, mata duitan kek. Mau buang aer aja bayar dua ribu kok. Kita semua butuh duit, Can. Semua orang harus rajin kerja, kecuali manusia yang terlahir seperti Cipung, tuh!” ceramah Lian.

“Kamu lupa kalo aku udah bilang bakal bayar kamu?” Cantika tersenyum sarkas sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Meski kamu gak buka praktik juga kamu bakal tetep dapet pemasukan, kok.”

Lian berdecak kesal. “Asal kamu tahu ya, harga diri seorang pria terletak pada kerja kerasnya,” sahut Lian dengan suara agak meninggi, kemudian menurunkan volume suara dan berkata, “tapi kalau kamu mau bayar aku buat ongkang-ongkang kaki, aku juga nggak bisa nolak.” Lian memerhatikan sekitar lalu bilang, “Aku nggak jadi buka klinik beneran, ya?”

Mendengar itu, seketika Cantika memutar bola matanya. “Siapa juga yang suruh kamu buka klinik lagi? Ganteng sih ganteng, telmi jangan!”

Lian menggaruk belakang kepalanya. “Kan kubilang aku butuh duit.”

Cantika berdecak lalu menarik resleting jaket Lian dan membukanya dengan paksa. Lian hendak berontak, “Eh―eh, Mbak―” tapi Cantika menepis tangan Lian.

“Buruan ganti seragam kamu itu! Dasar dokter hewan tipu-tipu!” cibir Cantika.

Lian nyengir. Dia heran kenapa Cantika tiba-tiba menyuruhnya ganti baju.

“Kan nggak kelihatan kalau kupakein jaket. Trus aku tinggal pulang kalau emang nggak boleh praktik. Ya, kan?”

Cantika geram. Dia obok-obok tas ransel Lian dan menemukan kunci klinik lalu membukanya. “Bisa gak sih gausah banyak cingcong? Sana buru!” Cantika mendorong Lian masuk klinik.

“Aku itung sampe 10 kamu harus selesai, atau gak, aku bakalan masuk buat gantiin kamu baju?” ancam Cantika. “Satu! Dua!―”

Seketika terdengar suara gedumprang dari dalam. “Iya, Can, iya!” teriak Lian. “Ganti, nih!”

Beberapa saat kemudian Lian keluar dengan hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana hitam yang sebelumnya dia pakai. Selesai mengunci kembali pintu klinik, dia langsung menghampiri Cantika.

Cantika memerhatikan cowok itu lalu geleng kepala. “Kamu gak ada baju lain, apa?”

“Nggak ada. Ini aja kaos daleman seragam klinik tadi,” jawab Lian sejujur-jujurnya.

Seketika Cantika mendengus. “Yaudah kamu sekarang masuk mobil, ikut aku!” Dia tarik tangan Lian yang sedang kebingungan.

Telunjuk Lian menunjuk ke arah vespanya yang terparkir sendirian. “Tapi, itu motorku―” Lian bahkan tidak berhak protes karena sudah didorong Cantika duduk di kursi depan. Pandangannya ke arah motor terhalang bersamaan dengan pintu mobil yang ditutup Cantika dengan keras. “Astaga, pelan-pelan, Bu Sopir.” Lian mengelus dada.

Beberapa saat kemudian mobil lime Cantika melaju di jalanan aspal menjauhi klinik hewan yang tertempel tanda CLOSED. Cowok itu celingukan karena penasaran.

“Kamu mau ajak aku kemana, sih?”

“Aku mau ajak kamu jalan-jalan ke mall.”

“Kenapa sepagi gini malah ke mall?” tanya Lian makin heran.

Cantika menghentikan lajunya di perempatan lampu merah. Ada seorang pengamen memetik gitarnya dengan semangat dan menyanyi keras di samping mobil pick up di depan mereka.

“Soalnya aku liat kamu pake kaos tipis. Bahkan kemeja yang dipake tuh pengamen lebih bagus bahan kainnya daripada kaosmu itu, Lian!” ketus Cantika.

Lian mingkem. Malu karena yang dikatakan Cantika barusan memang fakta.

“Kaosku ini emang murahan, sih. Aku belinya di obralan. Tapi masih mending lah, daripada pakai kaos partai, ya kan?”

Cantika mendesis kesal. Dia tidak habis pikir dengan cowok yang diklaimnya sebagai tunangan itu.

“Ya ampun, Lian, meski gadungan tapi kan kamu tuh dokter hewan. Kenapa miskin banget, sih?”

Mendengar itu Lian tidak bisa menjawab maupun membantahnya. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan.

“Aku jadi makin harus belanjain kamu baju-baju branded deh pokoknya.” Cantika kembali melajukan mobil setelah lampu hijau menyala.

“Kenapa harus?” sergah Lian.

Cantika menoleh sebentar ke arah Lian lalu tersenyum angkuh. “Ya jelas lah tunangan aku tuh gak boleh pake baju lusuh. Apa kata orang coba kalo habis ini kita foto-foto trus aku up di medsos eh tunanganku modelannya kayak rakjel?!”

