Lian menghentikan laju motor vespanya di depan klinik. Belum juga sempat menata motor ke tempat parkir, dia kaget melihat Cantika duduk di atas kap mobil warna lime-nya yang terparkir di tepi jalan depan klinik. Lian turun dari motor.
“Masih pagi udah ke sini aja, Mbak?” sapa Lian setelah membuka kaca helmnya. “Kayaknya aku bakal sial sampe matahari tenggelam.”
Cantika menghampiri Lian lalu menarik resleting jaket Lian sampai separo dan terlihat seragam klinik yang cowok itu kenakan. “Aku udah ngira kamu bakal tetep mau praktik.” Dia naikkan lagi resleting jaket bomber butut itu. “Gak! Pokoknya aku gak ijinin!”
Lian melepas helm lalu dia taruh di spion motor. “Nggak bisa gitu dong, Can. Aku mau tetep praktik karena aku butuh duit.”
“Dasar matre!” ketus Cantika, kesal.
Lian buang muka sambil nyengir menyindir ejekan Cantika. Dia tidak memedulikan cewek itu dan malah menuntun vespanya sampai di parkiran klinik. “Bodo amat mau aku dikatain matre kek, mata duitan kek. Mau buang aer aja bayar dua ribu kok. Kita semua butuh duit, Can. Semua orang harus rajin kerja, kecuali manusia yang terlahir seperti Cipung, tuh!” ceramah Lian.
“Kamu lupa kalo aku udah bilang bakal bayar kamu?” Cantika tersenyum sarkas sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Meski kamu gak buka praktik juga kamu bakal tetep dapet pemasukan, kok.”
Lian berdecak kesal. “Asal kamu tahu ya, harga diri seorang pria terletak pada kerja kerasnya,” sahut Lian dengan suara agak meninggi, kemudian menurunkan volume suara dan berkata, “tapi kalau kamu mau bayar aku buat ongkang-ongkang kaki, aku juga nggak bisa nolak.” Lian memerhatikan sekitar lalu bilang, “Aku nggak jadi buka klinik beneran, ya?”
Mendengar itu, seketika Cantika memutar bola matanya. “Siapa juga yang suruh kamu buka klinik lagi? Ganteng sih ganteng, telmi jangan!”
Lian menggaruk belakang kepalanya. “Kan kubilang aku butuh duit.”
Cantika berdecak lalu menarik resleting jaket Lian dan membukanya dengan paksa. Lian hendak berontak, “Eh―eh, Mbak―” tapi Cantika menepis tangan Lian.
“Buruan ganti seragam kamu itu! Dasar dokter hewan tipu-tipu!” cibir Cantika.
Lian nyengir. Dia heran kenapa Cantika tiba-tiba menyuruhnya ganti baju.
“Kan nggak kelihatan kalau kupakein jaket. Trus aku tinggal pulang kalau emang nggak boleh praktik. Ya, kan?”
Cantika geram. Dia obok-obok tas ransel Lian dan menemukan kunci klinik lalu membukanya. “Bisa gak sih gausah banyak cingcong? Sana buru!” Cantika mendorong Lian masuk klinik.
“Aku itung sampe 10 kamu harus selesai, atau gak, aku bakalan masuk buat gantiin kamu baju?” ancam Cantika. “Satu! Dua!―”
Seketika terdengar suara gedumprang dari dalam. “Iya, Can, iya!” teriak Lian. “Ganti, nih!”
Beberapa saat kemudian Lian keluar dengan hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana hitam yang sebelumnya dia pakai. Selesai mengunci kembali pintu klinik, dia langsung menghampiri Cantika.
Cantika memerhatikan cowok itu lalu geleng kepala. “Kamu gak ada baju lain, apa?”
“Nggak ada. Ini aja kaos daleman seragam klinik tadi,” jawab Lian sejujur-jujurnya.
Seketika Cantika mendengus. “Yaudah kamu sekarang masuk mobil, ikut aku!” Dia tarik tangan Lian yang sedang kebingungan.
Telunjuk Lian menunjuk ke arah vespanya yang terparkir sendirian. “Tapi, itu motorku―” Lian bahkan tidak berhak protes karena sudah didorong Cantika duduk di kursi depan. Pandangannya ke arah motor terhalang bersamaan dengan pintu mobil yang ditutup Cantika dengan keras. “Astaga, pelan-pelan, Bu Sopir.” Lian mengelus dada.
Beberapa saat kemudian mobil lime Cantika melaju di jalanan aspal menjauhi klinik hewan yang tertempel tanda CLOSED. Cowok itu celingukan karena penasaran.
“Kamu mau ajak aku kemana, sih?”
“Aku mau ajak kamu jalan-jalan ke mall.”
“Kenapa sepagi gini malah ke mall?” tanya Lian makin heran.
Cantika menghentikan lajunya di perempatan lampu merah. Ada seorang pengamen memetik gitarnya dengan semangat dan menyanyi keras di samping mobil pick up di depan mereka.
“Soalnya aku liat kamu pake kaos tipis. Bahkan kemeja yang dipake tuh pengamen lebih bagus bahan kainnya daripada kaosmu itu, Lian!” ketus Cantika.
Lian mingkem. Malu karena yang dikatakan Cantika barusan memang fakta.
“Kaosku ini emang murahan, sih. Aku belinya di obralan. Tapi masih mending lah, daripada pakai kaos partai, ya kan?”
Cantika mendesis kesal. Dia tidak habis pikir dengan cowok yang diklaimnya sebagai tunangan itu.
“Ya ampun, Lian, meski gadungan tapi kan kamu tuh dokter hewan. Kenapa miskin banget, sih?”
