"Assalamualaikum," Sapa ku begitu sampai di depan rumah mertua.
Ya akhirnya aku balik lagi setelah seminggu di kampung. Lumayan juga untuk mengisi energi dan kekuatan agar aku dapat melawan dua manusia arogan itu. Aku akan berpura-pura tidak tahu, tetapi tetap terus mengawasi kelakuan mereka.
Tetiba ingat foto yang dikirim Nina, membuatku menjadi jijik pada Mas Bram. Lelaki yang baru saja menjabat posisi tinggi itu sudah merasa hebat, merasa dengan jabatannya bisa melakukan semaunya. Mas Bram tidak tau, setiap perbuatan itu ada karmanya.
Terdengar derit pintu terbuka, Ibu yang berdiri di depanku terkejut. "Winda?"
"Kenapa, Bu? Seperti melihat hantu aja, kenapa kaget?" tanyaku heran.
"Enggak, kok!" ucapnya gugup. Kemudian dengan cepat Ibu menguasai dirinya dan balik ke sikapnya yang angkuh.
"Eh, menantu miskin. Kenapa balik sini, apa udah bosan di kampung?" ejeknya.
"Ibu, apa-apaan? Winda masih istri Mas Bram dan masih punya hak, kenapa gak boleh balik kesini?" tanyaku ketus.
Ibu melongo, pasti tidak menyangka aku semakin berani padanya. Tanpa menggubris Ibu, aku segera masuk kedalam rumah. Namun, saat berjalan ke arah ruang tamu aku mendengar suara cekikan wanita dan laki-laki.
Setelah agak dekat aku bisa melihat jelas, wanita itu memeluk Mas Bram dengan manja. Seketika darahku mendidih, tas yang kupegang terjatuh.
Brak !!
Kedua mahkluk hina itu terkejut dan menoleh kebelakang. "Winda?" Mas Bram kaget melihatku yang tiba-tiba pulang tanpa mengabarinya. Setelah Mas Bram sadar segera dilepaskannya pelukan wanita itu.
"Oh, jadi ini alasan Mas memberi izin seminggu di kampung. Biar Mas bisa bersenang-senang pada wanita ini," aku pura-pura marah sembari menunjuk wanita didepanku.
Mas Bram berjalan mendekatiku, "Winda, Mas akan jelaskan! Tidak seperti yang kamu lihat."
Aku berdecak kagum," Wah, sudah mulai pandai Mas bersandiwara ya! Jelas sangat jelas aku melihat kalian berpelukan, masih tidak mengaku."
"Winda, dia itu adik sepupuku yang datang dari luar kota. Wajar dong kalo kita bisa dekat dan boleh memeluk. Ya kan, Laras," kata Mas Bram kemudian menoleh wanita itu.
Oh, jadi wanita itu bernama Laras. Perawakannya persis foto yang di kirim Nina tempo hari. Aku menoleh pada Laras dengan tampang muak.
Wanita itu tersenyum dan tanpa malu-malu mendekati sembari memegang lenganku. "Benar Mbak, aku Laras sepupu Mas Bram," ujarnya mengulur tangan.
Walaupun aku dongkol, tapi tetap kusambut agar mereka tidak curiga. "Baiklah, aku Winda istri Mas Bram."
"Ya sudah, kamu pasti capek kan. Yuk, Mas antar ke kamar," ujar Mas Bram mengambil tasku kemudian menuntunku ke kamar.
"Laras, Mas anter Winda dulu ke kamar. Kamu cari Ibu aja di depan," kata Mas Bram pada Laras.
Namun, kulihat sekilas Laras sedikit berdecak kesal. Dan wajah Mas Bram pun keruh, mungkin mereka berdua merasa kehadiranku menganggu. Ah, masa bodoh kekeh ku dalam hati.
Sampai di kamar, aku merebahkan diri. Mas Bram memijat kakiku, sedikit tak percaya melihat sikapnya. Mungkin hanya modusnya untuk menutupi kelakuan busuknya. Aku pun menikmati, mumpung dia bersedia.
Memang badan ini sedikit capek, ditambah melihat pemandangan aneh tadi. Merusak hati dan pikiranku, walaupun sebenarnya aku hanya berpura-pura tapi tak dipungkiri ada sedikit cemburu. Bagaimanapun, aku masih mencintai Mas Bram.
Saat aku merubah posisi miring, tercium aroma lain di bantal. Aku masih ingat sebelum pulang kampung aku mengganti seprai dan sarung bantal, biar Mas Bram bisa nyenyak tidur. Namun, wangi ini seperti wangi yang tercium saat Laras mendekatiku tadi.
Mas Bram yang masih memijat kakiku heran ketika aku mengendus bantal. "Kenapa, Win?" tanyanya.
"Selain Mas, siapa yang tidur dikamar ini?"
"Ya cuma Mas sendiri, memangnya kenapa?" tanya Mas Bram masih santai.
"Mas jangan bohong, aroma bantal ini seperti wangi Laras," kataku sambil melempar bantal ke arahnya.
Mas Bram kikuk tak bisa mengelak lagi, dengan gugup Mas Bram melepas sarung bantalnya. "Ya, Laras pernah tidur di kamar ini."
"Jadi benar dia tidur di kamar ini, kan! Lalu tidur berdua dengan Mas?" selidik ku
"Ya enggaklah, Win. Ibu yang menyuruh dia tidur di kamar ini, Mas tidur di sofa ruang tamu," elaknya berbohong.
Ah, lagi-lagi selalu Ibu yang mengatur. Ibu benar-benar orang tua yang hina, lebih hina dari Mbok ku. Sekalipun Mbok orang miskin tak mungkin menyuruh berbuat tercela.
"Laras kan bisa tidur di kamar tidur Ibu atau Eka, Mas," sindir ku tajam.
"Ibu gak mau, sempit katanya tidur berdua. Jadi terpaksa Mas yang mengalah, sudahlah lagian Laras sepupu Mas. Apa yang mesti di curigai," ujar Mas Bram agak meninggi.
Kemudian beranjak pergi "Kamu istirahat aja dulu, biar Mas yang meminta Laras memasak. Dia bisa juga memasak walau tak seenak masakanmu," titah Mas Bram seraya penutup pintu.
Dentuman keras pintu yang ditutup Mas Bram seperti dentuman di hatiku, terasa sakit dan perih. Begitu cepat dirimu berubah Mas, bahkan dengan berani memasukkan wanita lain kerumah yang kau bilang sepupu. Sandiwara mu nyaris sempurna, akan tetapi aku tetap mengetahuinya.
Tak terasa air mata menetes di pipiku, tetiba aku ingat Mbok dikampung. Sepertinya aku lebih bahagia tinggal dengan Mbok daripada di sini. Namun, aku masih punya suami. Sebelum ikatan itu terlepas, aku akan berusaha tetap mempertahankan rumah tanggaku. Mungkin saja suatu hari Mas Bram berubah dan kembali seperti dulu lagi.
*****
Suara azan menggema, membangunkan aku dari tidur. Ku lirik jam dinding, ternyata sudah sore. Aku melonjak kaget ternyata tidurku lama, aku sudah melewati salat Dzuhur.Mas Bram kenapa tidak membangunkan aku, gerutu ku kesal. Tapi ngomong-ngomong kok sepi, tidak ada suara di luar. Aku beringsut dari ranjang dan pelan membuka pintu sambil membawa handuk, ingin mandi sekalian biar badan segar.
Melewati ruang tengah dan dapur juga sepi, sudahlah aku mandi dan salat saja dulu. Badanku terasa segar begitu terkena air, rambut sekalian keramas biar wangi. Siap mandi aku segera salat, menjama' dua salat yang tertinggal.
Aku keluar kamar sudah bersih dan wangi, kemudian ke dapur ingin membuat teh manis. Ku periksa meja, ternyata masih ada sedikit lauk tapi sudah dingin. Aku coba memanasi lagi, karena perut yang sudah keroncongan.
Saat mencoba makan, aku muntahkan kembali. Masakan apa ini, sungguh tak enak, gumamku heran. Pasti ini masakan Laras yang Mas Bram bilang, ternyata memang benar lebih enak masakan ku lagi ketimbang Laras.
Kulihat dilemari masih tersisa stok Indomie sebungkus. Daripada kelaparan lebih baik makan mie aja, lebih mantap rasa mie ini daripada masakan Laras.
Lagi asyik makan mie, terdengar suara ramai di depan. Rupanya Mas Bram dan Ibu juga Laras baru pulang, entah darimana mereka. Dari wajahnya terlihat bahagia, di tangan Laras tertenteng beberapa tas.
Melihatku yang sedang makan mie, Mas Bram menghampiri. "Sudah bangun, Win?" tanyanya.
"Kenapa Mas gak bangunin aku, sih? Aku jadi melewati salat Dzuhur tadi," ucapku kesal.
"Sorry, Win. Tadi kami sedang berbelanja dan sekalian cari makan. Kamu pasti sudah rasakan masakan Laras kan, tidak enak. Jadi Ibu menyarankan makan diluar," jelas Mas Bram.
Kulihat Ibu senyum-senyum senang, cemburu segera menjalar di hatiku. Sungguh beda perlakuan Ibu kepadaku, bila aku tak masak di hardiknya. Walaupun masakan ku enak tak pernah di hargainya. Tiba-tiba kurasakan air mata akan jatuh tapi ku tahan, tak ingin cengeng di hadapan mereka.
"Baguslah, aku juga tak perlu capek memasak," ujarku asal.
Ibu mendelik, dipikirnya aku akan cemburu atau marah. Namun, saat melihatku bersikap biasa Ibu jadi terdiam. Aku tak menghiraukan mereka dan melanjutkan makan mie yang masih tersisa sedikit.
Siap makan aku masuk ke kamar, tak ingin bergabung dan bersenda gurau bersama mereka apalagi kini ada Laras. Dari dalam kamar aku mendengar cekikan tawa bahagia mereka. Aku tak ingin tau mereka belanja apa, toh selama ini jika aku meminta dibelikan sehelai daster pun Mas Bram tak sudi.
"Tuhan, kuatkan lah hatiku," rintih ku berdoa.
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA.Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu.Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku."Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas."Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku."Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia.Sayid mengang
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat.Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami.Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang.Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?"Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak."Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas.Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju."Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen.Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas."Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget."Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama.Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas.Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini."Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan."Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide."Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar. Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit.""Mbok yakin?" tanyaku tak percaya."Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya."Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?""Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa.Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran.Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya."Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik."Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku.Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku.Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain.Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?""Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung