Theo menyeringai dan menyeruput susu strawberrynya setelah mendengar nada khawatir dari pertanyaan Angga.
“Saya menerimanya, karena dia satu-satunya anak yang sengaja di sembunyikan keluarga Atmadja. Pasti ada alasan kuat kenapa mereka menyembunyikan identitas gadis itu, dan jika dia ada di tangan saya maka itu sebuah keuntungan bukan?”
Angga mengernyitkan keningnya, entah mengapa Tuannya berfikir terlalu positif untuk hal sekrusial ini.
“Tapi bagaimana kalau gadis itu adalah senjata Atmadja untuk menghancurkan kita?”
Sebuah senyuman tulus tercetak di wajah tampan milik Theo ketika ia menatap pintu kafe, mengingat saat beberapa detik yang lalu gadis itu pergi dari tempatnya.
“Hmm … saya ga yakin, lagipula orangtua saya juga sudah mendesak saya supaya cepet menikah dan punya keturunan, bukankah ini perjanjian yang saling menguntungkan?”
Sementara itu, Brisia Atmadja selaku satu-satunya orang yang langsung jadi topik perbincangan setelah ia pergi dari hadapan Theo, segera bergegas masuk ke dalam mobil Audi A8 berwarna hitam, dimana sang pengemudi telah menunggunya cukup lama.
“Maaf kalau aku lama, Joe!” ujar Brisia sambil menutup pintu mobil.
“Gak apa-apa, kali ini buat kontrak sama investor lagi? Gimana? Berhasil?” tanya Jonathan, sementara itu tangannya yang panjang dengan cekatan membantu memasangkan safety belt untuk Brisia.
Brisia tersenyum kaku namun berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja, “Iya, tentu saja berhasil. Semuanya berjalan lancar!”
“Syukurlah! Aku harap kali ini mamamu ga ngehasut para investor lagi, sehingga bisnismu bisa sukses, dan kalau kamu butuh investor lebih banyak, aku siap bantu kamu kok, Bi. Aku bakal terus dukung kamu, jadi semangat ya Bi!” ujar Jonathan menyemangati Brisia sambil tersenyum hingga terbentuklah lesung pipi di pipi kanannya yang membuat ia semakin manis.
Brisia hanya tersenyum, dalam hati ia merasa bersalah karena telah berbohong pada sahabatnya, karena sebenarnya yang dia lakukan adalah melamar seorang pria untuk bisa menikahinya yang bisa berinvestasi lebih banyak untuk kehidupannya dalam jangka waktu panjang.
***
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, beberapa mobil mewah memperlambat lajunya ketika mereka sampai di sebuah gedung megah. Beberapa pemilik mobil-mobil mewah itu turun dan datang dengan pakaian dan segala aksesoris mahal yang menunjukkan tingkat kekayaan mereka di acara khusus exportir Indonesia, dimana para expotir perusahaan raksasa berkumpul di suatu tempat, membahas goal dan achievement mereka tak lupa pamer dan pencitraan satu sama lain.
Sebuah mobil Sweptail Rolls-Royce seharga 12,3 juta dollar yang memberikan kesan classic nan mewah itu berhenti tepat di ujung red carpet dan menurunkan seorang pria berparas tampan dengan tinggi 180 cm, kedua kaki jenjangnya berjalan dengan pasti, membawanya ke dalam gedung dengan penuh kepercayaan diri.
Theodore Maxmillan Parson, si pria cerdik dengan penuh kejutan, begitu orang-orang menjulukinya. Ketika dirinya memasuki venue orang-orang segera menoleh kearahnya.
“Tuan Muda Parson, sudah datang!” seru seorang wanita membuat orang-orang menaruh perhatian pada pria tinggi dengan postur tubuh impian, berkulit tan membuatnya semakin kharismatik.
Apalagi jika sudah membicarakan parasnya, percampuran kesan manis pria oriental dengan kesan gagah pria Western terasa sangat cocok terpadu dengan rambut hitam bergaya curtain cut. Satu hal yang menjadi pusat daya tarik Theodore selain hidungnya yang sempurna dan bibirnya yang sehat menawan, ialah mata cokelatnya yang jernih serta lipatan mata yang tak sama. Ya, seolah menjadi pria yang lahir dengan ketampanan pilihan mata sebelah kanannya monolid sementara mata kirinya double eyelid atau memiliki dua lipatan mata. Seakan menjadi pria yang bersinar sendirian, sosok Theo dalam sekejap menjadi pusat perhatian.
