Jasmine menggigit bibirnya, menahan gemetar di tangannya yang terikat. Kepalanya masih terasa berat akibat efek obat yang diberikan penculiknya. Namun, ia berusaha tetap sadar dan berpikir jernih.Ia tidak boleh panik. Ia harus mencari celah. "Ke mana kalian akan membawaku?" tanya Jasmine, mencoba menggali informasi.Pria bertubuh besar yang berdiri di depannya hanya terkekeh rendah. Ada tatapan meremehkan dalam matanya, seolah Jasmine bukan ancaman sama sekali."Kau tidak perlu tahu," jawabnya datar. "Yang jelas, seseorang telah membayar mahal untuk memastikan kau tidak kembali."Pernyataan itu membuat dada Jasmine semakin sesak. ’Seseorang membayarnya? Siapa yang begitu menginginkan dirinya menghilang?’Pikiran itu berputar dalam benaknya. Ia mencoba menganalisis kemungkinan pelakunya. ’Zora? Tidak, meskipun Zora membencinya saat ini karena cemburu, wanita itu tidak akan sampai menyewa orang untuk menculiknya. Lalu siapa?’’Mungkinkah ini berkaitan dengan masa lalu Noah? Atau masa l
Jasmine mengatur napasnya, menenangkan debar jantungnya yang berpacu. Ia tahu, satu kesalahan saja bisa berakibat fatal. Pria di hadapannya, dengan wajah penuh luka dan sorot mata tajam, jelas bukan orang yang bisa diajak negosiasi.Namun, Jasmine tidak bisa hanya duduk diam. Ia harus mencari cara keluar dari situasi ini."Kemana kau akan membawaku?" tanyanya, berpura-pura lemah.Pria itu terkekeh rendah, lalu meraih pergelangan tangannya yang masih terikat. "Kau tidak perlu tahu, tapi seseorang akan datang menjemputmu. Dan percayalah, itu bukan seseorang yang ingin kau temui."Jasmine merasakan keringat dingin di tengkuknya. Ia semakin yakin ini bukan penculikan biasa. Ada skenario lebih besar yang melibatkannya, dan ia tidak punya waktu untuk menunggu penyelamatan.Di luar, angin semakin kencang. Ombak mengguncang kapal, membuatnya sedikit oleng. Dari celah jendela kecil, Jasmine melihat langit yang mulai mendung.’Badai? Ini mungkin satu-satunya kesempatan!’ seru Jasmine dalam hati
Noah duduk di samping tempat tidur, jemarinya masih menggenggam tangan Jasmine yang dingin. Napas perempuan itu lemah, dadanya naik turun dengan ritme yang lambat.Sudah hampir satu jam sejak mereka menyelamatkannya dari laut, tetapi Jasmine belum juga sadar.Setiap detik terasa begitu lambat. Noah menatap wajah Jasmine yang pucat, bibirnya kebiruan karena kedinginan."Cepat sadar, Jasmine," gumam Noah, hampir seperti doa.Pram berdiri tak jauh dari sana, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan tangan terlipat di dada. Matanya yang tajam mengamati Noah, membaca setiap ekspresi pria itu."Dokter bilang dia butuh istirahat," ujar Pram akhirnya.Noah tidak menoleh. "Aku tahu."Pram mendesah pelan. "Kau bisa keluar sebentar. Aku akan menjaganya."Noah akhirnya menoleh, menatap Pram dengan tajam. "Aku tidak akan pergi ke m
Malam semakin larut. Cahaya lampu di dalam kamar redup, memberikan suasana yang tenang, tetapi di dalam hati Noah, ketenangan itu tidak ada. Ia masih duduk di samping Jasmine, memperhatikan wajah perempuan itu yang kini tertidur lelap.Setiap kali mengingat Jasmine hampir kehilangan nyawanya, sesuatu di dalam dirinya terasa mendidih. Amarah, ketakutan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan perasaan yang semakin kacau."Kau harus lebih waspada, Noah." Suara Pram memecah kesunyian.Pria itu masih berdiri di dekat jendela, menatap keluar ke hamparan laut yang tenang setelah badai.Noah mendongak, menatap Pram dengan sorot tajam. "Apa maksudmu?"Pram menghela napas panjang sebelum berbalik menatap Noah. "Ini bukan hanya soal Jasmine. Ini soal siapa yang ada di balik semua ini. Aku rasa kau tahu lebih banyak dari yang kau katakan."