Mendengar itu Lian tidak bisa menjawab maupun membantahnya. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
“Aku jadi makin harus belanjain kamu baju-baju branded deh pokoknya.” Cantika kembali melajukan mobil setelah lampu hijau menyala.
“Kenapa harus?” sergah Lian.
Cantika menoleh sebentar ke arah Lian lalu tersenyum angkuh. “Ya jelas lah tunangan aku tuh gak boleh pake baju lusuh. Apa kata orang coba kalo habis ini kita foto-foto trus aku up di medsos eh tunanganku modelannya kayak rakjel?!”
Lian langsung menggeleng tidak setuju. Matanya menyipit tajam. Bukan karena tersinggung oleh ucapan Cantika yang menyebutnya rakyat jelata. Tapi karena dia tidak mau dicap sebagai cowok mokondo. “Nggak, ah! Gengsi dong kalau apa-apa cuma nerima dari cewek. Tapi kalau kamu maksa, ya ayok aja,” lanjutnya.
Cantika geregetan dan meraup wajah Lian dengan tangan kirinya. “Gak usah sok nolak kalo ujung-ujungnya mau.”
Lian nyengir, “Mau bakso juga. Belum sarapan soalnya.”
“Iya, iya. Sekalian aja ya kalo jadi cowok mokondo tuh kudu totalitas gitu,” sindir Cantika sambil tersenyum kecil.
Lian tidak menyahut lagi. Dia keluarkan ponsel apel bututnya lalu menelepon Fandy. Lupa, harusnya dari tadi memberitahu asistennya itu kalau klinik tutup hari ini. “Fan, hari ini klinik tutup, ya. Aku ada urusan penting soalnya.”
Selang beberapa saat obrolan di telepon Lian berhenti. Bersamaan dengan mobil Cantika yang sudah terparkir di basement mall yang masih sepi.
***
Cantika menggandeng tangan Lian masuk sebuah outlet baju branded. Mereka disambut karyawan yang baru selesai bersiap-siap. Tanpa pikir panjang, dia langsung menuju rak-rak baju mulai dari kaos, kemeja, jaket, sweater. Dengan luwes dia memilah-milah semua baju itu dan langsung mengambil yang menurutnya bagus untuk Lian.
“Cobain ini.” Cantika menyerahkan baju pilihannya pada Lian. “Ini juga.”
Sambil bengong Lian menerima satu per satu baju pilihan Cantika sampai menggunung di dadanya dan hampir menutupi pandangan mata.
“Ini semua harus kucobain, Can?” tanyanya ragu.
Seketika Cantika menoleh. “Iya!”
Lian kaget. “Trus kalo semua cocok di aku?”
Cantika menghela napas. Dia ambil beberapa lembar baju dalam keranjang yang diangkat Lian di depan dadanya lalu menyerahkan pada satu karyawan perempuan. “Aku yakin semuanya bakalan cocok di kamu. Jadi semua ini bakal aku bayar, lah!”
“Tapi ini kamu belanjainnya kebanyakan. Nggak perlu sebanyak ini, Can.”
Cantika hanya merespon dengan cengiran. Dia tahu betul cowok itu hanya sok nolak tapi ujung-ujungnya mau seperti yang selama ini dia lakukan. Tapi ternyata anggapannya itu keliru. Lian malah mengembalikan beberapa baju ke raknya semula dan hanya memilih beberapa potong yang dia suka.
Cantika seketika protes, “Kamu serius?” Dia mengambil kembali baju-baju yang ditaruh Lian di rak lalu menyerahkannya pada karyawan lain.
“Kan udah kubilang aku nggak perlu sebanyak ini,” sanggah Lian.
“Gak mau tahu! Pokoknya aku tetep mau belanja banyak, buat kamu pakai sehari-hari. Jangan sampe kamu keliatan lusuh, paham?!” Cantika mengomel supaya Lian tidak membantahnya lagi. Bahkan Lian tidak diberi kesempatan untuk mencoba baju-baju itu dan langsung ditarik ke meja kasir.
Selesai kasir menghitung total belanjaan, Cantika menyerahkan black card-nya. Kasir menggesek kartu Cantika dan berkata, “Maaf, Kak, kartunya tidak bisa dipakai.”
“Apa?!” Cantika kaget tapi ngeyel, “Coba lagi, deh. Kali aja lagi error?”
“Sebentar ya, Kak.” Kasir menggesek kartu Cantika lagi tapi menggeleng. “Tetap tidak bisa, Kak.”
Cantika kesal bukan kepalang. “Aku yakin ini pasti ulah Papa!” Alhasil dia berikan kartu pribadinya dan langsung bisa melakukan pembayaran. Meski agak sayang karena itu hasil tabungannya diam-diam, tapi tidak apa-apalah daripada malu sama semua orang terutama Lian.
Tapi Lian malah menjadikan momen itu untuk meledek Cantika. “Sebelumnya aja sok-sok banget kayak nggak butuh Papa kamu, tapi ternyata masih pakai harta beliau? Huuu!”
Cantika makin bete. Dia seret Lian keluar mall dan tancap gas. “Mau kemana lagi kita, Can?” tanya Lian.
“Ke medan perang!” tegas Cantika.
“Maksudnya?” Lian mengernyit bingung.
“Kemana lagi kalo nggak ke rumah bokap gue?” Cantika menginjak gas mobilnya hingga melaju lebih kencang dari sebelumnya. Lian kaget, sebelah tangannya langsung berpegang pada hand grip. Lian masih tak habis pikir dengan perempuan yang statusnya kini jadi tunangannya ini—barbarnya sudah di luar perkiraan BMKG.
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S