Beberapa orang diantara mereka bahkan segera berusaha mendekatkan diri agar bisa masuk ke circle dewan direksi salah satu perusahaan Export raksasa kenamaan Parson Group, namun Vice Komisaris yang masih tergolong muda itu acuh tak acuh pada orang-orang yang menyapanya. Dia hanya fokus pada dua orang wanita yang sedang perang dingin di dekat meja buffet.
“Apa kamu sudah tak punya otak? Kenapa kamu ada disini, gadis sial?” tanya wanita tua itu dengan pakaian glamour dan aksesoris mahal kenamaan luar negri.
Gadis yang di umpatnya itu menoleh pada wanita yang sudah berumur namun masih nampak terlihat segar karena ditunjang dengan perawatan wajah dan tubuh yang mumpuni. Dengan wajah datar, gadis itu balik mengajukan pertanyaan padanya.
“Kenapa? Terkejut melihatku disini?”
Theo mengkatupkan mulutnya, berusaha tak tertawa mendengar gadis itu menghardik wanita tua di sebelahnya. Dalam hati Theo cukup takjub melihat acting ibu dan anak yang seolah tak saling kenal di hadapan publik.
“Cepat angkat kaki dari sini sebelum orang-orang menyadari keberadaanmu!” tegas Anne dengan penuh penekanan, terlihat jelas bahwa Brisia sukses membuat ibu tirinya geram, dan Brisia sangat menikmati itu.
“Aku tidak akan pergi, sebelum memberikanmu kejutan.”
Anne menautkan kedua alisnya, ia harap gadis di hadapannya tidak membuka aib keluarga Atmadja di depan para relasi bisnisnya. Anne juga menenangkan dirinya sendiri, bahwa tak mungkin Brisia mampu melakukan hal aneh-aneh di acara seperti ini hanya karena tempo hari Anne membuat bisnis Brisia bangkrut untuk yang ke tiga kalinya.
Theo yang sudah gatal ingin campur tangan akhirnya memutuskan untuk hadir ditengah perkelahian mereka berdua.
“Good evening Nyonya Anne Atmadja, lama tak berjumpa!” sapa Theo dengan suara husky khas miliknya. Pertemuan dua orang rival perusahaan terbesar dunia ekspor membuat mereka menjadi pusat perhatian dalam sekejap.
“Tuan Muda … Parson?” Anne kebingungan, kenapa Tuan Muda yang angkuh itu tiba-tiba menghampiri mereka dan dia berdiri di sebelah putri tirinya.
Kebingungan Anne bertambah ketika Theo merangkul pundak Brisia lalu berkata dengan suara yang sengaja di buat lebih keras agar orang-orang dapat mendengar ucapannya dengan jelas.
“Terimakasih ya Nnyonya Anne sudah berbaik hati menemani gadis ini, kelihatannya kalian berbicara dengan akrab. Apa dia sudah memberitahu anda tentang acara pernikahan kami?”
***
“Sepertinya kamu senang sekali, Nona.” Suara husky milik Theo membuat Brisia menoleh kearahnya dan tersenyum,
“Harusnya aku kaya gini dari dulu!”
Theo menyeringai melihat ekspresi puas milik Brisia ketika melihat Anne yang sudah di kerumuni dan di cecar dengan berbagai pertanyaan dari orang-orang yang penasaran tentang Brisia.
Pria bertubuh jenjang itu menggenggam tangan Brisia dan membawanya pergi dari gedung ini. Di luar gedung sudah ada Angga yang berdiri di pintu bagian belakang mobil Sweptail Rolls-Royce berwarna hitam metalik yang terbuka, dan dengan tergesa Theo membawa Brisia masuk kedalam mobilnya.
“Kita mau kemana?” tanya Brisia dengan suara nyaring begitu pintu mobil ditutup.
“Ssstth! Jangan berisik! Saya sengaja kabur dari sana karena saya ga suka keramaian! Jadi sebaiknya kamu juga diam sebelum saya tendang keluar!” ancam Theo membuat Brisia mengernyitkan keningnya.
Pasrah hendak dibawa kemana oleh Tuan Muda ini, Brisia hanya menatap keluar jalan. Jalanan kota Jakarta tidak semacet biasanya, sehingga mobil yang ditumpangi Brisia bisa berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Interior yang mewah dan elegan mendominasi isi mobil ini, kursi dan sandarannya yang empuk membuat Brisia rileks dan nyaman sehingga tak sengaja ia tertidur dan menaruh kepalanya di bahu Theo.
Merasa terganggu dengan kepala Brisia yang menyandar ke bahunya secara tiba-tiba, Theo segera menghempaskan kepala gadis itu dengan kasar sehingga kepala Brisia membentur jendela.
Duk!
“Aw, sakit!” pekik Brisia sambil mengusap kepalanya. Matanya yang masih lengket dipaksa terbuka ketika Theo terlihat kesal.
“Angga berhenti!” titah Theo membuat mobil melipir dan berhenti di pinggir jalan.
“Kenapa berhenti? Memangnya kita sudah sampai mana?”
“Masih di jalan, tapi saya mau kamu keluar!” jawab Theo dengan tegas.
Brisia membulatkan matanya seraya bertanya, “Apa? Kenapa tiba-tiba?”
“Karena kamu barusan teriak, dan itu buat kuping saya sakit!”
“Tapikan aku teriak karena kamu dorong sampai kepalaku ngebentur jendela!”
“Sstth! Dengar ya Nona, saya rasa mobil ini tak cukup luas untuk kita berdua,” ujar Theo yang mulai risih terhadap Brisia, namun Brisia hanya celingak-celinguk melihat space kosong di antara mereka.
“Menurutku mobil ini masih luas, cukup-cukup aja kok!”
Theo menghempaskan nafas beratnya lalu menggaruk keningnya yang tak gatal. Dia mencoba sabar menghadapi gadis yang pura-pura polos dihadapannya.
“Nona, saya tidak suka berbagi tempat. Jadi sebaiknya kamu keluar dari sini.”
Brisia terbelalak ketika ia di usir terang-terangan oleh pria dihadapannya.
“Jadi begini perlakuanmu terhadap calon istri?!”
“Baru calon ‘kan? Lagipula harusnya kamu pulang dengan siapa yang telah menjemputmu, bukan dengan saya,” jawab Theo sambil melipat tangannya di dada, sementara jari telunjuk dan jari tengahnya yang jenjang memberi isyarat agar Brisia segera keluar dari mobilnya.
“Benar-benar keterlaluan! Kalau memang bagimu mobil ini sesempit itu, lain kali bawa limosin dong!” balas Brisia. Dia keluar dan membanting pintu mobil dengan keras.
Theo tak bergeming, namun Angga mulai menginjak pedal gas dengan perlahan.
“Maaf Tuan, apa anda tidak keterlaluan pada Nona itu?” pertanyaan Angga membuat Theo melihat spion dan menangkap sosok Brisia yang berdiri di pinggir jalan sambil memeluk tubuhnya sendiri. Brisia pasti merasa sangat kedinginan karena berdiri di pinggir jalan hanya mengenakan gaun tanpa lengan.
“Hah … Angga, kita mundur!” titah Theo sementara jari-jari jenjangnya aktif membuka kancing jas dan melepas jas abu miliknya.
Brisia yang sedang sibuk mencari taksi merasa heran karena mobil milik Theo mundur lagi dan berhenti di hadapannya, perlahan jendela mobil itu terbuka dan terlemparlah sebuah jas tepat mengenai wajahnya.
“Saya sudah ga butuh itu, jadi pakai saja. Atau kalau belum dapat taksi, beli saja mobil kecil, jas yang ada ditanganmu seharga mobil kok, bahkan ada kembaliannya kalau kamu pandai menawar.”
“A-apa?!”
“Bye-bye~” ledek Theo lalu menutup jendela mobilnya, membuat Brisia geram dan meremas jas itu dengan penuh kekesalan.
Theo menyembunyikan senyum miliknya saat tak sengaja Angga memergoki Theo yang masih mengamati Brisia di belakang.
“Tuan, sebenarnya saya masih ga ngerti kenapa Tuan memilih Nona itu untuk dinikahi? Apakah hanya karena statusnya? Tuan, anda adalah manusia bermoral, pernikahan bukan hanya sekedar permainan atau kontrak saja,” ujar Angga mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Dia tahu tak seharusnya dia ikut campur masalah Tuannya, tapi ia tetap mengeluarkan isi hatinya tanpa diminta.
Theo yang mendengar itu hanya memejamkan matanya dan menghirup aroma parfum milik Brisia yang masih tertinggal dikursi sebelahnya, dalam hatinya ia berkata sambil membayangkan sosok Brisia.
‘Entahlah, kenapa aku memilihnya? Apa karena dia gadis yang berani dan keras kepala? Hal itu masuk dalam kategori pendamping keturunan Parson, ‘kan?’
“Angga!”
“Ya Tuan?” sahut Angga ketika Theo mulai buka suara.
“Cari tahu lebih banyak dan sedetail mungkin info tentang Brisia Atmadja.”
“Tapi Tuan, bukankah sebaiknya kita–”
“Cari tahu saja tentang dia! Saya harus mengenalnya lebih jauh dari siapa pun!” tukas Theo sambil menatap jalan di luar jendela, sementara otaknya memikirkan bagaimana caranya agar gadis yang terkucilkan itu mampu diterima di keluarganya dan mampu bertahan di dunianya yang memiliki kehidupan yang berbeda?
***
Tepat hampir tengah malam Brisia sampai di gedung apartement sederhana miliknya. Begitu ia masuk matanya membulat ketika melihat sosok ibu tirinya yang sedang duduk di sofa.“Sudah selesai main peran jadi Cinderella-nya?” tanya Anne membuat Brisia menaikkan sebelah alisnya. Anne menghempaskan nafasnya dengan kasar karena ia tak mau lagi membuang-buang waktu.“Katakan padaku kenapa kamu berani melakukan itu?” tanya Anne menatap tajam gadis yang tengah berdiri di depannya, gadis yang sangat ia benci dalam hidupnya.“Karena aku ingin menikah,” jawab Brisia dengan enteng seolah mempermainkan lawan bicaranya.“Hah! Yang benar saja! Kamu fikir aku gak tahu apa yang ada di otakmu?! Gadis licik sepertimu ga mungkin ingin menikah tiba-tiba dengan orang macam itu! Apalagi Parson Group itu kompetitor terberat kita!”Emosi Anne mulai naik, bentakannya pada Brisia menggema sampai gadis itu memejamkan matanya sekej
Gila. Mungkin itu adalah kata yang tepat menggambarkan karakter Theo yang mudah membuat keputusan tapi selalu menepatinya. Seperti malam ini ketika Brisia menggandeng lengan Theo yang membawanya bertemu beberapa dewan direksi perusahaan Parson Group.Ini adalah kali pertama bagi Brisia menghadiri acara makan malam khusus para pebisnis hebat. Untungnya Brisia memiliki kepribadian supel hingga ia tak kesulitan beradaptasi dengan situasi seperti malam ini.“Hallo, maaf saya datang terlambat!”Brisia membeku ketika mendengar suara pria yang familiar di telinganya, sementara itu orang-orang menyambut kehadirannya dengan ramah.“Hai Pak Jonathan! Saya kira ga bakalan datang, padahal malam ini special banget loh Pak!”Mendengar Elios menyebut nama Jonathan membuat Brisia membulatkan matanya, ia bahkan sampai berhenti mengunyah potongan daging di dalam mulutnya.“Kenapa, El? Special apanya nih?” Jonathan nampak se
Lantunan music jazz berjudul The Two of Us milik Seawind menggema di ruang kerja Theo. Pria yang daritadi berkutat dengan beberapa dokumen di meja kerjanya ikut asyik bernyanyi seirama dengan lagu jadul yang terkenal ditahun 80-an.Sesekali, sambil memutar pena ditangannya Theo menyahuti lagu itu dengan suara merdunya. Tak bisa di pungkiri bahwa pria bersuara husky itu juga memiliki bakat dalam bernyanyi, bermain piano serta memainkan Saxophone.Mengingat kejadian tadi pagi saat ia berhasil mengerjai Brisia sampai wajah gadis itu memerah seperti kepiting rebus membuat Theo terus mengulang lagu-lagu Seawind selama tiga puluh menit terakhir.“Tuan, sepertinya mood anda sedang baik, ya?”“Apa sih, Angga?”Theo berdalih pada pria yang berdiri di ambang pintu. Sebenarnya Angga sudah mengetuk pintu daritadi untuk mendapatkan ijin masuk, tapi suara lagu jazz membuat Theo menghiraukan ketukan pintu dari Angga.Theo menekan se
"Bebas dari tempat wanita tua itu, aku malah terkurung disini! Ah, sial!" umpat Brisia ketika melihat pantulan dirinya di jendela. Brisia memandangi senja dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat karena perutnya tak terisi apapun sejak pagi. Setelah Theo pergi siang tadi, ia hanya duduk di sofa, memeluk kedua kakinya sambil menatap langit dengan berbagai pikiran negatif silih berganti. “Gimana kabar ibu, ya? Gimana caranya aku bisa keluar dari sini? Kalau aku buat ruangan ini kebakaran, apa pemadam kebakaran bisa nyelametin aku?” gumamnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, merasa sesuatu yang basah di sofa membuat Brisia menoleh. “Ah… sial!” keluhnya ketika melihat noda darah disana. Dia sampai lupa bahwa siklus bulanannya mulai hari ini. Tak betah dengan dirinya yang kotor, Brisia memutuskan mandi, membersihkan dirinya sebersih mungkin. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan kali ini, “Si Tuan Muda Parson itu … ga punya pakaian dalam wanita apa ya?
