Tepat hampir tengah malam Brisia sampai di gedung apartement sederhana miliknya. Begitu ia masuk matanya membulat ketika melihat sosok ibu tirinya yang sedang duduk di sofa.
“Sudah selesai main peran jadi Cinderella-nya?” tanya Anne membuat Brisia menaikkan sebelah alisnya. Anne menghempaskan nafasnya dengan kasar karena ia tak mau lagi membuang-buang waktu.
“Katakan padaku kenapa kamu berani melakukan itu?” tanya Anne menatap tajam gadis yang tengah berdiri di depannya, gadis yang sangat ia benci dalam hidupnya.
“Karena aku ingin menikah,” jawab Brisia dengan enteng seolah mempermainkan lawan bicaranya.
“Hah! Yang benar saja! Kamu fikir aku gak tahu apa yang ada di otakmu?! Gadis licik sepertimu ga mungkin ingin menikah tiba-tiba dengan orang macam itu! Apalagi Parson Group itu kompetitor terberat kita!”
Emosi Anne mulai naik, bentakannya pada Brisia menggema sampai gadis itu memejamkan matanya sekejap.
“Katakan padaku, apa maksud sebenarnya kamu mau menikahi pria itu?!”
“Karena aku juga ingin bebas!” jawab Brisia dengan tegas, membuat Anne menurunkan salah satu kakinya yang tengah bersilang. Anne mulai duduk dengan tegap dan menatap Brisia dengan tatapan mengintimidasi.
“Benar-benar gak tahu diri, ibu sama anak sama aja. Sama-sama nyusahin! Memangnya aku gak tahu apa yang kamu rencanain setelah menikahinya?! Awas saja kalau kamu malah jadi bumerang buat Atmadja!”
Brisia menyunggingkan senyum tipis diwajahnya, membuat Anne geram dan berdiri untuk mendekatinya. “Kalau kamu fikir kamu bisa menghancurkan aku dengan cara meminta bantuan pada Parson, kamu salah besar! Akan ku pastikan Parson hancur begitu kamu menjadi bagian dari mereka!”
“Begitu ya? Coba saja kalau bisa!” ucap Brisia membalikkan ancaman Anne beberapa waktu lalu. Merasa tersulut emosi, Anne menampar pipi Brisia dengan sekuat tenaga, membuat gadis itu sedikit terhuyung. Rasa panas dan perih datang mendominasi, bahkan sudut bibirnya pun sampai berdarah.
“Harusnya aku tak pernah mengijinkanmu memiliki nyawa, itu kesalahan terbesarku. Sekali lagi kamu bertingkah mempermalukanku di depan umum, kamu akan menangis dibawah nisanmu sendiri!” ucap Anne menyenggol bahu Brisia lalu pergi keluar dari apartement Brisia.
“Jessika, ayo pergi!” ujar Anne membuat Brisia membelalakan matanya. Dia berbalik dan menemukan sosok Jessy, saudari tirinya yang mematung di ambang pintu dengan wajah kecewa.
“Jadi lo beneran mau nikah sama Tuan mudanya Parson itu? Terus Jonathan gimana, Bi?” tersirat ketidakpercayaan dari wajah Jessy. Wanita dengan rambut pirang sepunggung itu segera mendekati Brisia.
“Bi! Jonathan gimana?” ulang Jessy sambil mengguncang tubuh Brisia membuat Brisia tergagap. “A-aku udah putus dua minggu yang lalu, Jess!” bohong Brisia. Jessy terperangah mendengar jawaban Brisia, tapi Jessy percaya saja karena Brisia selalu berkata jujur padanya. Setahu Jessy, sudah hampir satu tahun Jonathan, pria yang dicintainya berpacaran bersama saudari tirinya Brisia, meski sampai hari ini Jessy masih memendam cintanya pada Jonathan tapi tak pernah sekalipun Jessy mengusik hubungan Brisia dan Jonathan, karena Jessy tahu Jonathan sangat mencintai Brisia.
“Sumpah lo keterlaluan banget Bi! Kalau tahu akhirnya lo buang Jonathan kaya gini, mending waktu itu gue gak ngalah buat lo! Lo tahu sendiri kalau gue juga suka sama Jonathan kan? Tapi lo malah kaya gini? Lo ga ngehargain perasaan orang banget!”
Brisia menunduk, kedua matanya berkaca-kaca mendengar penuturan dari saudarinya. Sebenarnya Brisia ingin menjelaskan bahwa selama ini dia tak memiliki hubungan apa-apa dengan Jonathan. Brisia hanya membantu Jonathan berpura-pura menjadi kekasihnya agar Jonathan terlepas dari sifat Jessy yang posesif padahal diantara mereka berdua tak ada hubungan special.
