Setelah menerima boarding pass dari petugas, Noah dan Jasmine berjalan menuju ruang tunggu VIP. Ruangan itu luas, elegan, dan jauh lebih tenang dibandingkan keramaian di luar.Sofa-sofa empuk berjejer rapi, sementara jendela besar memperlihatkan pemandangan pesawat yang bersiap di landasan.Jasmine duduk di salah satu sofa dan menarik napas lega. Dia merasa perjalanan ini semakin nyata. Namun, sebelum bisa larut dalam pikirannya sendiri, Noah datang dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman."Makan dulu," katanya sambil meletakkan nampan di meja kecil di depannya.Jasmine melirik isi nampan itu. Ada sandwich, croissant, dan segelas jus jeruk."Kamu tahu aja aku lapar," gumamnya dengan mata berbinar.Noah duduk di sampingnya, menyandarkan punggung ke sofa dengan santai. "Nggak perlu jadi jenius untuk tahu itu, perutmu sudah kasih pengumuman sejak di mobil."Jasmine mendengus kecil, tapi pipinya merona malu. "Kamu denger?""Jelas. Masa kamu lupa, aku tadi bertanya, Aku kira ada g
Pesawat melaju lancar di atas awan, membawa Jasmine dan Noah menjelajahi langit, meninggalkan Arthaloka menuju Bulgarion.Jasmine masih merasa kagum dengan pengalaman baru ini. Dari ruang VIP bandara yang mewah hingga kini berada di dalam pesawat pribadi, semuanya terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.Selama penerbangan, Noah tampak sangat santai, hampir tidak ada ekspresi terkejut atau terkesan di wajahnya. Sebaliknya, Jasmine tidak bisa berhenti terpesona.Setiap detil dalam pesawat ini dari kursi kulit yang mewah hingga pencahayaan lembut, yang menambah nuansa eksklusif, membuatnya merasa seperti seorang bangsawan."Wow, ini luar biasa," gumam Jasmine, memandangi ruang kabin yang luas. "Aku nggak pernah bayangin bakal terbang dengan pesawat pribadi."Noah hanya meliriknya dan tersenyum kecil. "Biasa aja kok, ini hanya pesawat."Jasmine menatapnya sejenak, tak percaya. "Biasa aja? Kamu nggak ngerasa ini luar biasa?" tanyanya, merasa segala hal tentang perjalanan ini terasa sa
Penerbangan yang terasa begitu cepat akhirnya memasuki fase akhir. Suasana dalam kabin mulai berubah, dengan petunjuk dan pengumuman dari kru pesawat yang menandakan bahwa pesawat akan segera mendarat. Jasmine masih terlelap, tak menyadari perubahan yang terjadi di sekitarnya.Noah menatapnya dengan lembut, merasa tertarik untuk membangunkannya dengan cara yang sedikit berbeda. Dia perlahan mengulurkan tangan, menyentuh bahu Jasmine dengan lembut."Jasmine," katanya dengan suara pelan, berusaha tidak mengejutkannya.Namun, Jasmine tetap tidak bergerak. Melihatnya begitu tenang membuat Noah merasa sedikit gemas. Dia mendekat, menatap wajah cantik Jasmine yang tampak begitu damai.“Jasmine, kita hampir mendarat,” katanya dengan suara lebih keras, kali ini menyentuh lembut pipinya.Jasmine mengerjap, matanya membuka perlahan seiring dengan suara itu. Selalu ada rasa bingung ketika seseorang baru terbangun, dan Jasmine kini merasa seperti terbangun di rumahnya, bukan di pesawat. Menggerak
Setelah pesawat akhirnya mendarat dengan mulus di Guava Airport, bandara utama di Bulgarion, Jasmine terkesima melihat suasana yang menyambutnya.Bandara ini jauh lebih megah dan modern daripada yang dia bayangkan, dengan desain yang elegan namun tetap hangat dan ramah. Langit senja di luar, diterangi lampu-lampu bandara yang berkilauan, menciptakan suasana yang begitu indah."Wow... ini luar biasa," gumam Jasmine, matanya berkeliling, takjub.Setiap sudut bandara tampak dirancang dengan penuh perhatian, dengan taman hijau di dalamnya dan langit-langit yang tinggi, menjadikan suasana di sini terasa begitu terbuka dan nyaman."Noah, ayo kelilingi bandara sebentar," pintanya, berharap bisa menikmati lebih banyak lagi keindahan bandara ini.Noah mengalihkan pandangannya pada Jasmine. Meskipun sedikit kesal karena seharusnya mereka bisa langsung menuju tempat tujuan, dia mengerti betul bahwa ini adalah pengalaman pertama Jasmine di tempat ini, dan dia merasa perlu memberinya sedikit waktu