Malu rasanya ketika membelikan pembalut dan pakaian dalam wanita sampai hujan-hujanan dan terpegoki ibu sendiri. Theo yang berada di posisi itu hanya mampu pasrah dan bersikap tenang agar ia tak gegabah.“Sial, kenapa Mama malah berkunjung sekarang?” keluh Theo sambil membilas diri dan memakai pakaian hangat, setelah ini ia harus segera menemui Mamanya dan menjelaskan keberadaan Brisia dengan benar.“Kamu mencintai gadis itu? Sungguh?” suara sopran wanita paruh baya dihadapannya mengintrogasi setelah Theo berhasil menyelesaikan penjelasannya tentang dia dan Brisia.Theo berdehem, berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mamanya dengan baik, “Menurut Mama?”“Coba kamu ceritakan sekali lagi,” pinta Nyonya Vivian dengan suara lembut membuat anak tunggalnya tersenyum kecut.Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras, bahkan kini sudah hampir larut malam. Nyonya Vivian duduk di sofa ruang tamu,
“Dia baik-baik saja, hanya serangan panik ringan dan sepertinya dia juga belum sarapan jadi dia pingsan. Tunggu saja sampai dia siuman, Tuan. Anda bisa membawanya pergi setelah cairan infusnya habis,” jelas seorang dokter pria sebaya dengan Theo. Ya, dia adalah dokter Garra yang telah cukup lama mengenal Brisia. “Sekedar saran, Brisia kadang sulit mengontrol emosinya jadi jangan terlalu ‘mengagetkannya’, Anda paham kan maksud saya?” tanya dokter Garra seraya tersenyum, membuat Theo mengangguk. Dokter Garra ikut mengangguk dan berpamitan keluar ruangan, menyisakan Theo dan Brisia yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Mengetahui bahwa Brisia tiba-tiba pingsan karena tak menemukan sosok ibunya, membuat Theo bergegas menyusul Brisia dan meninggalkan aktivitas kerjaannya sejenak. Theo berdiri di samping Brisia, ia melipat tangan didada sambil memerhatikan wajah gadis di hadapannya yang pucat tanpa riasan. Perlahan kedua bola mata Brisia bergerak dibalik kel
Setelah semua kekacauan di dapur berhenti, Theo segera bangun, kedua netranya bak mesin scanning memindai seluruh kekacauan di sekelilingnya. Ia menghempaskan nafas dan kini mata tajam itu beralih pada gadis yang berdiri di depannya dengan ekspresi terkejut. Kedua bola mata itu seperti hampir keluar, bibirnya sedikit bergetar dengan tangan yang meremas ujung bajunya kuat-kuat, jelas sekali kalau gadis itu sedang ketakutan karena sudah membuat dapur milik Theo luluh lantah layaknya kapal pecah.Bagaimana tidak? Popcorn gosong, biji jagung yang bertebaran dimana-mana, kentang yang berhamburan, cipratan minyak yang membuat perabot dan lantai menjadi kotor, tak lupa bubuk minuman vanilla latte yang tumpah sehingga meja dan lantai menjadi lengket dan sangat kotor.“Bisa gak kamu gak ceroboh? Mau bakar apartement saya ya?!” bentak Theo membuat Brisia terperanjat. Theo memijat pelipisnya sebentar ketika memedarkan tatapan tajamnya untuk mengamati keadaan dapur leb
“Apa kamu serius?”“Apa saya terlihat sedang main-main?”Suara husky milik Theo membuat semburat merah muncul dikedua pipi gadis itu. Brisia hanya menunduk sambil mengkatupkan mulutnya, berusaha menyembunyikan senyuman yang kerap muncul diwajah cantiknya. Theo hanya membalasnya dengan senyuman seraya menyambar kemeja yang ada di balik punggung Brisia. Setelah mendapatkan apa yang ia ambil, Theo segera mengenakan kemeja itu dan pergi begitu saja meninggalkan Brisia yang masih terpaku dengan perasaan campur aduknya setelah beberapa saat lalu Theo meninggalkan pesan bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.***“Brengsek! Gadis sial!” umpatan melengking keluar dari mulut seorang wanita tua. Beberapa lembar berkas berhamburan di meja kerjanya, pikirannya kalut ketika mendapat undangan pernikahan resmi dari rival terberatnya.Jovan yang melihat kekacauan di ruang kerja ibunya, hanya mampu mematung