Share

Berkenalan dengan Camer

Bu Martha nampak termenung, setelah mendengar penjelasan sang putra. Sementara Ryan terlihat sedikit emosional dan merasa tidak terima sang abang diperlakukan demikian.

"Tidak masalah jika Ryan harus cuti dulu dan kemudian cari kerja mengumpulkan biaya buat kuliah Ryan, Bang," sahut Ryan kemudian yang tidak tega melihat sang abang harus menanggung semua sendirian.

Andreas menggeleng cepat. "Tidak, Ryan! Selain karena keinginanmu, mendiang ayah juga menginginkan agar salah satu anaknya bisa menjadi dokter," tegas Andreas, melarang.

"Abang tidak dapat mewujudkan keinginan ayah karena saat itu, terbentur biaya. Sekarang, Abang bisa membiayai kamu dan kamu harus sungguh-sungguh belajar agar cepat selesai dan meraih gelar dokter seperti yang ayah dan Ibu inginkan," lanjut Andreas, seraya menatap sang adik. 

"Tapi, bagaimana dengan Abang? Maksud Ryan, masa depan rumah tangga Abang nantinya jika Abang menikah dengan ...."

"Jangan pikirkan tentang Abang, Ryan!" sahut Andreas. "Abang pasti bisa menjalani semua, seiring waktu," lanjutnya, mencoba menutupi kemelut di hati.

Jauh di dasar lubuk hati Andreas, pria muda berkacamata itu tidak yakin apakah dia bisa menjalani kehidupan bersama Joana. Membayangkan mereka berdua berada di bawah atap yang sama saja, rasanya kepala Andreas sudah mau pecah. Bagaimana nanti jika setiap hari mereka harus bertemu dan berbagi ranjang yang sama?

Bu Martha, ibunya Andreas dan Ryan hanya bisa menundukkan kepala. Wanita paruh baya tersebut sebenarnya merasa kasihan pada sang putra sulung karena harus mengorbankan diri dengan menikahi gadis yang tidak Andreas cinta. Namun, dia tidak dapat melakukan apa-apa karena semua biaya hidup mereka ditanggung oleh Andreas sepenuhnya.

'Maafkan ibu, Nak. Ibu hanya bisa merepotkan kamu semenjak penyakit ini menggerogoti ibu.' Wanita paruh baya tersebut terbatuk-batuk, membuat Andreas dan Ryan langsung panik.

Andre antar Ibu ke kamar, ya. Ibu harus istirahat," tawar Andreas yang langsung berdiri.

Bu Martha menggeleng. "Tidak perlu, Nak. Ibu tidak apa-apa. Tadi, ibu juga sudah minum obatnya."

Wanita bertubuh kurus itu lalu menepuk bangku kosong di sampingnya, memerintah agar Andreas kembali duduk di sana. Pria berkulit putih bersih itu pun patuh lalu mendudukkan diri di samping ibunya. Bu Martha kemudian menggenggam tangan sang putra.

"Kapan kalian akan menikah?"

Andreas menggeleng, lemah. "Belum tahu, Bu. Pak kepala sekolah hanya mengatakan agar secepatnya."

"Kenapa, Bu?" tanya Andreas kemudian. 

"Ajak dia kemari. Ibu ingin mengenalnya."

Andreas sempat mengerutkan dahi. Sedetik kemudian, pria berwajah oriental itu tersenyum dikulum. Dia sangat yakin, setelah Joana bertemu dan melihat sendiri keadaan keluarga Andreas yang jauh berbeda dengan keluarga gadis centil itu, Joana pasti akan membatalkan keinginan untuk menikah dengan dirinya.

Guru muda itu tentu sangat paham dengan keluarga Joana. Gadis itu adalah putri pengusaha kaya yang berdomisili di Hongkong dan sekolah tempat Andreas mengajar adalah sekolahan milik orang tua Joana. Tentu saja gadis itu tidak akan sanggup jika nantinya dia ajak untuk hidup sederhana

'Lihat saja, Jo. Aku pasti akan terbebas dari gadis centil nan manja sepertimu, tanpa harus bersusah payah menghindar.

Setelah menjelaskan semua pada sang ibu dan merasa sedikit tenang, Andreas lalu kembali ke unit apartemen miliknya. 

Waktu berlalu begitu cepat. Malam menghilang dan digantikan pagi yang menyapa. Mungkin kelelahan karena semalaman terus memikirkan masalah yang dia hadapi, Andreas masih terlelap di atas ranjangnya.

Sinar terang mentari pagi menerobos masuk melalui celah jendela kaca yang tidak tertutup tirai, membuat Andreas kemudian terbangun. Pria muda itu nmemicingkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya.

"Jam berapa ini? Apa aku kesiangan?" gumam Andreas seraya mengambil weker yang berada di atas nakas, begitu melihat cahaya terang di luar sana. Ya, Andreas memang memiliki kebiasaan tidak pernah menutup korden jendela di unit apartemennya.

"Aku harus buru-buru. Waktuku tidak banyak." Bergegas, pria bermata sipit itu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Dia mandi dan bersiap dengan sangat cepat. Lima belas menit kemudian Andreas sudah siap untuk berangkat. Guru muda itu lalu menuju dapur mini miliknya untuk sekadar mencari pengganjal perut agar tidak kelaparan.

