Andreas kini dapat bernapas dengan lega, setelah sang istri tersadar. Tak henti, pria tampan itu mengecupi wajah istrinya yang sudah berangsur cerah dan tak sepucat tadi. Joana bahkan sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah dipastikan bahwa kondisinya sudah membaik.Di ruang perawatan pun, Andreas tak mau jauh-jauh dari sang istri tercinta. Dia bahkan tadi hanya menggendong anak-anaknya sebentar karena setelah itu, kedua bayi mungil itu sudah menjadi rebutan. Saat ini, bayi laki-laki berada di pangkuan Mama Anggie, sementara bayi perempuan berada di pangkuan Bibi Liana.Ya, Bibi Liana sebenarnya menginginkan cucu perempuan karena dia hanya memiliki anak laki-laki. Namun sayang, anak yang dilahirkan sang menantu, Melanie, malah laki-laki. Meski begitu, istri Pak Bernardus itu tetap menyayangi sang cucu."Kakak Ipar. Ryan belum kebagian gendong keponakan, nih. Bikin lagi, ya. Satu aja," pinta Ryan yang tiba-tiba
Wanita bertubuh kurus yang ada di dalam mobil taksi itu terus mengamati rumah Andreas. Dia nampak menimbang-nimbang. Entah apa yang dipikirkan."Maaf, Bu. Sampai kapan kita akan tetap di sini?" tanya sopir taksi tersebut, mengurai lamunan penumpangnya."Iya, tunggu sebentar, ya, Pak."Setelah berkata demikian pada sopir taksi, wanita tinggi semampai itu segera turun lalu berjalan perlahan memasuki gerbang kediaman Andreas yang memang tidak ditutup karena ada beberapa saudara Joana yang belum datang. Tanpa ragu, dia terus melangkah perlahan lalu menaiki teras rumah yang cukup tinggi dengan sangat hati-hati. Seolah, dia takut jika kaki jenjangnya akan tersandung, dan bisa menyebabkan tubuh ringkih itu terjatuh."Permisi." Terdengar sopan, wanita itu menyapa penghuni rumah.Tak perlu menunggu lama, sosok Andreas segera muncul lalu menghampiri tamunya. Andreas mengerutkan dahi kala m
"Oh, Pak Andre. Ini nikmat sekali." Joana yang tubuhnya ditindih oleh Andreas dengan sengaja mengeraskan suara. Gadis belia itu mendesah manja seraya memejamkan mata. Joana juga semakin mengeratkan pelukan di leher sang guru idola, membuat Andreas tidak dapat melepaskan dirinya. Kepala sekolah yang kebetulan sedang melintas di depan ruangan Andreas dan mendengar suara aneh dari dalam lalu mendekati pintu yang tidak tertutup rapat itu. Pria paruh baya tersebut sangat terkejut, melihat apa yang terjadi di dalam sana. Di ambang pintu, tatapannya terpaku melihat ke dalam ruangan sang guru matematika. Seketika, rahang laki-laki tambun itu mengeras. Netra keabuannya menyorot tajam ke arah sofa, di mana tubuh kedua anak manusia yang berlainan jenis berada dalam posisi yang sangat intim. "Apa yang kalian lakukan?" Rupanya, suara keras kepala sekolah tenggelam oleh suara desahan Joana di telinga Andreas. Guru muda itu sama sekali tidak menyadari hadirnya sang kepala sekolah. Sejenak, Andreas
Andreas masih terlihat sangat kesal. Pria muda itu menyugar rambutnya dengan kasar. Embusan napasnya pun terdengar tidak beraturan. "Jo tahu, mungkin Pak Andre menganggap bahwa ciuman barusan tidak berarti apa-apa untuk Bapak. Tapi bagi Jo, ini sangat berarti, Pak, karena ini adalah ciuman pertama Jo." Joana semakin tersedu. Andreas sejenak memejamkan mata untuk meredam amarahnya. "Bukan seperti itu kejadiannya, Pak Kepsek. Tadi itu, Joana ...." Andreas menghentikan perkataan, ketika Pak Bernardus mengisyaratkan dengan tangan agar pria berkacamata itu tidak melanjutkan bicara. "Bapak juga meraba dada saya yang masih perawan, kan?" lanjut Joana, semakin mendramatisir keadaan. Air mata gadis itu bercucuran, mencoba meyakinkan sang kepala sekolah bahwa apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. "Lihat kancing baju saya, Pak Bernard. Pak Andre telah membukanya dan dia tadi, tadi ...." Joana yang masih tersedu, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Saya malu mengatakannya, Pak
Melihat kemarahan Andreas, nyali Joana sedikit menciut. Dia yang awalnya begitu antusias bahwa akan bisa mendapatkan sang guru idola dengan cara menjebak seperti itu, kini memilih pasrah. "Tidak mengapa jika Pak Andre tidak mau mengakuinya, Pak Kepsek. Tidak mengapa juga jika Pak Andre tidak mau memertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi mulai hari ini, saya pamit keluar dari sekolah karena saya merasa malu jika bertemu dengan Pak Andre. Saya juga malu karena merasa sudah ternoda," isak Joana seraya menundukkan kepala.Andreas semakin frustrasi mendengar perkataan Joana. Sementara Pak Bernardus menghela napas berat. Kepala sekolah itu lalu menegakkan punggung dan wajahnya nampak sangat serius."Saya sebagai kepala sekolah di sekolah ini, sangat menyayangkan perbuatan amoral Pak Andre! Bapak itu seorang pendidik yang seharusnya memberikan contoh baik dan bukan malah melecehkan siswi sendiri! Dan sebagai bentuk pertanggung jawaban Anda pada Joana, juga demi tegaknya peraturan di sekolah
Bu Martha nampak termenung, setelah mendengar penjelasan sang putra. Sementara Ryan terlihat sedikit emosional dan merasa tidak terima sang abang diperlakukan demikian."Tidak masalah jika Ryan harus cuti dulu dan kemudian cari kerja mengumpulkan biaya buat kuliah Ryan, Bang," sahut Ryan kemudian yang tidak tega melihat sang abang harus menanggung semua sendirian.Andreas menggeleng cepat. "Tidak, Ryan! Selain karena keinginanmu, mendiang ayah juga menginginkan agar salah satu anaknya bisa menjadi dokter," tegas Andreas, melarang."Abang tidak dapat mewujudkan keinginan ayah karena saat itu, terbentur biaya. Sekarang, Abang bisa membiayai kamu dan kamu harus sungguh-sungguh belajar agar cepat selesai dan meraih gelar dokter seperti yang ayah dan Ibu inginkan," lanjut Andreas, seraya menatap sang adik. "Tapi, bagaimana dengan Abang? Maksud Ryan, masa depan rumah tangga Abang nantinya jika Abang menikah dengan ....""Jangan pikirkan tentang Abang, Ryan!" sahut Andreas. "Abang pasti bis
Waktu terus berjalan. Pagi berganti siang. Sore yang ditunggu Joana pun datang menjelang.Gadis belia itu nampak tengah mematut diri di dalam kamarnya. Bolak-balik Joana terlihat berganti pakaian, untuk memastikan bahwa penampilannya sempurna. Hal itu membuat sang Bibi yang memerhatikan dari ambang pintu, geleng-geleng kepala."Sudah, Jo. Kamu itu aslinya sudah cantik. Tidak perlu berdandan juga sudah cantik. Ayo, kita keluar. Takutnya, calon suami kamu sudah datang dan nanti kelamaan menunggumu di bawah," ajak Bi Liana, menghampiri sang keponakan."Bentar, Bi. Apa menurut Bibi, penampilan Jo sudah benar-benar bagus?" tanya Joana, memastikan.Adik kandung sang mama itu menganggukkan kepala. "Kamu cantik, Sayang," pujinya, tulus. "Tapi sebaiknya kamu mengenakan kulot dan blouse yang itu saja karena Pak Andre 'kan bawa motor." Wanita paruh baya tersebut menunjuk blouse berwarna salem yang tadi sudah dicoba oleh Joana.Joana menatap sang bibi, dengan
Ya. Setelah mengenalkan Joana pada sang ibu tadi, Andreas memang langsung pamit untuk ke kamar. Namun, hingga obrolan tersebut berlangsung lama, Andreas tidak juga muncul dan bergabung bersama mereka di ruang keluarga. Berbeda dengan Joana yang bersikap biasa saja karena sudah menyadari bahwa guru tampan itu memang tidak menyukainya."Kamu benar, Dik. Coba, kamu lihat abangmu sana. Takutnya, dia kenapa-napa," titah sang ibu kemudian, yang tidak ingin membuat Joana merasa diabaikan."Bang Andre capek kali, Bang Ryan," sahut Joana. "Birkan sajalah, Bang, jangan diganggu dulu. Nanti kalau mau mengantar Jo pulang, Bang Andre pasti keluar," lanjutnya yang kini ikut-ikutan memanggil Andreas dengan sebutan bang, seperti halnya Ryan.Perkataan Joana yang penuh pengertian pada sang putra, membuat Bu Martha tersenyum. "Tulus sekali hatimu, Nak."Ryan mengangguk membenarkan perkataan sang ibu. Sementara Joana tersenyum, tersipu malu."Kalau begitu, ibu mau me