Setelah perjalanan panjang dan menegangkan, akhirnya kapal mereka bersandar di Pelabuhan Selatan Arthaloka, AirplaGer. Malam masih pekat, tapi aktivitas di pelabuhan tak pernah benar-benar berhenti. Cahaya lampu-lampu dermaga berpendar, menerangi gelombang air yang beriak pelan.Saat pintu kapal terbuka, paramedis yang telah menunggu segera membawa Jasmine ke dalam ambulans. Noah ikut masuk ke dalam kendaraan medis itu, menggenggam tangan Jasmine yang lemah. Matanya tak pernah lepas dari wajah perempuan itu, penuh kekhawatiran yang semakin menghimpit dadanya.Zora yang juga berada di dermaga penuh cemas, ia kemudian bersama Pram ikut dalam mobil lain, duduk dengan gelisah. Ia menghubungi seseorang melalui ponselnya, memastikan semua persiapan di rumah sakit telah siap. Tak peduli seberapa besar kebenciannya terhadap situasi ini, satu hal yang ia tahu: bayi yang dikandung Jasmine harus selamat.***Setibanya di Rumah Sakit Internasional Romanove, tim medis segera membawa Jasmine ke rua
Rumah Sakit Internasional Romanove dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Cahaya putih dari lampu-lampu koridor menambah kesan dingin, membuat suasana semakin mencekam. Di dalam kamar VIP, Jasmine terbaring dengan wajah pucat. Selang infus terpasang di tangannya, sementara alat pemantau detak jantung bayi terus berbunyi pelan.Noah duduk di kursi di samping ranjang, matanya tak lepas dari wajah Jasmine yang masih terlelap setelah diberikan obat penenang. Jemarinya menyentuh tangan perempuan itu, mengusapnya perlahan. Rasa bersalah semakin menghimpit dadanya.Zora berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di depan dada. “Kalau kau berniat mengelak lagi, sebaiknya jangan,” ujarnya dingin, tanpa menoleh sedikit pun.Noah menghela napas berat. “Aku tidak akan mengelak.”Zora menoleh, ekspresinya keras. “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Diam saja dan menunggu sampai Vanesia berbuat lebih gila lagi?”Noah mengepalkan tangannya. “Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidiki
Rumah Sakit Internasional Romanove masih sunyi, hanya diisi suara alat-alat medis yang berdetak pelan. Di dalam kamar VIP, Jasmine masih tertidur dengan wajah pucat. Noah tetap duduk di sampingnya, menggenggam tangannya seolah takut kehilangan.Zora masih berada di ruangan yang sama, duduk di kursi dekat jendela. Matanya tak lepas dari Jasmine, meskipun pikirannya sedang penuh dengan ancaman Vanesia yang semakin nyata.Tiba-tiba, ponsel Zora kembali bergetar. Ia segera mengambilnya dan melihat nama kontak yang tertera di layarsalah satu informannya. Ia segera mengangkat panggilan itu. “Ada perkembangan?” tanyanya cepat.“Nona Zora, kami menemukan sesuatu. Vanesia Bulharm tidak hanya menghubungi kelompok kriminal, tapi ia juga diduga menyewa seseorang untuk mengawasi setiap pergerakan Anda dan Tuan Noah.” Laporan anak buahnya, dalam panggilan telepon.Darah Zora mendidih. “Apa maksudmu?!”Tidak lama pria di dalam panggilan itu menjawabanya: “Ada pria mencurigakan yang terlihat di sekit
“Kami masih mencari tahu. Tapi ada satu hal yang pasti… ini bukan ancaman biasa.”Zora mengepalkan tangannya. Matanya menajam, penuh kemarahan.Tanpa membuang waktu, ia segera masuk kembali ke kamar. “Noah,” panggilnya tegas.Noah menoleh, melihat ekspresi Zora yang semakin serius. “Apa lagi?”Zora menatapnya tajam. “Kita harus bergerak sekarang. Vanesia punya seseorang di belakangnya, dan kita tidak tahu seberapa jauh mereka bisa bertindak.”Noah berdiri, ekspresinya berubah lebih dingin. “Aku sudah menyiapkan segalanya.”Zora menyipitkan mata. “Kau akan melakukan apa?”Noah tidak menjawab. Ia menoleh ke arah Jasmine yang masih duduk di ranjang, menatap mereka dengan bingung.Zora menatap Noah dengan penuh kewaspadaan. “Katakan padaku kau tidak ak
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan