Mobil lime Cantika mengerem galak di depan gerbang berukiran gold yang mewah, disertai dengan bunyi klakson yang terus dibunyikan tanpa henti.
Lian hanya bisa geleng kepala. “Udahan dong bunyiin klakson, udah kek orang kesurupan,” ucapnya mencoba menghentikan aksi gila Cantika.
Tapi bukan Cantika namanya kalau menggubris suruhan macam itu. Aksi bar-bar Cantika baru berhenti setelah gerbang mewah itu perlahan terbuka lebar. Cantika segera menginjak gas dan melajukan mobilnya ugal-ugalan hingga terparkir sembarangan di rumput hias taman depan, sampai mengukirkan jejak ban yang awut-awutan.
“Aduh, Can! Kita nggak bakal disuruh ganti rugi, kan?” tanya Lian.
“Perlu gue suruh orang buat hancurin nih taman kalo sampe kita disuruh ganti?” ketus Cantika.
Lian kicep, geleng kepala. “Nggak. Aku sempet lupa kalau kamu nggak ada lawan pokoknya.”
“Nah, itu tahu!” Cantika turun, diikuti Lian yang sudah mengenakan kemeja tartan flanel bermerek. Sempat mampir ganti baju di toilet SPBU tadi.
Cantika jalan menghentak kaki menuju rumah, sambil melempar tasnya sembarangan. Lian yang mengekor di belakangnya kaget dan buru-buru memungut tas Cantika, lalu membawanya sambil menghela napas panjang— perempuan itu sudah dirasuki setan rupanya, sampai mengabaikan harta benda.
“Can, tunggu!” panggil Lian. Dia tidak ingin ditinggal di belakang.
Lian agak tremor karena baru pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang lantainya terbuat dari marmer mengkilat dan mewah— untung Lian tadi tidak refleks melepas sepatunya. Lian celingak-celinguk memerhatikan sekitar, kalau sampai ada yang melihatnya membawakan tas cewek itu, bisa-bisa dikira jongosnya—bukan tunangan.
Cantika langsung berhenti dan menoleh kepada Lian. Panggilan barusan baru membuatnya sadar bahwa mereka harus terlihat mesra kapanpun dan di manapun berada. “Sorry, gue salfok.” Cantika langsung meminta tasnya, menggandeng tangan Lian dengan mesra, dan menyunggingkan senyuman manja. Ready? Action!
Sampai di dalam rumah, Cantika dan Lian disambut dengan Robby dan Ariny yang sedang tea time di sofa beludru kualitas tinggi. Lian sempat ternganga, hampir saja mengedarkan pandang dengan bodohnya kalau tidak dikagetkan oleh cerocos Cantika yang membentak Robby.
“Papa kan yang udah bekuin credit card aku?” teriak Cantika tanpa tedeng aling-aling.
Robby berdiri menghampiri Cantika. Ariny malah menyilangkan kaki lalu menyeruput teh hijau kesukaannya yang tersaji di meja marmer hitam di hadapannya. “Pulang-pulang bukannya kasih salam kek, minta maaf kek, malah teriak marah-marah. Dasar anak nggak punya sopan santun, kamu!” bentak Robby.
Cantika melengos sambil memutar bola mata. Sebenarnya malas menghadapi orang-orang yang membuatnya muak ini. Tapi masalah kartu kredit harus diselesaikan sekarang juga. Demi kelanjutan hidup soalnya.
“Udah deh, Pa. Nggak usah ngalihin pembicaraan.” Cantika geram. “Papa jawab aja, Papa udah bekuin CC aku, kan?” ulangnya.
Belum sempat Robby menjawab, Ariny berdiri dan mendekat. Dia elus punggung suaminya dan berkata, “Udah lah, Pa, sabar. Turuti aja apa mau Cantika. Jangan ribut terus, ya?”
Ariny ganti menatap Cantika. “Kamu juga, Can, please ya jangan berantem terus sama Papa kamu. Durhaka itu namanya. Dosa.”
Cantika muak! Siluman ular satu itu manipulatif sekali. Suara mendayu manja yang sukses menutupi karakter muka duanya karena selalu berhasil mengadu domba papa dan dirinya. “Tante nggak usah ikut campur, deh! Ini urusan aku sama Papa,” ketus Cantika.
“Cantika!” teriak Robby. Dia tak terima istri kesayangannya dikurangajari oleh anak itu. Robby maju selangkah dan hampir meraih tangan Cantika tapi Ariny menahannya. “Kurang puas kamu mempermalukan keluarga kita dan sekarang kamu kurang ajar sama Mamamu juga?”
Cantika melotot. “Hah?! Mama?!” Cantika tertawa sarkas. “Sejak awal Papa nikahin si uler ini, aku gak pernah mengakuinya sebagai pengganti Mama!”
Seketika amarah Robby memuncak membuatnya tak bisa lagi berkata-kata. Tengkuknya terasa kaku, kepalanya berdenyut. “Oke! Kalau kedatanganmu kesini hanya untuk meminta kejelasan tentang credit card-mu. Memang benar Papa bekukan. Itu pelajaran buatmu yang nggak bisa diatur!”
Robby melirik cowok di sebelah anak gadisnya itu dengan sinis. “Apalagi kamu lebih milih laki-laki yang nggak jelas asal-usulnya ini daripada pilihan Papa!” sindirnya.
Sindiran Robby barusan justru membuat Cantika terkekeh. “Yaelah, Pa... Harusnya Papa ngaca, emangnya Papa dulu tuh siapa!” Cibir Cantika.
Seketika Robby dan Ariny terdiam. Semua orang tahu betul kalau saja dulu Robby tidak menikahi mendiang mama Cantika, laki-laki itu tidak akan bisa menjadi direktur di perusahaan mertuanya, yang tak lain adalah kakek Cantika.
Meski sikap Cantika kelewat kurang ajar, tapi dia merasa perlu melakukannya demi haknya sebagai pewaris sah perusahaan kakeknya itu. Dia tidak ingin diinjak oleh papa kandungnya sendiri akibat dari hasutan mama tiri. Mengingat semua yang telah terjadi gara-gara wanita ular itu yang terus membuatnya makan hati.
“Jadi aku tegasin sekarang mendingan Papa buka lagi deh blokiran credit card-ku itu. Atau nggak, aku bakal aduin ke kakek kalo Papa masih seenaknya aja.” Tanpa menunggu ancamannya itu diberi jawaban, Cantika segera menarik tangan Lian keluar rumah yang sejak kemarin tidak ditinggalinya itu.
Robby dan Ariny hanya terpaku. Meski tidak dipedulikan, Lian sempat menganggukkan kepala pada dua orang itu sebagai tanda hormat kemudian terseret Cantika. Dia hanya bisa geleng kepala karena heran pada cewek bar-bar itu. “Bahkan bapak sendiri bisa diancam. Bener-bener siluman rubah,” batinnya.
Cantika dan Lian kembali ke mobil. Begitu mobilnya melaju keluar gerbang, dari arah berbeda datang mobil Dion yang disuruh orangtuanya untuk berkunjung ke rumah Cantika. Dion menghentikan mobil setelah melihat siluet Lian di kursi depan sebelah Cantika. Pemandangan itu membuatnya makin geram. Tangannya terkepal. Dan seketika terlintas sebuah ide di kepalanya.
“Oke, Can, lo jual, gue beli...” desis Dion sinis. Dia keluarkan ponsel dan menelepon nomor Lian. Awalnya panggilannya ditolak. Tapi panggilan berikutnya diterima, meski jeda agak lama.
“Halo?” sapa Lian di seberang telepon.
“Gue butuh ngomong empat mata sama lo,” jawab Dion. Segera dia tutup panggilan tanpa menunggu jawaban penerimanya.
***
Mobil Cantika berhenti di depan klinik hewan Lian. Sebenarnya Cantika sempat melarang Lian dan hendak mengajaknya ke tempat lain lagi untuk menghabiskan waktu sampai malam. Bukan— Cantika bukan berniat mengajak Lian check in. Meski sudah resmi tunangan, Cantika yakin jika pria itu tidak akan bersedia jika diajak berskidipapap.
Cantika sebenarnya hanya ingin mengajak Lian ke barber shop untuk merapikan rambutnya yang sudah agak kepanjangan, terlebih modelnya juga tidak jelas. Cantika gatal ingin merapikan rambutnya.
Lian memang tampan, wajahnya oriental dengan hidung mancung, bibir tipisnya juga berwarna cerah, karena Lian tak pernah merokok. Overall, Lian memang memiliki fitur wajah yang menarik. Tapi Cantika ingin make over Lian dan memaksimalkan ketampanannya hingga melampaui Dion.
Tapi Lian berdalih harus mengecek motor vespanya yang ditinggal di parkiran klinik sendirian. Meski butut, tetap saja sayang. Jadi mau tidak mau Cantika menurutinya dan mengantarnya kembali ke tempat itu.
Namun saat Lian baru turun dari mobil, cowok itu malah langsung membanting pintu mobil Cantika dengan keras. “Nggak usah mampir ya, Can. Kamu pasti capek meski nggak sebanyak aku. Langsung aja sana pulang. Bye.”
Cantika sewot, “Dasar! Bilang aja kalo lo gak sanggup ngejamu gue di gubuk lo!” Sedetik kemudian Cantika menginjak gasnya. Meninggalkan Lian yang geleng kepala tapi juga lega.
Setelah mobil Cantika menghilang dari pandangan, giliran mobil Dion datang. Dion menghentikan mobilnya tepat di sebelah Lian yang masih berdiri di tepi jalan.
Dia bukakan pintu, “Masuk!” suruhnya tanpa melihat ke arah Lian. Keduanya masih canggung karena kejadian sebelumnya. Meski Lian sudah memberinya maaf setelah membuatnya babak belur, tapi tetap saja perasaan Dion tidak karuan.
Lian masuk ke mobil Dion tanpa membantah. Karena tujuannya minta diantar kembali Cantika tadi memang untuk itu.
“Kita mau kemana?” tanyanya.
“Ke tempat biasa.”
Sebenarnya Lian merasa letih seharian itu menghadapi Cantika sekaligus keluarganya. Tapi juga tidak enak kalau harus menolak ajakan sahabatnya itu.
“Nggak bisa ngomong di sini aja?” Lian mencoba memberi pilihan.
“Nggak. Jangan sampe tuh cewek balik lagi trus lihat kita ngobrol berdua,” bantah Dion segera.
Tanpa menyahut lagi, Lian langsung memasang seatbelt. “Jadi yang mau kita omongin tuh dia?”
Dion menoleh kasar pada Lian. “Menurut lo? Siapa lagi coba?” Sorot mata Dion tajam menatap Lian yang menghela napas lelah. “Gue butuh penjelasan sejelas-jelasnya dari lo!”
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S