Lian langsung menggeleng tidak setuju. Matanya menyipit tajam. Bukan karena tersinggung oleh ucapan Cantika yang menyebutnya rakyat jelata. Tapi karena dia tidak mau dicap sebagai cowok mokondo. “Nggak, ah! Gengsi dong kalau apa-apa cuma nerima dari cewek. Tapi kalau kamu maksa, ya ayok aja,” lanjutnya.

Cantika geregetan dan meraup wajah Lian dengan tangan kirinya. “Gak usah sok nolak kalo ujung-ujungnya mau.”

Lian nyengir, “Mau bakso juga. Belum sarapan soalnya.”

“Iya, iya. Sekalian aja ya kalo jadi cowok mokondo tuh kudu totalitas gitu,” sindir Cantika sambil tersenyum kecil.

Lian tidak menyahut lagi. Dia keluarkan ponsel apel bututnya lalu menelepon Fandy. Lupa, harusnya dari tadi memberitahu asistennya itu kalau klinik tutup hari ini. “Fan, hari ini klinik tutup, ya. Aku ada urusan penting soalnya.”

Selang beberapa saat obrolan di telepon Lian berhenti. Bersamaan dengan mobil Cantika yang sudah terparkir di basement mall yang masih sepi.

***

Cantika menggandeng tangan Lian masuk sebuah outlet baju branded. Mereka disambut karyawan yang baru selesai bersiap-siap. Tanpa pikir panjang, dia langsung menuju rak-rak baju mulai dari kaos, kemeja, jaket, sweater. Dengan luwes dia memilah-milah semua baju itu dan langsung mengambil yang menurutnya bagus untuk Lian.

“Cobain ini.” Cantika menyerahkan baju pilihannya pada Lian. “Ini juga.”

Sambil bengong Lian menerima satu per satu baju pilihan Cantika sampai menggunung di dadanya dan hampir menutupi pandangan mata.

“Ini semua harus kucobain, Can?” tanyanya ragu.

Seketika Cantika menoleh. “Iya!”

Lian kaget. “Trus kalo semua cocok di aku?”

Cantika menghela napas. Dia ambil beberapa lembar baju dalam keranjang yang diangkat Lian di depan dadanya lalu menyerahkan pada satu karyawan perempuan. “Aku yakin semuanya bakalan cocok di kamu. Jadi semua ini bakal aku bayar, lah!”

“Tapi ini kamu belanjainnya kebanyakan. Nggak perlu sebanyak ini, Can.”

Cantika hanya merespon dengan cengiran. Dia tahu betul cowok itu hanya sok nolak tapi ujung-ujungnya mau seperti yang selama ini dia lakukan. Tapi ternyata anggapannya itu keliru. Lian malah mengembalikan beberapa baju ke raknya semula dan hanya memilih beberapa potong yang dia suka.

Cantika seketika protes, “Kamu serius?” Dia mengambil kembali baju-baju yang ditaruh Lian di rak lalu menyerahkannya pada karyawan lain.

“Kan udah kubilang aku nggak perlu sebanyak ini,” sanggah Lian.

“Gak mau tahu! Pokoknya aku tetep mau belanja banyak, buat kamu pakai sehari-hari. Jangan sampe kamu keliatan lusuh, paham?!” Cantika mengomel supaya Lian tidak membantahnya lagi. Bahkan Lian tidak diberi kesempatan untuk mencoba baju-baju itu dan langsung ditarik ke meja kasir.

Selesai kasir menghitung total belanjaan, Cantika menyerahkan black card-nya. Kasir menggesek kartu Cantika dan berkata, “Maaf, Kak, kartunya tidak bisa dipakai.”

“Apa?!” Cantika kaget tapi ngeyel, “Coba lagi, deh. Kali aja lagi error?”

“Sebentar ya, Kak.” Kasir menggesek kartu Cantika lagi tapi menggeleng. “Tetap tidak bisa, Kak.”

Cantika kesal bukan kepalang. “Aku yakin ini pasti ulah Papa!” Alhasil dia berikan kartu pribadinya dan langsung bisa melakukan pembayaran. Meski agak sayang karena itu hasil tabungannya diam-diam, tapi tidak apa-apalah daripada malu sama semua orang terutama Lian.

Tapi Lian malah menjadikan momen itu untuk meledek Cantika. “Sebelumnya aja sok-sok banget kayak nggak butuh Papa kamu, tapi ternyata masih pakai harta beliau? Huuu!”

Cantika makin bete. Dia seret Lian keluar mall dan tancap gas. “Mau kemana lagi kita, Can?” tanya Lian.

“Ke medan perang!” tegas Cantika.

“Maksudnya?” Lian mengernyit bingung.

“Kemana lagi kalo nggak ke rumah bokap gue?” Cantika menginjak gas mobilnya hingga melaju lebih kencang dari sebelumnya. Lian kaget, sebelah tangannya langsung berpegang pada hand grip. Lian masih tak habis pikir dengan perempuan yang statusnya kini jadi tunangannya ini—barbarnya sudah di luar perkiraan BMKG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status