Noah baru saja selesai membaca pesan dari Vanesia yang baru saja dikirimkan. Tiba-tiba, dia terkejut. Vanesia mengirimkan foto dirinya di bandara, dengan senyum lebar, menunjukkan bahwa dia sudah berada di sana.Jasmine yang melihat ekspresi bingung Noah langsung bertanya, "Ada apa? Kenapa kamu kelihatan terkejut?"Noah menatap pesan itu sekali lagi sebelum akhirnya menjawab, "Vanesia... dia sudah ada di sini. Dia menjemput kita."Jasmine mengangguk pelan. "Ya udah, suruh aja dia kemari." Suaranya terdengar santai, namun ada sedikit ketegangan yang mulai terasa di dalam hati. Ia tak tahu mengapa, tapi rasanya ada sesuatu yang aneh dengan Vanesia.Noah pun mengirimkan pesan balasan kepada Vanesia, memberitahunya untuk datang menemui mereka di lokasi. Tak lama, Vanesia terlihat berjalan dengan langkah cepat menuju mereka.Namun, saat Vanesia mendekat, dia tampak bingung mencari-cari keberadaan Jasmine. Wanita itu menyapa Noah dengan senyum penuh percaya diri, dan tanpa ragu, dia berniat
Kamar Presidential Suite 1001 di lantai 20 itu benar-benar megah. Begitu pintu terbuka, suasana mewah langsung menyambut Jasmine. Interior kamar yang luas dan elegan dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Bulgarion malam itu memukau mata.Jasmine, yang sudah kelelahan, tak peduli dengan segala kemewahan itu. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menghamburkan badannya ke kasur yang empuk."Noah... aku capek..." gumamnya pelan, menutup mata, mencoba melupakan segala hal di sekitarnya.Namun, Noah tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dengan wajah yang penuh perhatian, dia menghampiri Jasmine."Jasmine, kamu harus membersihkan diri dulu. Kamu pasti merasa lebih baik setelah mandi," kata Noah lembut, meskipun ada sedikit nada memaksa di sana.Jasmine tidak menggubris. Rasanya terlalu malas untuk bergerak, apalagi setelah perjalanan panjang dan melelahkan. 
Noah tetap melancarkan aksinya, melepaskan satu per satu pakaian yang dikenakan Jasmine. Menyadari bahwa Jasmine juga kelelahan, sentuhan Noah begitu lembut, seakan memanjakan tubuh Jasmine yang telah lelah. Di setiap gerakan, ada ketenangan yang disertai bisikan halus yang menenangkan."Apakah pesawatku bisa mendarat dengan mulus?" bisik Noah, suara rendahnya seperti menembus kesunyian malam.Jasmine yang sempat tegang hanya mengangguk pelan, menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa malu yang datang begitu mendalam.Namun, Noah tiba-tiba bertanya lagi, "Sepertinya landasannya basah, ya?" kata-katanya mengejutkan, membuat Jasmine semakin merunduk, menutup matanya, mencoba menghindari rasa malu yang semakin menyelimuti dirinya.Noah tersenyum, memandang Jasmine dengan tatapan penuh percaya diri. "Tenang, Kapten Noah paham cara mendarat dengan mulus. Agar kamu tak tergelincir, kamu bersiap, nona."
Pagi itu, sebuah pesan singkat juga masuk ke ponsel Noah. Di tengah Jasmine menikmati sarapannya.Vanesia: ’Aku sudah di lobi. Kita harus segera berangkat ke proyek.’Noah mendengus kecil, kemudian bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Jasmine, yang masih sibuk dengan sarapan, hanya melirik sekilas sebelum kembali menikmati potongan croissantnya. Namun, begitu Noah keluar dari kamar mandi, Jasmine tertegun.Kemeja putih yang pas di tubuhnya, ditambah celana panjang hitam yang membentuk kaki panjangnya dengan sempurna, membuat Noah terlihat begitu menawan. Rambutnya yang masih sedikit basah semakin menambah pesona. Jasmine tidak bisa menahan diri untuk menatap lebih lama."Kamu mau ikut turun ke lobi?" tanya Noah sambil merapikan jam tangannya.Jasmine mengangguk tanpa pikir panjang. "Tentu saja."Mereka pun turun bersama menuju lobi.Di lobi, Vanesia duduk dengan anggun di salah satu sofa kulit yang mewah. Begitu melihat Noah datang, wajahnya berbinar, namun seny
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut