Jasmine duduk di kursi pesawat pribadi yang telah disiapkan Noah, menatap ke luar jendela. Di luar sana, langit malam membentang luas dengan kilauan bintang yang berpendar di antara awan tipis. Perjalanan mereka menuju kota Velmor di benua Aldebaran telah dimulai dari tempat di mana Herman diduga bersembunyi.Noah duduk di seberangnya, menyesap segelas air mineral dengan ekspresi penuh konsentrasi. Ia mempelajari berkas-berkas yang berkaitan dengan Herman, sementara Jasmine berusaha meredakan kegelisahannya.“Velmor bukan kota yang mudah untuk ditelusuri,” kata Noah akhirnya, menatap Jasmine.“Jika Herman benar-benar ada di sana, maka dia memilih tempat yang tepat untuk menghilang.”Jasmine mengangguk, jari-jarinya saling meremas. “Aku hanya takut kita terlambat. Jika Zora dan Roberto sudah lebih dulu menemukannya, semuanya bisa berakhir sebelum kita sempat bergerak.”&nb
"Tempat ini lebih gelap dari yang kubayangkan," gumam Jasmine sambil melirik sekeliling.Angin malam di Velmor berhembus dingin ketika Jasmine dan Noah turun dari kendaraan yang membawa mereka ke distrik perdagangan di pusat kota. Lampu-lampu jalan berkedip samar, menerangi lorong-lorong sempit yang dipenuhi oleh pedagang dan orang-orang yang mencari informasi di pasar gelap. Velmor adalah kota di mana kebenaran dan kebohongan diperdagangkan dengan harga tinggi.Jasmine merapatkan mantel yang ia kenakan, mencoba menahan hawa dingin yang menusuk. Noah berjalan di sampingnya, pandangannya tajam menyapu setiap sudut jalan. Mereka tidak bisa lengah. Mereka tahu bahwa bukan hanya mereka yang sedang mencari Herman. Zora dan Roberto pasti sudah menurunkan orang-orang mereka."Tetap dekat denganku," suara Noah terdengar rendah namun penuh ketegasan. "Orang-orang di sini bisa mencium ketakutan dari jauh."Jas
"Tempat ini lebih menyeramkan daripada yang kubayangkan," ujar Jasmine pelan, suaranya hampir tenggelam dalam hembusan angin laut.Angin laut yang dingin menerpa wajah Jasmine saat ia berdiri di tepi dermaga, menatap air hitam pekat yang berkilauan di bawah cahaya lampu pelabuhan. Di sekelilingnya, suara ombak memecah keheningan malam. Velmor terasa semakin sunyi di tempat ini, jauh dari hiruk-pikuk distrik perdagangan.Noah berdiri di sampingnya, matanya tajam menelusuri setiap sudut area pelabuhan tua yang hampir terbengkalai. Hanya ada beberapa kapal tua yang terombang-ambing, dan deretan gudang yang tampak tak terurus. Namun, menurut informasi yang mereka dapatkan, Herman bersembunyi di salah satu gudang tersebut."Kita harus tetap waspada," kata Noah seraya melirik ke sekeliling. "Kalau informasi ini bocor, bisa saja ada orang lain yang sampai di sini lebih dulu."Jasmine menarik napas dalam-dal
Deru napas Jasmine memburu saat ia merapatkan tubuhnya ke peti kayu, mencoba meredam detak jantungnya yang menggema di telinga. Noah berada di sebelahnya, tubuhnya tegang dan siap bertindak. Dari balik peti, mereka bisa melihat orang-orang Roberto menyebar di dalam gudang, mencari target mereka.Herman berjongkok di belakang Jasmine, wajahnya pucat. "Mereka tidak akan membiarkan kita keluar hidup-hidup jika kita tertangkap," bisiknya dengan suara parau.Noah mengencangkan rahangnya, matanya menyipit tajam. "Kita tidak akan tertangkap."Dari balik peti lain, Levan mengangkat senjata kecilnya, bersiap menghadapi musuh jika diperlukan. "Ada jalan keluar di bagian belakang gudang ini. Tapi kita harus melewati mereka."Jasmine merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya. "Kalau begitu, kita harus bergerak sekarang."Sementara itu, di luar gudang, Zora dan Juan berdiri di dekat mobil hitam
Mobil melaju kencang menembus jalanan sepi Velmor, hanya ditemani deru mesin dan napas berat Jasmine yang masih berusaha mengendalikan debar jantungnya. Malam semakin pekat, dan lampu-lampu jalan yang redup seakan memperjelas betapa berbahayanya situasi mereka saat ini.Herman duduk di kursi belakang, tubuhnya masih gemetar akibat kejadian di gudang tua. Wajahnya pucat, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Pria itu menelan ludah, lalu akhirnya membuka suara dengan nada rendah."Aku tidak bisa terus bersembunyi. Mereka akan menemukan aku cepat atau lambat."Noah, yang duduk di kursi depan, meliriknya melalui kaca spion. "Itulah kenapa kau harus bicara sekarang. Jika kita ingin melindungimu, kami harus tahu segalanya."Jasmine menoleh ke arah Herman, matanya penuh ketegangan. "Apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku? Dan kenapa Jorse Corp bisa jatuh ke tangan Roberto?"Herman menarik napa
"Semua ini mulai masuk akal, tapi juga semakin rumit," suara Jasmine terdengar lirih saat ia menatap jendela, memperhatikan gerimis yang tak kunjung reda.Hujan gerimis turun membasahi kota Velmor ketika Jasmine dan Noah tiba di vila persembunyian mereka. Udara malam yang dingin masih terasa menusuk, seolah membawa sisa ketegangan dari pengejaran mereka sebelumnya. Jasmine melepas mantelnya, lalu berjalan ke dekat jendela. Tetesan air hujan membentuk pola abstrak di kaca, mencerminkan pikirannya yang kacau."Apa yang dikatakan Herman mengubah segalanya," lanjutnya, suaranya terdengar lebih serius. "Kematian ayahku bukan kecelakaan, seperti yang selalu kupikirkan. Dia dibunuh, Noah. Dan semua jejak mengarah ke Roberto."Noah yang berdiri di dekat meja, menyilangkan tangan di dadanya, menatapnya lekat-lekat. "Bukan hanya Roberto," gumamnya. "Jika benar perusahaan ayahmu diambil alih secara paksa, berarti ada orang lain yan
Setiap sentuhan laki-laki itu membuat tubuhnya melebur, seolah hanya Noah yang nyata di dunia ini.Saat akhirnya mereka menarik diri, bibir Jasmine masih bergetar, matanya berkilat dengan emosi yang sulit diartikan. Noah menempelkan dahinya ke dahinya, napasnya berat, tetapi ada seulas senyum di sudut bibirnya."Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi semua ini sendirian," bisiknya. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.""Noah..." bisiknya pelan, suara Jasmine terdengar seperti hembusan angin yang hampir lenyap di antara hujan yang turun di luar. Mereka terhenti sejenak, saling menatap dengan napas yang masih terengah.Tatapan Noah menyala gelap, dalam, dan dipenuhi keinginan yang tertahan. Jemarinya yang kokoh membingkai wajah Jasmine, ibu jarinya mengusap lembut pipinya yang terasa hangat meski udara di sekeliling mereka begitu dingin. "Katakan jika kau ingin aku berhenti."Namu
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Jasmine menggeliat pelan, merasakan kehangatan tubuh Noah yang masih tertidur di sampingnya. Dengkuran halus pria itu terdengar, ritmis dan menenangkan, membuat Jasmine tersenyum kecil.Ia membiarkan jemarinya menelusuri dada Noah yang terbuka, merasakan detak jantungnya yang stabil. Sejenak, ia hanya ingin menikmati keheningan ini—sebuah momen langka di tengah badai yang masih mengintai di luar sana.‘Siapa sangka CEO dingin dan arogan ini bisa mendengkur juga? Ck, kalau orang-orang kantor tahu, pasti wibawanya langsung runtuh.’Jasmine menahan tawa, menggigit bibirnya agar tidak bersuara. Ia menoleh sedikit, memperhatikan wajah Noah yang masih terlelap. Alis pria itu berkerut samar, seolah sedang bermimpi sesuatu.‘Apa dia sedang bermimpi tentang kontrak? Atau saham? Ata
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut