Buugghh !!
"Aww, hati-hati dong kalo jalan. Mata di pake," ucapku kasar pada pria yang menabrak ku.
"Maaf, aku gak sengaja," katanya sembari membantuku berdiri.
Sekilas aku menatap pria di depanku ini, wajahnya tidak asing. Oh, ternyata dia! Pria yang dulu pernah diam-diam aku suka, tetapi ditolaknya.
"Mas Bram?" kataku pura-pura terkejut.
Bram menatap wanita yang ditabraknya dengan heran, kemudian mencoba mengingat. Namun, Bram tidak mengenalinya. "Maaf, kamu sapa? Kok tau nama saya?"
"Bram, aku Laras. Yang dulu pernah kamu tolak," jawabku menunduk sedih karena dia tidak mengenaliku lagi.
"Laras? Teman kuliahku dulu kan, yang dulu asyik ngejar aku terus tapi ku tolak," tebak Bram sembari tertawa.
"Ish, lucu ya Mas?" ujarku manyun.
"Nggak, cuma aku memang tidak tanda. Sekarang kamu tambah cantik, Ras," ucap Bram memuji. Aku pun tersipu mendengar pujiannya.
"Oh ya, kamu mau kemana nih?"tanya Mas Bram lagi.
Aku menghela nafas, mencoba mencari kata yang pas. "Aku hanya keluar Mas, cari angin saja. Suntuk di rumah."
"Sama dong, aku juga lagi males pulang. Mau mendinginkan pikiran dulu," kata Bram sembari tersenyum.
Aku terkejut, apakah terjadi sesuatu pada rumah tangganya. Ya aku memang sudah tau kalo Mas Bram sudah menikah. Saat itu hatiku sedih mendengar Mas Bram akan menikah, segala upaya telah kucoba merebut hatinya, tapi Mas Bram tidak menaruh hati padaku sedikit pun. Mungkin karena dulu aku gadis yang jelek dan culun.
"Mas, lebih baik kita cari tempat yuk untuk mengobrol," ajak ku yang dibalas anggukan Mas Bram.
Kami pun menuju cafe dan sengaja duduk agak di pojokan supaya tidak ada orang yang curiga. "Mas mau minum apa?" tanyaku begitu kami sudah duduk.
"Kopi saja," jawabnya pendek. Aku pun mengangguk kemudian memanggil waitress.
Seorang waitress datang menghampiri meja kami, "Pesan apa, Mbak?" katanya ramah.
"Pesan kopi dan capuccino satu ya!"
Waitress itu mengangguk kemudian pergi, setelah agak jauh kulihat Mas Bram hanya melamun. "Mas?" tegur ku.
Bram tersadar dari lamunannya, "Ya, Ras. Ada apa?"
"Mas kenapa melamun? Apa ada masalah?" tanyaku penasaran.
Bram hanya menggelengkan kepala, "Bukan masalah berat tapi cukup membuatku pusing."
"Apa masalah pekerjaan? Kalo begitu jangan di paksa, Mas istirahat dulu," hiburku walau belum mengerti yang sebenarnya.
"Bukan masalah pekerjaan, hanya di rumah antara Ibu dan istri selalu ribut. Gimana coba aku bisa tenang," akhirnya cerita Bram mengalir.
Aku yang mendengarnya tidak menduga, akan tetapi tetiba hatiku merasa senang. Bagus sekali wanita itu akhirnya bisa merasakan diriku yang dulu ditolak olehmu Bram, gumam ku dalam hati.
"Trus, memangnya kenapa Ibu dan istri Mas sering ribut?" pura-pura ku prihatin.
"Yakin mau dengar?" tanyanya seraya menantang dengan senyum di tahan.
Apa sih, kok malah jadi nyerang aku gini. Namun, karena terus penasaran ku coba untuk mengangguk. Semoga jawabannya tidak membuatku terkejut.
"Ibu dari awal tidak menyukai Winda, karena dia gendut dan kusam. Persis kamu dulu, hahahahaha," tawa Bram keras.
Aku jadi dongkol karena disindir, tapi ku akui memang dulu aku gendut jelek lagi. Tapi itu dulu, sekarang aku sudah berubah menjadi langsing dan cantik. Penolakan Bram dulu lah yang buat aku menjadi seperti sekarang. Dan berjanji suatu saat bila bertemu dia lagi, aku akan merebut dia dari siapapun.
Melihatku melamun, Bram menyudahi tawanya dan merasa bersalah. "Maaf, Ras. Sudah lama aku tidak tertawa, rasanya bahagia malam ini bisa melepas beban ku. Ini semua karena kamu, andai Winda bisa seperti kamu pasti Ibu tidak akan ribut terus."
Mendengar Bram berkata itu, aku merasa kini waktunya peluang untuk merebut Bram dari tangan Winda. Dengan modal kecantikan, Bram dan ibunya pasti menyukaiku. Aku pun tersenyum menyeringai, tunggu pembalasanku Winda.
"Laras!" tegur Bram. Aku terhenyak dan mendongak melihatnya, Bram sedang menatapku dalam. Aku terpana di pandang seperti itu, untuk menutup rasa malu aku menyeruput capuccino di depanku.
"Mau kah kamu menjadi wanitaku, Ras? tanya Bram yang masih menatapku.
Uhuuk, aku tersedak. Apa aku tidak salah dengar? Mungkin aja telingaku yang bermasalah, ku coba menelisik mata hitam di depanku ini. Mencari kebenaran dari ucapannya, atau hanya main-main saja. "Benar, Mas Bram?" tanyaku tak percaya.
Bram mengangguk, "Benar, Ras. Aku sudah bosan pada Winda. Dia tidak pernah menyenangkan mataku, bukankah istri itu berdandan untuk suaminya? Belum punya anak saja Winda udah kek gembel, apalagi jika punya anak nanti."
Yes, akhirnya tinggal selangkah lagi untuk mendekati ibunya. Dengan begitu semakin mudah untuk merampas kebahagiaan mereka. Senyumku jahat.
"Tapi, Winda kan masih tinggal bersama Mas. Apa dia tidak curiga nanti," tanyaku ragu.
"Gampang itu, serahkan semua pada Mas. Ibu pasti akan mendukung, karena Ibu berulangkali meminta aku menceraikan Winda," kata Bram mantap.
"Apa, cerai?" aku semakin melonjak kegirangan dalam hati.
"Iya, lambat laun aku pasti menceraikan Winda. Daripada terus ribut dan aku selalu pusing, lebih baik begitu," ujarnya sembari menghela nafas kasar.
Aku yang masih ragu dengan perkataan Bram, terus mengorek rumah tangganya. "Mas, boleh aku bertanya? Kenapa Mas Bram ingin aku menjadi wanita Mas?"
"Karena kamu cantik, sayang?" goda Mas Bram.
Ah, Mas Bram semakin romantis saja. Baru ketemu sudah manggil sayang, sepertinya dia memang kasihan. Kurang kasih sayang dari istrinya.
"Selain itu apa lagi?" celetukku.
"Mas sudah jatuh cinta pada pandangan pertama tadi. Ibu pasti senang Mas bisa mendapat wanita yang seperti kamu, cantik dan seksi. Namun, apakah kamu sudah punya suami, Ras?" Bram tetiba teringat status Laras.
Aku tertawa saat dia tanya suamiku, sampai sekarang aku belum menikah juga karena kamu Mas. "Aku belum punya suami, Mas. Aku masih suka sama kamu," jawabku malu.
"Benarkah, Ras? Kalo gitu semua jadi gampang, kita bisa terus bersama. Hahahaha," tawa Bram senang. Tetapi aku lebih senang, Bram telah jatuh kepelukanku.
Saat kulirik jam, sudah hampir tengah malam. Tidak terasa karena kami terlalu menikmati obrolan. "Mas, sudah mau tengah malam. Sebaiknya Mas pulang, ntar ditungguin istrinya," titah ku walaupun sebenarnya aku ingin berlama-lama dengannya.
"Tenang, Winda gak bakal nyariin aku. Karena saat ini dia lagi di kampung, menjenguk Mbok nya yang sakit," jawab Bram santai.
"Kalo gitu aku pulang ya, Mas," kataku seraya beranjak pergi.
"Laras, tunggu. Sudah tengah malam, gak baik wanita cantik sepertimu sendirian di jalan. Atau lebih baik kita ke hotel aja, besok pagi baru pulang," tawar Bram yang membuat mataku membulat.
Tanpa menunggu persetujuanku, Bram segera menarik tangan ku dan berjalan menuju mobilnya. Bram membuka pintu mobil untukku dan aku duduk di depan di sebelahnya.
Sepanjang jalan menuju hotel, aku perhatikan Bram terus tersenyum. Tau terus kulihati, Bram menoleh. "Kenapa, Ras terus melihat? Apa wajahku tampan jadi terpesona?"
Aku nyengir dan masih terus menatapnya," Aku senang, Mas. Akhirnya kamu menyukaiku dan kamu juga tampan," kataku yang membuatnya semakin bangga dengan bersiul.
Sampai di hotel, Bram segera memesan satu kamar buat kami menginap malam ini. Kamar terletak di lantai lima dengan nomer kamar 201, setelah menerima kunci Bram mengajak aku menuju lift.
Lift bergerak naik dan membuka pas di lantai lima. Bram mencari kamar sesuai pesanan sembari terus menggandeng tanganku. Aku cuma bisa senyum membayangkan tidur berdua seranjang dengan Bram. Keinginan dulu yang sempat terpendam, namun baru sekarang bisa terwujud.
Kamar itu sungguh besar begitu kami memasukinya, Bram segera mengunci pintu. Saat aku masih asyik menikmati keindahan kamar, tiba-tiba tangan Mas Bram merangkul pinggangku dari belakang.
Aku terkejut tapi senang, "Bagaimana, kamu suka kamarnya?" tanya Bram.
"Suka Mas, tapi lebih suka berdua bersamamu malam ini."
"Tentu saja, kita akan habiskan malam ini dengan bahagia," kata Bram tapi buat aku penasaran.
Bram menarik tanganku menuju ranjang dan mendorongku hingga aku terbaring di ranjang. Bram mendekatiku kemudian mencium bibirku dan seterusnya kami lewati malam ini dengan kenikmatan surga dunia.
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA.Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu.Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku."Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas."Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku."Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia.Sayid mengang
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat.Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami.Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang.Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?"Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak."Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas.Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju."Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen.Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas."Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget."Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama.Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas.Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini."Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan."Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide."Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar. Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit.""Mbok yakin?" tanyaku tak percaya."Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya."Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?""Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa.Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran.Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya."Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik."Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku.Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku.Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain.Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?""Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung