Share

Bab 4

Theo menyeringai dan menyeruput susu strawberrynya setelah mendengar nada khawatir dari pertanyaan Angga.

“Saya menerimanya, karena dia satu-satunya anak yang sengaja di sembunyikan keluarga Atmadja. Pasti ada alasan kuat kenapa mereka menyembunyikan identitas gadis itu, dan jika dia ada di tangan saya maka itu sebuah keuntungan bukan?”

Angga mengernyitkan keningnya, entah mengapa Tuannya berfikir terlalu positif untuk hal sekrusial ini.

“Tapi bagaimana kalau gadis itu adalah senjata Atmadja untuk menghancurkan kita?”

Sebuah senyuman tulus tercetak di wajah tampan milik Theo ketika ia menatap pintu kafe, mengingat saat beberapa detik yang lalu gadis itu pergi dari tempatnya.

“Hmm … saya ga yakin, lagipula orangtua saya juga sudah mendesak saya supaya cepet menikah dan punya keturunan, bukankah ini perjanjian yang saling menguntungkan?”

Sementara itu, Brisia Atmadja selaku satu-satunya orang yang langsung jadi topik perbincangan setelah ia pergi dari hadapan Theo, segera bergegas masuk ke dalam mobil Audi A8 berwarna hitam, dimana sang pengemudi telah menunggunya cukup lama.

“Maaf kalau aku lama, Joe!” ujar Brisia sambil menutup pintu mobil.

“Gak apa-apa, kali ini buat kontrak sama investor lagi? Gimana? Berhasil?” tanya Jonathan, sementara itu tangannya yang panjang dengan cekatan membantu memasangkan safety belt untuk Brisia.

Brisia tersenyum kaku namun berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja, “Iya, tentu saja berhasil. Semuanya berjalan lancar!”

“Syukurlah! Aku harap kali ini mamamu ga ngehasut para investor lagi, sehingga bisnismu bisa sukses, dan kalau kamu butuh investor lebih banyak, aku siap bantu kamu kok, Bi. Aku bakal terus dukung kamu, jadi semangat ya Bi!” ujar Jonathan menyemangati Brisia sambil tersenyum hingga terbentuklah lesung pipi di pipi kanannya yang membuat ia semakin manis.

Brisia hanya tersenyum, dalam hati ia merasa bersalah karena telah berbohong pada sahabatnya, karena sebenarnya yang dia lakukan adalah melamar seorang pria untuk bisa menikahinya yang bisa berinvestasi lebih banyak untuk kehidupannya dalam jangka waktu panjang.

***

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, beberapa mobil mewah memperlambat lajunya ketika mereka sampai di sebuah gedung megah. Beberapa pemilik mobil-mobil mewah itu turun dan datang dengan pakaian dan segala aksesoris mahal yang menunjukkan tingkat kekayaan mereka di acara khusus exportir Indonesia, dimana para expotir perusahaan raksasa berkumpul di suatu tempat, membahas goal dan achievement mereka tak lupa pamer dan pencitraan satu sama lain.

Sebuah mobil Sweptail Rolls-Royce seharga 12,3 juta dollar yang memberikan kesan classic nan mewah itu berhenti tepat di ujung red carpet dan menurunkan seorang pria berparas tampan dengan tinggi 180 cm, kedua kaki jenjangnya berjalan dengan pasti, membawanya ke dalam gedung dengan penuh kepercayaan diri.

Theodore Maxmillan Parson, si pria cerdik dengan penuh kejutan, begitu orang-orang menjulukinya. Ketika dirinya memasuki venue orang-orang segera menoleh kearahnya.

“Tuan Muda Parson, sudah datang!” seru seorang wanita membuat orang-orang menaruh perhatian pada pria tinggi dengan postur tubuh impian, berkulit tan membuatnya semakin kharismatik.

Apalagi jika sudah membicarakan parasnya, percampuran kesan manis pria oriental dengan kesan gagah pria Western terasa sangat cocok terpadu dengan rambut hitam bergaya curtain cut. Satu hal yang menjadi pusat daya tarik Theodore selain hidungnya yang sempurna dan bibirnya yang sehat menawan, ialah mata cokelatnya yang jernih serta lipatan mata yang tak sama. Ya, seolah menjadi pria yang lahir dengan ketampanan pilihan mata sebelah kanannya monolid sementara mata kirinya double eyelid atau memiliki dua lipatan mata. Seakan menjadi pria yang bersinar sendirian, sosok Theo dalam sekejap menjadi pusat perhatian.

Beberapa orang diantara mereka bahkan segera berusaha mendekatkan diri agar bisa masuk ke circle dewan direksi salah satu perusahaan Export raksasa kenamaan Parson Group, namun Vice Komisaris yang masih tergolong muda itu acuh tak acuh pada orang-orang yang menyapanya. Dia hanya fokus pada dua orang wanita yang sedang perang dingin di dekat meja buffet.

“Apa kamu sudah tak punya otak? Kenapa kamu ada disini, gadis sial?” tanya wanita tua itu dengan pakaian glamour dan aksesoris mahal kenamaan luar negri.

Gadis yang di umpatnya itu menoleh pada wanita yang sudah berumur namun masih nampak terlihat segar karena ditunjang dengan perawatan wajah dan tubuh yang mumpuni. Dengan wajah datar, gadis itu balik mengajukan pertanyaan padanya.

“Kenapa? Terkejut melihatku disini?”

Theo mengkatupkan mulutnya, berusaha tak tertawa mendengar gadis itu menghardik wanita tua di sebelahnya. Dalam hati Theo cukup takjub melihat acting ibu dan anak yang seolah tak saling kenal di hadapan publik.

“Cepat angkat kaki dari sini sebelum orang-orang menyadari keberadaanmu!” tegas Anne dengan penuh penekanan, terlihat jelas bahwa Brisia sukses membuat ibu tirinya geram, dan Brisia sangat menikmati itu.

“Aku tidak akan pergi, sebelum memberikanmu kejutan.”

Anne menautkan kedua alisnya, ia harap gadis di hadapannya tidak membuka aib keluarga Atmadja di depan para relasi bisnisnya. Anne juga menenangkan dirinya sendiri, bahwa tak mungkin Brisia mampu melakukan hal aneh-aneh di acara seperti ini hanya karena tempo hari Anne membuat bisnis Brisia bangkrut untuk yang ke tiga kalinya.

Theo yang sudah gatal ingin campur tangan akhirnya memutuskan untuk hadir ditengah perkelahian mereka berdua.

“Good evening Nyonya Anne Atmadja, lama tak berjumpa!” sapa Theo dengan suara husky khas miliknya. Pertemuan dua orang rival perusahaan terbesar dunia ekspor membuat mereka menjadi pusat perhatian dalam sekejap.

“Tuan Muda … Parson?” Anne kebingungan, kenapa Tuan Muda yang angkuh itu tiba-tiba menghampiri mereka dan dia berdiri di sebelah putri tirinya.

Kebingungan Anne bertambah ketika Theo merangkul pundak Brisia lalu berkata dengan suara yang sengaja di buat lebih keras agar orang-orang dapat mendengar ucapannya dengan jelas.

“Terimakasih ya Nnyonya Anne sudah berbaik hati menemani gadis ini, kelihatannya kalian berbicara dengan akrab. Apa dia sudah memberitahu anda tentang acara pernikahan kami?”

***

“Sepertinya kamu senang sekali, Nona.” Suara husky milik Theo membuat Brisia menoleh kearahnya dan tersenyum,

“Harusnya aku kaya gini dari dulu!”

Theo menyeringai melihat ekspresi puas milik Brisia ketika melihat Anne yang sudah di kerumuni dan di cecar dengan berbagai pertanyaan dari orang-orang yang penasaran tentang Brisia.

Pria bertubuh jenjang itu menggenggam tangan Brisia dan membawanya pergi dari gedung ini. Di luar gedung sudah ada Angga yang berdiri di pintu bagian belakang mobil Sweptail Rolls-Royce berwarna hitam metalik yang terbuka, dan dengan tergesa Theo membawa Brisia masuk kedalam mobilnya.

“Kita mau kemana?” tanya Brisia dengan suara nyaring begitu pintu mobil ditutup.

“Ssstth! Jangan berisik! Saya sengaja kabur dari sana karena saya ga suka keramaian! Jadi sebaiknya kamu juga diam sebelum saya tendang keluar!” ancam Theo membuat Brisia mengernyitkan keningnya.

Pasrah hendak dibawa kemana oleh Tuan Muda ini, Brisia hanya menatap keluar jalan. Jalanan kota Jakarta tidak semacet biasanya, sehingga mobil yang ditumpangi Brisia bisa berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Interior yang mewah dan elegan mendominasi isi mobil ini, kursi dan sandarannya yang empuk membuat Brisia rileks dan nyaman sehingga tak sengaja ia tertidur dan menaruh kepalanya di bahu Theo.

Merasa terganggu dengan kepala Brisia yang menyandar ke bahunya secara tiba-tiba, Theo segera menghempaskan kepala gadis itu dengan kasar sehingga kepala Brisia membentur jendela.

Duk!

“Aw, sakit!” pekik Brisia sambil mengusap kepalanya. Matanya yang masih lengket dipaksa terbuka ketika Theo terlihat kesal.

“Angga berhenti!” titah Theo membuat mobil melipir dan berhenti di pinggir jalan.

“Kenapa berhenti? Memangnya kita sudah sampai mana?”

“Masih di jalan, tapi saya mau kamu keluar!” jawab Theo dengan tegas.

Brisia membulatkan matanya seraya bertanya, “Apa? Kenapa tiba-tiba?”

“Karena kamu barusan teriak, dan itu buat kuping saya sakit!”

“Tapikan aku teriak karena kamu dorong sampai kepalaku ngebentur jendela!”

“Sstth! Dengar ya Nona, saya rasa mobil ini tak cukup luas untuk kita berdua,” ujar Theo yang mulai risih terhadap Brisia, namun Brisia hanya celingak-celinguk melihat space kosong di antara mereka.

“Menurutku mobil ini masih luas, cukup-cukup aja kok!”

Theo menghempaskan nafas beratnya lalu menggaruk keningnya yang tak gatal. Dia mencoba sabar menghadapi gadis yang pura-pura polos dihadapannya.

“Nona, saya tidak suka berbagi tempat. Jadi sebaiknya kamu keluar dari sini.”

Brisia terbelalak ketika ia di usir terang-terangan oleh pria dihadapannya.

“Jadi begini perlakuanmu terhadap calon istri?!”

“Baru calon ‘kan? Lagipula harusnya kamu pulang dengan siapa yang telah menjemputmu, bukan dengan saya,” jawab Theo sambil melipat tangannya di dada, sementara jari telunjuk dan jari tengahnya yang jenjang memberi isyarat agar Brisia segera keluar dari mobilnya.

“Benar-benar keterlaluan! Kalau memang bagimu mobil ini sesempit itu, lain kali bawa limosin dong!” balas Brisia. Dia keluar dan membanting pintu mobil dengan keras.

Theo tak bergeming, namun Angga mulai menginjak pedal gas dengan perlahan.

“Maaf Tuan, apa anda tidak keterlaluan pada Nona itu?” pertanyaan Angga membuat Theo melihat spion dan menangkap sosok Brisia yang berdiri di pinggir jalan sambil memeluk tubuhnya sendiri. Brisia pasti merasa sangat kedinginan karena berdiri di pinggir jalan hanya mengenakan gaun tanpa lengan.

“Hah … Angga, kita mundur!” titah Theo sementara jari-jari jenjangnya aktif membuka kancing jas dan melepas jas abu miliknya.

Brisia yang sedang sibuk mencari taksi merasa heran karena mobil milik Theo mundur lagi dan berhenti di hadapannya, perlahan jendela mobil itu terbuka dan terlemparlah sebuah jas tepat mengenai wajahnya.

“Saya sudah ga butuh itu, jadi pakai saja. Atau kalau belum dapat taksi, beli saja mobil kecil, jas yang ada ditanganmu seharga mobil kok, bahkan ada kembaliannya kalau kamu pandai menawar.”

“A-apa?!”

“Bye-bye~” ledek Theo lalu menutup jendela mobilnya, membuat Brisia geram dan meremas jas itu dengan penuh kekesalan.

Theo menyembunyikan senyum miliknya saat tak sengaja Angga memergoki Theo yang masih mengamati Brisia di belakang.

“Tuan, sebenarnya saya masih ga ngerti kenapa Tuan memilih Nona itu untuk dinikahi? Apakah hanya karena statusnya? Tuan, anda adalah manusia bermoral, pernikahan bukan hanya sekedar permainan atau kontrak saja,” ujar Angga mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Dia tahu tak seharusnya dia ikut campur masalah Tuannya, tapi ia tetap mengeluarkan isi hatinya tanpa diminta.

Theo yang mendengar itu hanya memejamkan matanya dan menghirup aroma parfum milik Brisia yang masih tertinggal dikursi sebelahnya, dalam hatinya ia berkata sambil membayangkan sosok Brisia.

‘Entahlah, kenapa aku memilihnya? Apa karena dia gadis yang berani dan keras kepala? Hal itu masuk dalam kategori pendamping keturunan Parson, ‘kan?’

“Angga!”

“Ya Tuan?” sahut Angga ketika Theo mulai buka suara.

“Cari tahu lebih banyak dan sedetail mungkin info tentang Brisia Atmadja.”

“Tapi Tuan, bukankah sebaiknya kita–”

“Cari tahu saja tentang dia! Saya harus mengenalnya lebih jauh dari siapa pun!” tukas Theo sambil menatap jalan di luar jendela, sementara otaknya memikirkan bagaimana caranya agar gadis yang terkucilkan itu mampu diterima di keluarganya dan mampu bertahan di dunianya yang memiliki kehidupan yang berbeda?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status