Dua lembar roti tawar dia oles dengan selai lalu dimakan dengan lahap. Tidak butuh waktu lama, apa yang ada di tangan Andreas telah berpindah ke dalam perut. Andreas meraih gelas dan menuang air putih sebagai penutup sarapan sederhananya.

Ya, begitulah hari-hari Andreas setiap pagi. Dia tidak pernah ribet dengan urusan makan. Selain untuk berhemat, dia juga tidak pernah memiliki waktu untuk menyiapkan sarapannya sendiri.

"Apa sebaiknya, jam ngajar les aku kurangi, ya? Rasanya lelah juga kalau setiap hari pulang malam," keluh Andreas seraya berjalan keluar dari unit apartemen tipe studio yang dia tempati.

'Tapi kalau aku kurangi, nanti aku enggak bisa nabung banyak. Padahal, dari situlah aku bisa nabung karena semua gajiku habis untuk memenuhi kebutuhan kami. Tidak mengapa, lah, pulang malam. Mumpung ada kesempatan untuk mencari uang tambahan.' monolognya dalam diam ketika berada di dalam lift yang akan membawanya turun ke basemen.

Setelah tiba di basemen, Andreas segera memacu motor matic-nya menuju sekolah tempat dia mengajar. Hanya butuh waktu sepuluh menit, motor Andreas telah memasuki pintu gerbang yang menjulang. Dia memang tinggal cukup jauh dari orang tua dan memilih tempat tinggal yang dekat agar tidak terlambat datang ke sekolah.

Guru matematika itu lalu memarkirkan motor di area khusus yang nampak kosong. Hanya ada beberapa motor saja yang terparkir di sana. Sebab, semua guru di sekolah tersebut membawa mobil pribadi, begitu pula dengan sebagian besar siswa.

Hanya Andreas seorang, guru yang pergi ke sekolah mengendarai sepeda motor dan dia tidak pernah merasa malu. Dia bisa saja membeli mobil dengan cara kredit seperti guru olahraga yang sebaya dengannya, tetapi Andreas tidak mau bergaya seperti itu. Biarlah dia tampil apa adanya yang terpenting ibu dan sang adik, terpenuhi segala kebutuhannya.

"Pak Andre," sapa Joana dengan centil ketika Andreas baru saja membuka helmnya.

Guru muda itu nampak tidak memedulikan Joana. Setelah menyimpan helm di atas motor, dia bergegas melangkah untuk masuk ke area sekolah. Siswi centil itu tidak mau menyerah, dia terus mengekor langkah sang guru matematika.

Andreas yang melangkah dengan lebar tiba-tiba berhenti hingga membuat Joana yang berjalan mengekor di belakang, menabraknya. "Cie ... Pak Andre sengaja, ya, agar Jo nabrak Pak Andre?" goda Joana dengan senyuman manis yang menampakkan gigi gingsulnya.

Guru muda berkulit putih bersih itu hanya berdecak. Tatapannya terlihat sangat dingin, tapi entah mengapa Joana justru menyukai sikap Andreas yang demikian. Siswi yang memiliki lesung pipi itu semakin tersenyum lebar.

"Apa nanti sore kamu punya waktu? Ibu ingin bertemu denganmu, sebelum kita menikah." Perkataan Andreas yang tanpa ekspresi, membuat Joana terlonjak kegirangan.

"Bisa-bisa, Pak! Jo bisa, kok, bertemu dengan calon ibu mertua!" Gadis belia itu nampak sangat bersemangat dan sangat senang. "Tapi, Pak Andre ya, yang minta izin sama pamannya Jo," pintanya kemudian dan Andreas mengangguk dengan ekspresi yang tetap datar.

Guru berwajah oriental itu segera meneruskan langkahnya kembali. Joana yang mengikuti di belakang, berjalan sambil menari-nari. Apa yang dilakukan oleh Joana, tentu mengundang perhatian siswa-siswi lain yang kebetulan berpapasan dengan mereka berdua, di sepanjang koridor sekolah.

"Kamu kenapa, sih, Jo? Hepi banget." Tepukan pelan di bahu Joana, menghentikan langkah ceria gadis itu.

"Ck! Kamu, Mel! Ngagetin aja!" Joana nampak kesal pada sang sahabat, tetapi itu hanya berlangsung sekejap karena setelahnya gadis belia itu kembali tersenyum.

Joana lalu menghentikan langkah dan tidak lagi mengikuti Andreas karena kelasnya sudah dekat. Gadis berambut panjang sebahu itu lalu membisikkan sesuatu pada sahabatnya, 

"Tahu, enggak, Mel. Nanti sore, Pak Andre mau mengajakku ke rumahnya. Aku akan berkenalan dengan Camer, Mel!" seru Joana, senang. 

Melanie yang sudah mendengar cerita dari sang sahabat tentang kejadian kemarin antara Joana dan sang guru matematika di ruangan Andreas, membulatkan mata. "Yang benar, Jo? Apa, Pak Andre sudah benar-benar jatuh cinta padamu? Ah, aku ikut senang mendengarnya jika benar demikian." Melanie lalu memeluk sahabatnya.

Bel sekolah berbunyi dengan nyaring dan mengurai pelukan kedua sahabat baik tersebut. Bergegas, mereka berdua masuk ke dalam kelas untuk mengikuti pelajaran sekolah.

🌹🌹🌹

bersambung... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status