Melihat kemarahan Andreas, nyali Joana sedikit menciut. Dia yang awalnya begitu antusias bahwa akan bisa mendapatkan sang guru idola dengan cara menjebak seperti itu, kini memilih pasrah.
"Tidak mengapa jika Pak Andre tidak mau mengakuinya, Pak Kepsek. Tidak mengapa juga jika Pak Andre tidak mau memertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi mulai hari ini, saya pamit keluar dari sekolah karena saya merasa malu jika bertemu dengan Pak Andre. Saya juga malu karena merasa sudah ternoda," isak Joana seraya menundukkan kepala.
Andreas semakin frustrasi mendengar perkataan Joana. Sementara Pak Bernardus menghela napas berat. Kepala sekolah itu lalu menegakkan punggung dan wajahnya nampak sangat serius.
"Saya sebagai kepala sekolah di sekolah ini, sangat menyayangkan perbuatan amoral Pak Andre! Bapak itu seorang pendidik yang seharusnya memberikan contoh baik dan bukan malah melecehkan siswi sendiri! Dan sebagai bentuk pertanggung jawaban Anda pada Joana, juga demi tegaknya peraturan di sekolah, saya minta agar Pak Andre menikahi Joana!" tegas kepala sekolah, membuat Andreas tertunduk lesu.
Ya, perbuatan Andreas pada Joana dinilai sebagai tindakan asusila di dalam area sekolah, maka guru muda itu harus menikahi siswi tersebut sebagai bentuk tanggung jawabnya karena telah melecehkan Joana. Guru matematika yang tampan itu tidak dapat menolak karena memang ada peraturan demikian di sekolah. Peraturan tersebut berlaku untuk siapa saja yang mengajar di sana.
"Maaf, Pak Kepsek. Saya tidak mau jika Pak Andre melakukannya dengan terpaksa. Lebih baik, saya keluar saja dari sekolah ini." Joana masih saja berdrama.
"Tidak, Joana! Merasa terpaksa atau tidak, Pak Andre harus tetap bertanggungjawab!" Kepala sekolah kembali menegaskan.
"Bagaimana, Pak Andre? Anda mau bertangungjawab atau mau keluar dari sekolah ini dan Anda tahu konsekuensinya, bukan?" Tatapan kepala sekolah yang mengintimidasi, membuat Andreas mengangguk pasrah.
Jika Andreas menolak, maka nama baiknya akan dipertaruhkan. Dia tidak akan dapat lagi mengajar di sekolah mana pun karena namanya akan langsung di black list. Begitulah peraturan di sekolah itu yang telah ditetapkan sejak lama.
Mereka berdua lalu meninggalkan ruangan kepala sekolah. Guru matematika itu terlihat begitu terpaksa menerima sanksi untuk menikahi Joana. Berbeda dengan Joana yang kini terlihat sangat bahagia karena merasa misinya telah berhasil, misi untuk mendapatkan guru idola di sekolahnya.
"Jangan merasa senang dulu kamu, Joana! Aku tahu, kamu sengaja menjebakku, bukan?" Andreas menghentikan langkah dan kemudian menyorot tajam netra bulat Joana.
Gadis berseragam putih abu-abu itu hanya tersenyum manis dan tidak ingin mengatakan apa pun. Hal itu membuat Andreas sangat kesal karena merasa dipermainkan oleh gadis tersebut. Andreas segera meneruskan langkah untuk kembali ke ruangan. Rupanya, Joana terus saja mengekor langkahnya.
"Kita memang akan menikah, Jo, tapi kamu harus ingat satu hal! Pernikahan kita ini hanya di atas kertas! Aku tidak menyukaimu!" tegas Andreas seraya menatap dingin pada Joana, ketika dia sudah tiba di depan ruangannya.
"Fine, Honey. Hanya di atas kertas, tapi aku pastikan bahwa kamu tidak akan sanggup menolak pesonaku!" balas Joana seraya tersenyum penuh kemenangan.
Andreas segera masuk ke ruangannya lalu menutup pintu itu dengan keras, tepat di depan wajah Joana. Menyisakan Joana yang mematung di depan pintu sang guru idola. Beberapa saat kemudian Joana tersenyum dan kemudian segera berlalu dari sana.
Setelah memastikan bahwa Joana tidak ada lagi di depan ruangannya, Andreas bergegas keluar untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, Andreas mengendarai motor dengan tidak fokus hingga berkali-kali dia hampir mengalami celaka. Pikirannya terus tertuju pada masalah di sekolahan barusan, masalah yang timbul akibat ulah salah satu siswinya. Mengingat hal itu, Andreas semakin tidak menyukai Joana.
Kemarin-kemarin, guru matematika itu bukannya tidak suka pada Joana. Siapa, sih, laki-laki yang tidak menyukai gadis cantik dan pintar seperti Joana? Hanya saja, bagi Andreas siswinya itu masih sangat muda dan lebih pantas untuk dianggap adik saja.
"Apa yang harus aku katakan pada Ibu?" gumam Andreas sambil memacu motornya lebih cepat ke arah rumah sang ibu.
Guru muda itu bingung, bagaimana dia harus menjelaskan pada ibunya nanti. Sebagai anak sulung, dia merasa telah mengecewakan sang ibu dengan adanya kejadian seperti ini. Kejadian yang tidak pernah dia harapkan sama sekali.
Andreas masih ingin berkarir dan ingin membantu sang ibu membiayai adiknya. Jika dia menikah saat ini, itu artinya Andreas tidak akan dapat maksimal dalam memberikan bantuan biaya. Sebab, penghasilannya pasti akan terbagi menjadi dua.
Sementara di kediaman Pak Bernardus, Joana langsung disidang oleh paman dan bibinya. Gadis belia itu dicecar dengan banyak pertanyaan oleh sang paman, tentang kebenaran kejadian di ruangan guru matematika. Juga mengenai kesiapan Joana untuk menikah di usia yang masih sangat belia.
"Jo tadi 'kan sudah menjelaskannya, Paman. Apa Paman Ben tidak memercayai Jo?" Joana menatap sang paman dengan tatapan sendu.
"Paman Ben dan Bibi Lian tahu 'kan, seperti apa pergaulan Jo selama ini?" Gadis belia itu menatap sang paman dan bibinya, bergantian.
"Jo selalu meminta izin pada Paman dan Bibi jika Jo ingin mengikuti kegiatan di sekolah. Jo juga tidak pernah pulang terlambat, 'kan? Apa menurut Paman Ben dan Bibi Lian, Jo ini gadis yang liar?"
Gadis belia itu kembali menjalankan perannya dengan epik. Air mata Joana keluar untuk menunjukkan pada sang paman dan bibi, bahwa dia sangat bersedih karena mereka berdua yang merupakan orang tua kedua bagi Joana tidak memercayainya.
"Jika Paman dan Bibi saja tidak percaya pada Jo, bagaimana dengan papa dan mama di sana?" Air mata Joana semakin deras mengalir.
Bibi Liana, istri Pak Bernardus itu mengusap punggung sang keponakan penuh rasa sayang. "Bukan kami tidak percaya padamu, Sayang, tapi kami hanya ingin menglarifikasi dan memastikan agar kamu tidak menyesal nantinya," tuturnya dengan lembut.
"Jo tidak akan menyesal, Bi. Jo sudah mengatakan yang sebenarnya dan Jo juga mau menerima jika Pak Andre memang benar bersedia untuk bertanggungjawab dan menikahi Jo," sahut Joana, di sela isak tangis yang masih terdengar.
Sang bibi kemudian merengkuh tubuh Joana dan memeluknya erat. Mencoba memberikan ketenangan pada sang keponakan. "Iya-iya. Bibi percaya padamu."
Di tempatnya duduk, Pak Bernardus berkali-kali menghela napas kasar. Pria paruh baya berkumis tebal itu tengah berpikir keras, bagaimana cara untuk menyampaikan kabar ini pada orang tua Joana. Mereka pasti akan menyalahkan dirinya karena dinilai tidak dapat menjaga sang keponakan yang telah dititipkan padanya.
"Baiklah, Jo. Jika memang kamu tidak masalah untuk menikah dalam waktu dekat, paman akan bantu kamu berbicara pada kedua orang tuamu," kata Pak Bernardus, membuat hati Joana menjadi lega.
"Paman akan menanyakan pada Pak Andre, kapan dia siap menikahimu," lanjutnya yang kemudian menuntun langkah Joana untuk mendekati sang paman lalu memeluknya erat.
"Terima kasih banyak, Paman. Paman Ben memang yang terbaik." Joana tersenyum lebar kemudian
"Lagu lama itu, Jo. Kamu selalu mengatakan seperti itu jika ada maunya!" protes sang paman seraya terkekeh.
Joana pun ikut tertawa lalu melepaskan pelukan pada pamannya. Di tempatnya duduk Bibi Liana tersenyum bahagia. Wanita paruh baya tersebut ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan Joana.
Keadaan berbeda, terlihat di kediaman orang tua Andreas. Setibanya di rumah, kedatangan Andreas yang disambut oleh sang ibu dan sang adik lalu mengajak mereka berdua untuk bicara. Hati-hati Andreas mencoba menjelaskan masalah yang sedang dia hadapi pada ibunya. Mendengar penjelasan Andreas, sang ibu nampak sangat sedih juga kecewa. Wanita paruh baya tersebut sampai menitikkan air mata.
"Maafkan Andre, Bu. Andre bingung harus bagaimana? Jika Andre tidak mengikuti peraturan di sekolah dan menolak menikahi gadis itu, Ryan tidak akan dapat melanjutkan kuliahnya karena Andre akan dipecat dari sekolah tempatnya mengajar," terang Andre, sendu.
"Dipecat? Kenapa bisa begitu?" tanya sang ibu, tidak mengerti.
Andreas lalu menjelaskan bahwa namanya akan di black list dan tidak ada satu sekolah bonafide pun yang mau menerima dia mengajar di sana. Kecuali jika Andreas mau mengajar di sekolah yang biasa saja, kemungkinan besar dia masih dapat diterima. Namun, gaji yang dia peroleh di sekolah-sekolah yang non bonafide seperti itu, tidaklah sebesar gaji yang sekarang dia terima.
Sementara saat ini, Andreas membutuhkan banyak uang untuk membiayai sang adik yang masih duduk di bangku kuliah. Semenjak dia diterima mengajar di sekolah bonafide tersebut dua tahun lalu, Andreas menyetujui permintaan adiknya yang ingin kuliah dan mengambil jurusan kedokteran. Meskipun Ryan diterima di perguruan tinggi negeri, tetap saja biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit.
🌹🌹🌹
bersambung...
Wanita bertubuh kurus yang ada di dalam mobil taksi itu terus mengamati rumah Andreas. Dia nampak menimbang-nimbang. Entah apa yang dipikirkan."Maaf, Bu. Sampai kapan kita akan tetap di sini?" tanya sopir taksi tersebut, mengurai lamunan penumpangnya."Iya, tunggu sebentar, ya, Pak."Setelah berkata demikian pada sopir taksi, wanita tinggi semampai itu segera turun lalu berjalan perlahan memasuki gerbang kediaman Andreas yang memang tidak ditutup karena ada beberapa saudara Joana yang belum datang. Tanpa ragu, dia terus melangkah perlahan lalu menaiki teras rumah yang cukup tinggi dengan sangat hati-hati. Seolah, dia takut jika kaki jenjangnya akan tersandung, dan bisa menyebabkan tubuh ringkih itu terjatuh."Permisi." Terdengar sopan, wanita itu menyapa penghuni rumah.Tak perlu menunggu lama, sosok Andreas segera muncul lalu menghampiri tamunya. Andreas mengerutkan dahi kala m
Andreas kini dapat bernapas dengan lega, setelah sang istri tersadar. Tak henti, pria tampan itu mengecupi wajah istrinya yang sudah berangsur cerah dan tak sepucat tadi. Joana bahkan sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah dipastikan bahwa kondisinya sudah membaik.Di ruang perawatan pun, Andreas tak mau jauh-jauh dari sang istri tercinta. Dia bahkan tadi hanya menggendong anak-anaknya sebentar karena setelah itu, kedua bayi mungil itu sudah menjadi rebutan. Saat ini, bayi laki-laki berada di pangkuan Mama Anggie, sementara bayi perempuan berada di pangkuan Bibi Liana.Ya, Bibi Liana sebenarnya menginginkan cucu perempuan karena dia hanya memiliki anak laki-laki. Namun sayang, anak yang dilahirkan sang menantu, Melanie, malah laki-laki. Meski begitu, istri Pak Bernardus itu tetap menyayangi sang cucu."Kakak Ipar. Ryan belum kebagian gendong keponakan, nih. Bikin lagi, ya. Satu aja," pinta Ryan yang tiba-tiba
Andreas yang ikut menemani sang istri di dalam ruang persalinan, sebenarnya sangat tegang. Namun, pria itu mencoba untuk menutupi ketegangannya dengan menciumi puncak kepala Joana. Andreas terus memberikan semangat kepada istrinya."Kamu pasti bisa, Yang. Kamu wanita yang hebat. Aku mencintaimu, Yang," bisik Andreas, terus menerus. Memberikan kebahagiaan semangat, sekaligus mengungkapkan perasaannya yang terdalam.Di tengah rasa sakit yang mendera, Joana mencoba untuk tersenyum. Meski wanita cantik itu tak dapat berkata-kata, tetapi melalui tatapan matanya, Joana mengungkapkan rasa syukur karena memiliki suami seperti Andreas. Dia eratkan genggaman tangan, kala kontraksi kembali datang.Ya, Joana memilih proses persalinan normal untuk melahirkan kedua bayinya. Dokter yang menangani Joana jauh-jauh hari pun setuju karena baik kondisi ibu maupun kedua janin, sama-sama sehat. Meski awalnya Andreas menyarankan untuk operasi cesar saja karena pria itu tak sanggup melihat sang istri kesakit
Joana benar-benar ikut pulang dengan kedua orang tua, beserta kakaknya, Sandy. Segala bujuk rayu Andreas, tak dia hiraukan karena wanita hamil itu ingin selalu berdekatan dengan sang mama. Bahkan sepanjang perjalanan menuju bandara, Joana terus bergelayut manja dengan mamanya dan mengabaikan sang suami yang ikut mengantar.Andreas sengaja ikut mengantar ke bandara karena berharap, sang istri akan berubah pikiran. Suami Joana itu masih berharap, sang istri mengurungkan niatnya. Sebab, Andreas tidak dapat membayangkan bagaimana hari-harinya nanti tanpa sang istri."Abang kalau kangen 'kan, bisa nyusul Jo ke sana," jawab Joana dengan santai ketika sang suami masih berusaha membujuknya."Yaelah, Jo. Kamu pikir, Jakarta Bandung. Bisa nyusul sewaktu-waktu." Ricky yang juga ikut mengantar ke bandara, menyahut."Demi cinta, pasti jarak bukan halangan. Benar begitu 'kan, Bang?" Joana m
Semua orang dibuat panik karena Joana yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba ambruk, dan tak sadarkan diri. Andreas langsung membopong tubuh ramping istrinya dan membawanya berlari menuju mobil. Sandi yang baru saja datang, berteriak menyuruh sang adik ipar agar membawa Joana ke mobilnya.Sandi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sang mama yang duduk di samping kemudi, sampai harus mengingatkan sang putra sulung agar berhati-hati. Sementara di bangku belakang, Andreas yang memangku kepala sang istri, nampak sangat khawatir."Bangun, dong, Sayang. Kamu kenapa, sih?" Andreas menepuk lembut pipi Joana yang matanya terus terpejam.Sementara di belakang mobil Sandy, nampak tiga mobil lain mengiringi. Mobil yang dikendarai papanya Joana, berada tepat di belakang mobil Sandy. Diikuti mobil Ricky dan terakhir mobil Ryan.Tak berapa lama, iring-iringan mobil itu memasuki kawasan rumah sakit. Setelah berh
Belum juga ada tanda-tanda kehamilan meski sudah lebih dari satu bulan Joana dan Andreas pulang dari berbulan madu ke negara matahari terbit kala itu, membuat Joana kembali murung. Wanita cantik itu bahkan tak bersemangat, menyambut wisudanya minggu depan. Joana akhir-akhir ini juga sering mengurung diri di dalam kamar.Tentu saja sikap istrinya tersebut membuat Andreas khawatir. Pria muda itu dibuat bingung sendiri dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, dia sudah seringkali mengatakan pada sang istri bahwa tidak kunjung hamilnya Joana, tak masalah bagi Andreas."Sudah, dong, Yang. Jangan begini terus!" Andreas mencoba membujuk sang istri. "Kita makan malam di luar, yuk. Sekalian nonton film," lanjutnya menawarkan karena ingin membuat mood sang istri kembali membaik.Joana menggeleng. "Jo lagi enggak pengin ke mana-mana, Bang."Andreas menghela napas panjang. "Yang. Jangan terlalu dipikirkan