Bab 10

Hujan barang-barang telah usai. Namun pelukan Faya masih lekat di tubuh Revan.

Perempuan itu terus memejamkan mata. Telinganya yang menempel di dada Revan, bisa mendengar detak jantung lelaki itu dengan jelas. Berirama, seakan bunyi itu ada di dalam tubuhnya sendiri.

Faya menarik napas. Terasa damai, dan … mendadak darahnya berdesir.

Hidungnya menarik aroma parfum maskulin samar-samar, bercampur dengan sedikit bau sabun mandi serta keringat pria yang khas. Bukan yang menyengat, hanya selintas aroma tipis, tetapi justru membangkitkan keinginan untuk….

“Faya, kamu nggak apa-apa kan?”

Suara lembut Revan membuat kelopak mata Faya terbuka. Kepala perempuan itu pun bergerak perlahan, mendongak, lalu menemukan wajah utuh Revan yang tersenyum.

“Re-Revan….” Bibir Faya bergetar. Menyadari bahwa ini pertama kali dia menyebut nama lelaki itu.

“Ya, Faya,” desis Revan.

“M-makasih ya.” Faya mengerjap. Meski terus saja menatap seraut wajah yang ternyata lebih indah jika dipandang dari jarak sedekat