“Enak ya bisa maenin perasaan orang seenaknya? Sekarang gue ngerti perasaan Mama, kenapa dia benci banget sama lo dan nyokap lo!”
“Jessy!” suara baritone seorang pria membuat Jessy terbungkam. “Jessy, sebaiknya kita pulang, nanti baru bicara lagi sama Brisia,” ucap seorang pria dengan nada lembut untuk memisahkan kedua adiknya
“Gue gak mau bicara lagi sama dia! Kak Jovan aja tuh yang keramasin dia! Biar otaknya seger, heran gue jadi cewek kok ga ada manfaatnya! Bisanya ngancurin hati orang aja!”
“Ssstthh Jessy!” potong Jovan sambil menarik Jessy, tak ingin kedua adiknya terlibat pertengkaran lebih lama, Jovan membawa Jessy keluar dari apartement Brisia, meninggalkan Brisia sendiri disana.
***
Berita tentang pernikahan Theo yang diperbincangkan semalam kini menjadi topik hangat di berbagai perusahaan, untungnya Theo tidak mempublikasikan dirinya ke media televisi, sehingga wajahnya tak dikenal orang awam. Berbeda dengan sepupunya, Elios yang kerap gonta-ganti kekasih dan menggaet kalangan selebriti sehingga ia memiliki popularitas sampai ke kalangan masyarakat menengah kebawah.
Hampir disetiap ruang divisi di kantor miliknya, Theo mendengar desas-desus tentang acara pernikahannya itu membuat kupingnya panas dan mudah terdistraksi.
Theo memutuskan untuk keluar dari ruangannya namun diperjalanannya ia malah bertemu sepupunya yang sedang mencari muka pada dewan direksi.
“Oh, ini dia actor utamanya! Tuan Muda Theo yang terhormat, bisa bergabung sebentar?” Elios si pria berkulit putih susu itu tanpa sungkan menarik tangan Theo dihadapan dewan direksi.
“Apa yang kamu lakukan?” bisik Theo, namun Elios pura-pura tak mendengarnya.
“Tuan Marquiss, apa sekarang saatnya kunjungan dewan direksi ke kantor pusat?” sapa Theo berbasa-basi pada salah satu pria di hadapannya yang menatapnya dengan wajah datar.
“Aaaa~ Theodore, jangan berkilah. Kami semua datang karena ingin menanyakan kebenaran gossip yang beredar!” jawab Elios tiba-tiba membuat Theo mengeraskan rahangnya.
“Gosip?” Theo menaikkan sebelah alisnya.
“Apakah pernikahanmu dengan … gadis yatim itu benar? Kalau iya, bisa ga malam ini kamu ajak dia makan malam bersama kami?”
Theo menyeringai mendengar perkataan Elios yang mencoba menyerangnya.
‘Bocah ini, harus di beri pelajaran!’
***
“Terimakasih atas kunjungannya, semoga kembali lagi~”
Brisia tersenyum ketika pelayan butik itu membukakan pintu untuknya. Gadis dengan midi dress floral itu keluar dari butik dan menatap sebuah jas yang sudah dipasang dibalik jendela show butik.
Tiiinnn!!
Brisia terperanjat ketika mendengar klakson nyaring tiba-tiba berbunyi. Dia menoleh dan melihat sebuah supercar berwarna kuning di tepi trotoar.
“Hey! Kamu ngejual jas saya?!”
Brisia beringsut mundur ketika mendengar suara husky itu membentaknya di depan umum, ia memilih tak mempedulikan pria itu dan segera kabur, namun Theo mengejar dengan mobilnya.
“Hey! Kenapa kamu kabur?!”
Brisia mempercepat jalannya, kini menjadi berlari menyusuri trotoar dan membuat Theo menginjak gas lebih dalam.
“Hey, jangan lari! Nona! Nona!!!”
Brisia lari makin kencang, ia bahkan sampai menabrak beberapa pejalan kaki yang menghalanginya.
“Hey! Jangan kabur!”
Theo memilih menekan klaksonnya yang berbunyi nyaring sehingga semua orang menoleh kearahnya dan membuat Brisia mematung. Ditengah kecanggungan ini, Theo berbicara lantang dengan suara lembutnya pada Brisia.
“Istriku, bisakah kamu masuk ke dalam mobil … please?”
Braakk!
Entah ini yang keberapa kalinya Theo menghempaskan nafas beratnya setelah ia melakukan hal yang memalukan. Akhirnya Brisia bersedia masuk kedalam mobilnya, dan menutup atap mobilnya sehingga perbincangannya mereka tak bisa di dengar oleh orang lain.
“Maaf aku menjual jas punyamu. Aku jual supaya bisa bayar gaji dan pesangon para pegawaiku gara-gara masalah restoranku yang harus ditutup paksa. Lagipula kan kamu bilang sudah tidak membutuhkannya, tapi kalau kamu mau uang hasil penjualannya bakal ku transfer kok!” jelas Brisia dengan wajah panik, entah mengapa dia bicara begitu jujur pada Theo yang mengamatinya dengan wajah datar.
Apaan sih? Emangnya muka gue kaya debtcollector gitu?
“Sudahlah, saya bukannya mau membicarakan itu, hanya kebetulan saja kita bertemu di tempat itu!” jawab Theo sambil mengendarai supercarnya, beberapa kali ia mencuri pandang pada Brisia dan mengkerutkan keningnya ketika melihat tanda memar di sudut mulut Brisia.
‘Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya semalam.’
“Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?”
“Malam ini, saya butuh bantuanmu.”
“Hm?”
***
Gila. Mungkin itu adalah kata yang tepat menggambarkan karakter Theo yang mudah membuat keputusan tapi selalu menepatinya. Seperti malam ini ketika Brisia menggandeng lengan Theo yang membawanya bertemu beberapa dewan direksi perusahaan Parson Group.Ini adalah kali pertama bagi Brisia menghadiri acara makan malam khusus para pebisnis hebat. Untungnya Brisia memiliki kepribadian supel hingga ia tak kesulitan beradaptasi dengan situasi seperti malam ini.“Hallo, maaf saya datang terlambat!”Brisia membeku ketika mendengar suara pria yang familiar di telinganya, sementara itu orang-orang menyambut kehadirannya dengan ramah.“Hai Pak Jonathan! Saya kira ga bakalan datang, padahal malam ini special banget loh Pak!”Mendengar Elios menyebut nama Jonathan membuat Brisia membulatkan matanya, ia bahkan sampai berhenti mengunyah potongan daging di dalam mulutnya.“Kenapa, El? Special apanya nih?” Jonathan nampak se
Lantunan music jazz berjudul The Two of Us milik Seawind menggema di ruang kerja Theo. Pria yang daritadi berkutat dengan beberapa dokumen di meja kerjanya ikut asyik bernyanyi seirama dengan lagu jadul yang terkenal ditahun 80-an.Sesekali, sambil memutar pena ditangannya Theo menyahuti lagu itu dengan suara merdunya. Tak bisa di pungkiri bahwa pria bersuara husky itu juga memiliki bakat dalam bernyanyi, bermain piano serta memainkan Saxophone.Mengingat kejadian tadi pagi saat ia berhasil mengerjai Brisia sampai wajah gadis itu memerah seperti kepiting rebus membuat Theo terus mengulang lagu-lagu Seawind selama tiga puluh menit terakhir.“Tuan, sepertinya mood anda sedang baik, ya?”“Apa sih, Angga?”Theo berdalih pada pria yang berdiri di ambang pintu. Sebenarnya Angga sudah mengetuk pintu daritadi untuk mendapatkan ijin masuk, tapi suara lagu jazz membuat Theo menghiraukan ketukan pintu dari Angga.Theo menekan se
"Bebas dari tempat wanita tua itu, aku malah terkurung disini! Ah, sial!" umpat Brisia ketika melihat pantulan dirinya di jendela. Brisia memandangi senja dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat karena perutnya tak terisi apapun sejak pagi. Setelah Theo pergi siang tadi, ia hanya duduk di sofa, memeluk kedua kakinya sambil menatap langit dengan berbagai pikiran negatif silih berganti. “Gimana kabar ibu, ya? Gimana caranya aku bisa keluar dari sini? Kalau aku buat ruangan ini kebakaran, apa pemadam kebakaran bisa nyelametin aku?” gumamnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, merasa sesuatu yang basah di sofa membuat Brisia menoleh. “Ah… sial!” keluhnya ketika melihat noda darah disana. Dia sampai lupa bahwa siklus bulanannya mulai hari ini. Tak betah dengan dirinya yang kotor, Brisia memutuskan mandi, membersihkan dirinya sebersih mungkin. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan kali ini, “Si Tuan Muda Parson itu … ga punya pakaian dalam wanita apa ya?
Malu rasanya ketika membelikan pembalut dan pakaian dalam wanita sampai hujan-hujanan dan terpegoki ibu sendiri. Theo yang berada di posisi itu hanya mampu pasrah dan bersikap tenang agar ia tak gegabah.“Sial, kenapa Mama malah berkunjung sekarang?” keluh Theo sambil membilas diri dan memakai pakaian hangat, setelah ini ia harus segera menemui Mamanya dan menjelaskan keberadaan Brisia dengan benar.“Kamu mencintai gadis itu? Sungguh?” suara sopran wanita paruh baya dihadapannya mengintrogasi setelah Theo berhasil menyelesaikan penjelasannya tentang dia dan Brisia.Theo berdehem, berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mamanya dengan baik, “Menurut Mama?”“Coba kamu ceritakan sekali lagi,” pinta Nyonya Vivian dengan suara lembut membuat anak tunggalnya tersenyum kecut.Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras, bahkan kini sudah hampir larut malam. Nyonya Vivian duduk di sofa ruang tamu,
“Dia baik-baik saja, hanya serangan panik ringan dan sepertinya dia juga belum sarapan jadi dia pingsan. Tunggu saja sampai dia siuman, Tuan. Anda bisa membawanya pergi setelah cairan infusnya habis,” jelas seorang dokter pria sebaya dengan Theo. Ya, dia adalah dokter Garra yang telah cukup lama mengenal Brisia. “Sekedar saran, Brisia kadang sulit mengontrol emosinya jadi jangan terlalu ‘mengagetkannya’, Anda paham kan maksud saya?” tanya dokter Garra seraya tersenyum, membuat Theo mengangguk. Dokter Garra ikut mengangguk dan berpamitan keluar ruangan, menyisakan Theo dan Brisia yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Mengetahui bahwa Brisia tiba-tiba pingsan karena tak menemukan sosok ibunya, membuat Theo bergegas menyusul Brisia dan meninggalkan aktivitas kerjaannya sejenak. Theo berdiri di samping Brisia, ia melipat tangan didada sambil memerhatikan wajah gadis di hadapannya yang pucat tanpa riasan. Perlahan kedua bola mata Brisia bergerak dibalik kel
Setelah semua kekacauan di dapur berhenti, Theo segera bangun, kedua netranya bak mesin scanning memindai seluruh kekacauan di sekelilingnya. Ia menghempaskan nafas dan kini mata tajam itu beralih pada gadis yang berdiri di depannya dengan ekspresi terkejut. Kedua bola mata itu seperti hampir keluar, bibirnya sedikit bergetar dengan tangan yang meremas ujung bajunya kuat-kuat, jelas sekali kalau gadis itu sedang ketakutan karena sudah membuat dapur milik Theo luluh lantah layaknya kapal pecah.Bagaimana tidak? Popcorn gosong, biji jagung yang bertebaran dimana-mana, kentang yang berhamburan, cipratan minyak yang membuat perabot dan lantai menjadi kotor, tak lupa bubuk minuman vanilla latte yang tumpah sehingga meja dan lantai menjadi lengket dan sangat kotor.“Bisa gak kamu gak ceroboh? Mau bakar apartement saya ya?!” bentak Theo membuat Brisia terperanjat. Theo memijat pelipisnya sebentar ketika memedarkan tatapan tajamnya untuk mengamati keadaan dapur leb
“Apa kamu serius?”“Apa saya terlihat sedang main-main?”Suara husky milik Theo membuat semburat merah muncul dikedua pipi gadis itu. Brisia hanya menunduk sambil mengkatupkan mulutnya, berusaha menyembunyikan senyuman yang kerap muncul diwajah cantiknya. Theo hanya membalasnya dengan senyuman seraya menyambar kemeja yang ada di balik punggung Brisia. Setelah mendapatkan apa yang ia ambil, Theo segera mengenakan kemeja itu dan pergi begitu saja meninggalkan Brisia yang masih terpaku dengan perasaan campur aduknya setelah beberapa saat lalu Theo meninggalkan pesan bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.***“Brengsek! Gadis sial!” umpatan melengking keluar dari mulut seorang wanita tua. Beberapa lembar berkas berhamburan di meja kerjanya, pikirannya kalut ketika mendapat undangan pernikahan resmi dari rival terberatnya.Jovan yang melihat kekacauan di ruang kerja ibunya, hanya mampu mematung
“Terimakasih karena sudah meluangkan waktu Anda untuk pertemuan ini, saya sangat beruntung karena mendapatkan restu Anda untuk meminang putri bungsu Anda, Tuan Renand Atmadja.”Theo menyeringai sambil menjabat tangan lelaki tua yang berdiri gagah di hadapannya. Tak banyak bicara, Tuan Renand hanya menatap tajam pria muda dihadapannya lalu beralih menjabat tangan pria yang sebaya dengannya.“Setelah acara pernikahan besok lusa, aku berjanji akan memperlakukan putrimu seperti anakku sendiri. Setidaknya aku bisa memegang janjiku untuk merawat putri bungsumu lebih baik dari keluarganya sendiri.”“Cih,” Tuan Renand mendengus mendengar perkataan Christian Parson. Kedua orang ini memang sudah seperti kucing dan anjing jika dipertemukan. Namun bukan Theo namanya jika tidak bisa mendominasi suasana dan mengarahkan kedua orangtua tersebut agar mengikuti alur permainan yang ia buat.Setelah percakapannya dengan Jovan semalam, akhi