Share

Sengaja Menghindar?

Waktu terus berjalan. Pagi berganti siang. Sore yang ditunggu Joana pun datang menjelang.

Gadis belia itu nampak tengah mematut diri di dalam kamarnya. Bolak-balik Joana terlihat berganti pakaian, untuk memastikan bahwa penampilannya sempurna. Hal itu membuat sang Bibi yang memerhatikan dari ambang pintu, geleng-geleng kepala.

"Sudah, Jo. Kamu itu aslinya sudah cantik. Tidak perlu berdandan juga sudah cantik. Ayo, kita keluar. Takutnya, calon suami kamu sudah datang dan nanti kelamaan menunggumu di bawah," ajak Bi Liana, menghampiri sang keponakan.

"Bentar, Bi. Apa menurut Bibi, penampilan Jo sudah benar-benar bagus?" tanya Joana, memastikan.

Adik kandung sang mama itu menganggukkan kepala. "Kamu cantik, Sayang," pujinya, tulus. "Tapi sebaiknya kamu mengenakan kulot dan blouse yang itu saja karena Pak Andre 'kan bawa motor." Wanita paruh baya tersebut menunjuk blouse berwarna salem yang tadi sudah dicoba oleh Joana.

Joana menatap sang bibi, dengan dahi berkerut. Bibi Liana mengangguk, meyakinkan. "Yang itu lebih sopan dan kamu terlihat anggun, Sayang."

Gadis belia itu kembali mengganti pakaiannya, entah ini untuk yang keberapa. 

"Jo. Kata pamanmu, Pak Andre itu orangnya sederhana. Mungkin saja, ibunya juga sederhana. Untuk itu, kamu tidak perlu tampil mewah untuk menarik simpati ibunya Pak Andre. Yang terpenting, bersikaplah dengan baik. Hormati beliau seperti kamu menghormati orang tua sendiri," nasehat Bibi Liana kemudian dengan bijak, setelah melihat penampilan sang keponakan yang anggun dan sopan.

"Bibi juga seorang ibu, Jo, dan bagi seorang ibu yang memiliki anak laki-laki, pasti menginginkan anaknya menikah dengan gadis yang baik dan tidak neko-neko," imbuhnya dan Joana mengangguk, mengerti.

"Terima kasih, Bi. Bibi memang yang terbaik." Joana lalu memeluk bibinya.

Kedua wanita cantik berbeda generasi itu kemudian segera turun, ketika dari bawah terdengar Pak Bernardus memanggil. Di ruang tamu, Andreas nampak sudah duduk menanti. Melihat kehadiran Joana, pria itu bersikap biasa saja hingga membuat gadis centil itu merasa gemas sendiri.

'Ish, nyebelin! Aku sudah dandan cantik, tapi dianya biasa aja, dan tetap dingin!' Joana mengerucutkan bibir.

"Jo. Ayo, senyum!" bisik sang bibi dan Joana kemudian tersenyum meskipun dipaksakan karena kesal.

Joana lalu berpamitan pada paman dan bibinya, yang diikuti oleh Andreas.

"Saya titip keponakan saya, Pak Andre," kata Pak Bernardus, seraya menepuk pelan punggung Andreas. Pria muda itu hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Paman dan bibi Joana melepas kepergian mereka sampai ke teras. Joana segera naik ke boncengan motor Andreas ketika guru muda itu sudah menghidupkan mesin motornya. Perlahan, Andreas mulai melajukan motornya setelah memastikan bahwa Joana duduk dengan benar.

Joana menopang dagunya di bahu Andreas. Gadis centil itu terus tersenyum seraya menatap Andreas melalui pantulan kaca spion. Dia juga sengaja duduk dengan menempel pada punggung sang guru matematika hingga membuat Andreas merasa tidak nyaman. Apalagi ketika tangannya melingkar di perut rata Andreas.

"Jo, please ... jangan seperti ini!"

"Kenapa, Pak? Apa pelukan Jo kurang erat?" Joana semakin mengeratkan pelukan, membuat Andreas menghela napas panjang.

'Kuatkan aku, Tuhan.'

Andreas memilih fokus memacu motornya dan fokus dengan jalan raya di hadapan. Dia biarkan Joana yang duduk di jok belakang, melakukan apa pun yang gadis itu inginkan. Hanya satu keinginan Andreas saat ini, mereka bisa segera sampai tujuan dan dia terbebas dari gadis centil yang telah memorak-porandakan hidupnya.

Kehadiran Joana di rumah sederhana orang tua Andreas, disambut baik oleh sang ibu dan juga adik laki-lakinya. Gadis itu pun langsung terlihat akrab dengan Bu Martha. Begitu pula dengan Ryan yang nampak mengagumi kecantikan, kesederhanaan, serta sikap santun Joana.

Kedua orang tua Joana dan juga paman serta bibinya memang selalu mengajarkan pada gadis itu untuk bersikap baik pada siapa saja. Mereka juga mengajarkan agar Joana tidak pilih-pilih teman dan bergaul dengan kalangan mana pun tanpa memandang status sosialnya. Sebab, semua makhluk di mata Tuhan itu sama, begitulah senantiasa yang mereka katakan pada Joana.

Itu sebabnya, Joana dapat bersahabat baik dengan Melanie, anak seorang penjual gorengan di pinggir jalan. Melanie dapat bersekolah di sekolah elite tersebut karena beasiswa prestasi yang dia dapatkan. Di saat teman-teman lain merendahkan Melanie, Joana datang untuk membela dan kemudian menjadikan gadis berkulit hitam manis tersebut sebagai teman.

"Bang Andre pamit ke kamar, kok, enggak keluar-keluar ya, Bu?" tanya Ryan setelah mereka berbincang cukup lama dan senja pun telah berganti petang.

Ibu dan anak itu lalu saling pandang dengan dahi berkerut dalam. 'Apa anak itu sengaja menghindar?' tebak Bu Martha, dalam hati.

🌹🌹🌹

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status