Share

Bab 3

“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau mati, hm?!” suara baritone tiba-tiba terdengar membuat Brisia terperanjat, matanya membulat ketika melihat sosok kakak tirinya berdiri di ambang pintu.

“Kak Jovan?!” pekik Brisia, tangannya meremas ujung bajunya. Ia takut kakaknya akan melakukan kekerasan padanya.

“Ke-kenapa Kakak ada disini? Dan kenapa ga tekan bel dulu sih?” Brisia berusaha bersikap wajar, ia tak ingin rencana pembelotannya di ketahui kakak tirinya.

Pria bernama Jovan itu hanya menyungingkan senyum seraya mendekati Brisia, “Memangnya aku perlu ijinmu untuk keluar masuk tempat ini? Lagipula aku cuma mau mengecek kondisimu. Mama lagi kesel, orang suruhannya kerja ga becus, padahal cuma buat ngikutin kamu doang,” jelas Jovan yang ikut duduk di sofa beludru di samping Brisia, sementara Brisia berusaha menggeser layar laptopnya agar email yang dihendak dikirim Brisia pada Parson Group tak diketahui Jovan.

Jovan, pria tinggi berkulit tan, memiliki karakter wajah yang tegas persis seperti Tuan Renand namun lebih murah senyum dan ramah. Tapi siapa sangka bahwa dia juga sama liciknya seperti ibunya.

“Jadi kamu udah bosan hidup, ya?” pertanyaan Jovan membuat Brisia menelan saliva dengan paksa.

Jovan menarik laptop Brisia, jari-jari jenjangnya mengetik sebuah rangkaian kalimat. Entah apa yang di lakukannya, yang pasti Brisia hanya mampu berdoa agar dia selamat dan dimaafkan karena telah berani mengambil flashdisk milik perusahaan Atmadja.

Mata bulat Brisia bahkan terasa sulit untuk berkedip, dalam hati dia sudah sibuk mencaci maki perbuatan kakak tirinya yang selalu seenaknya saja masuk ke dalam apartementnya. Hanya karena mentang-mentang apartement ini pemberian ibu tirinya maka kedua saudara tirinya pun secara otomatis mendapat akses untuk keluar masuk apartement yang di tempati Brisia seenaknya. Mengingat hal itu saja membuat Brisia geram karena tidak memiliki ruang privasi bagi dirinya sendiri, sebab ibu dan saudara tirinya terlalu mengontrol kehidupan Brisia. Kali ini pun Brisia bahkan tak bisa mencegah perbuatan Jovan atau setidaknya menyuruh Jovan pulang.

“Dengar, kalau kamu meminta bantuan dari Tuan Muda Parson itu maka kamu harus memberikan hal yang lebih daripada apa yang kamu dapatkan darinya. Sekarang coba kamu pikirkan punya apa kamu agar dia mau membantumu, hm?”

“Aku ga mau dengar omongan Kakak, Kakak dan dia sama saja kan?” sungut Brisia membuat Jovan terkekeh.

“Aku memang sama seperti ibuku, tapi aku punya tujuan yang sama denganmu.”

Apa dia bercanda? Dia kira aku mudah ditipu?

Brisia mengkerutkan keningnya. Setelah selesai ia mengambil flashdisk itu dan kembali menatap adik tirinya yang sedari tadi dibuat bingung.

“Aku ga akan bilang kalau kamu diam-diam menyelinap kerumah dan mengambil ini. Sebagai gantinya buatlah Tuan Muda Parson itu berada di pihakmu,” ujar Jovan lalu mengeluarkan sebuah kartu nama.

“Jangan hubungi perusahaannya, hubungi orangnya langsung. Kudengar dia sedang menyusun rencana agar bisa naik jabatan menggantikan posisi ayahnya.”

Brisia menaikkan sebelah alisnya, “Kamu mungkin bisa membantunya mencapai kemauannya itu. Sedikit informasi, Tuan Muda Parson adalah orang yang tamak dan pemilih, jadi buatlah penawaran menarik!” sambung Jovan lalu mengedipkan sebelah matanya. Brisia mencerna maksud Jovan, ia terdiam hingga tak sadar kalau kakaknya sudah pergi dari apartement itu.

Ide gila yang terlintas siang hari kembali hadir di otaknya, ia mengambil secarik kertas kecil yang ditinggalkan Jovan lalu membulatkan tekadnya untuk menghubungi pria bernama Theodore Maxmillan Parson, satu-satunya putra tunggal Christian Parson, Vice Komisaris Parson Group yang memiliki kemauan menggeser posisi ayahnya untuk menjadi Chairman dan memegang kekuasaan penuh Parson Group.

***

Sebuah lantunan lagu jazz terdengar menggema di kamar utama. Seiringan dengan irama jazz yang lembut seorang pria keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut basah membuat tetesan air jatuh dari ujung rambutnya. Tubuh atletisnya terbungkus baju handuk berwarna putih dan tebal. Dengan santai ia duduk di sebuah sofa, menselonjorkan kakinya dan mengambil buah anggur yang tertata rapi dengan makanan lain di mini trolly.

Sesekali pria itu ikut bernyanyi sesuai lagu yang diputar. Perhatiannya teralihkan ketika layar ponselnya menyala dan mendapat email atas nama pengirim Brisia Atmadja.

Siapa orang ini? Kenapa mengirim email sembarangan?

Karena moodnya yang sedang bagus, Theo membuka email tersebut dan membacanya dengan cermat. Matanya terbelalak melihat isi lampiran file serta sebuah tawaran yang menggiurkan sampai dia tersedak. Tangan jenjangnya segera meraih segelas susu strawberry dan meminumnya. Kemudian ia menelpon Angga, asisten pribadi sekaligus informannya yang lihai.

“Ya Tuan?” sahut Angga begitu menerima telpon dari Tuannya.

“Angga, cari tahu tentang Brisia Atmadja!”

“Brisia … Atmadja? Maksudnya keluarga Atamdja rival kita kan? Bukannya putrinya bernama Jessika?”

“Jangan banyak omong Angga! Cari saja informasi orang itu, saya butuh secepatnya!” titah Theo dan mengakhiri percakapan mereka.

Theo menyandarkan punggungnya di sofa, menimbang jika informasi yang diberikan Brisia adalah benar maka dewi fortuna sedang berada di pihaknya. Belum lagi jika tawaran dari Brisia itu bisa dipertanggungjawabkan maka tujuannya menjadi Chairman Parson Group akan segera tercapai.

“Apa ini semacam pemberontakan? Atau malah jebakan?” gumamnya.

Ping!

Sebuah chat masuk dari Angga membuat Theo bergegas menaruh perhatian pada ponselnya.

Nona Brisia bersih dari kasus kriminal, maupun campur tangan perusahaan. Selama ini identitas Nona Brisia sengaja dirahasiakan oleh Nyonya Anne. Saya akan melampirkan informasi detailnya lewat email – Angga

Senyum tersungging diwajah tampan milik Theo. Pria yang berjiwa kompetitif dan tamak akan kekuasaan itu memutuskan untuk menerima tawaran Brisia dan bertemu dengannya esok hari. Apalagi ketika ia mendapat kiriman foto Brisia yang menarik perhatiannya, membuat sebuah senyuman merekah di wajah Theo. Kebiasaan seakan mengunyah permen karet di mulutnya yang kosong secara otomatis kembali saat memperhatikan foto Brisia.

“Begitu, ya? Hmm … menarik juga. Apakah ini waktunya bersenang-senang? Kalau begitu, aku terima tawaranmu, Nona.”

***

Seorang pria bersetelan navy blue semiformal membubuhkan tandatangan miliknya di secarik kertas perjanjian konyol yang ia buat dengan seorang gadis yang baru pertama kali ia jumpai.

Keduanya saling melempar senyum seringai setelah mereka deal dengan kontrak tersebut. Bisa di bilang itu adalah kontrak tergila yang pernah Theo tandatangani seumur hidupnya. Angga sang asisten tak mampu mencegahnya, ia hanya bisa menggelengkan kepala, tak tahu apa isi kepala Tuannya sehingga mau menandatangani kontrak itu.

“Oke, kita simpan masing-masing salinannya. Bersiaplah untuk malam ini, kita buat semua orang terkejut!” titah seorang gadis dengan wajah datar sambil merapikan beberapa kertas di hadapannya.

“Oke!” sahut Theo memperhatikan gadis di hadapannya dengan baik. Netranya bak mesin scanner yang dengan cermat merekam fisik Brisia. Tubuh yang tinggi semampai dengan kaki jenjang, kulit putih susu dibalut gaya pakaian feminism elegan. Rambut bergelombang hitam kecokelatan senada dengan warna dua bola mata yang memiliki bulu mata lentik. Tak lupa tahi lalat dibawah mata kiri menjadi pemanis tambahan selain hidungnya yang mancung dengan batang ramping.

Lebih indah daripada difoto. Gadis ini hanya mengenakan polesan sederhana, kalau dia berada ditangan yang tepat, keindahan parasnya bisa mengalahkan berlian,

Theo menyeringai lalu memalingkan pandangannya yang sudah terlalu lama terhipnotis oleh kecantikan Brisia.

“Kalau begitu aku pamit dulu, selamat siang Mr. Parson!” ucap gadis itu berpamitan. Setelah ia keluar dari kafe, Angga segera bertanya, tak kuat membendung rasa penasaran kenapa Tuannya bersedia menandatangani kontrak tersebut.

“Tuan, saya tahu saya lancang. Tapi kenapa Tuan mau menandatangi kontrak itu? Menikah dengan gadis yang di asingkan keluarganya sendiri, apa anda yakin?”

Angga, pria yang sudah mengabdi sepuluh tahun dari saat Tuannya remaja sampai usianya matang, merasa terbebani dengan keputusan Tuannya yang sepihak.

“Saya tahu, Angga.Tapi dia tetap putri bungsu keluarga Atmadja kan, rival utama perusahaan kita?”

“Dan anda tetap menerimanya? Apa yang Tuan rencanakan?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status